Salah satu indikator organisasi “sehat” adalah
semangat belajar yang ada di dalam tim dan individu. Kita semua sadar bahwa
bukan cuma individu yang fresh yang
perlu dibekali berbagai pengetahuan untuk bisa menjalankan perannya di
organisasi. Karyawan yang sudah banyak makan asam juga butuh “diisi” dengan
berbagai ilmu yang aplikatif – mengingat mereka yang senior ini memberi banyak
pengaruh dalam tim dan perusahaan. Meski sadar pentingnya belajar, tetap saja
tidak sedikit kita temui orang yang skeptis dan mengatakan bahwa program
belajar semata pemborosan dan buang-buang uang saja.
Komentar ini memang tidak boleh kita anggap angin
lalu. Betapa sering kita mendengar keluhan mengenai dana pelatihan yang tidak
berbanding lurus dengan peningkatan ketrampilan para karyawan. Betapa sering
kita mendiskusikan mutu para eksekutif tidak berubah dan kematangan pribadi
tidak bertambah, meskipun masa kerjanya sudah panjang dalam organisasi. Apanya
yang salah? Materinya yang tidak sesuai dengan kebutuhan? Belajarnya tidak
pakai “hati”? Cara belajar yang keliru? Ataukah kita sering tidak menyadari
bahwa ada berbagai pilihan metode belajar untuk mengasah ketrampilan tertentu?
Belajar memang bukan proses yang mudah. Teman saya
tidak bisa mencopot earphone bila
sedang belajar dan menghafal. Ibunya sering kesal melihatnya dan
mempersalahkannya mendapat angka jelek karena tidak “konsen”. “Mana mungkin
pelajaran masuk...,” demikian ibunya. Padahal, menurutnya, itulah cara paling
efektif baginya untuk belajar. Ada orang yang dipaksa duduk membaca dan
membaca, tetapi tidak ada satu pun materi bacaan yang menempel di benaknya.
Lain lagi cerita generasi M atau Z yang mendapatkan pengetahuan secepat kilat
hanya dengan menggeser-geser jarinya di layar iPad, tanpa merasa perlu
mendalami suatu subyek dan memastikan pemahaman yang benar. Kita pun sering
tidak mengerti dari mana seseorang mempelajari hal, istilah atau pengetahuan
baru dengan lancar tanpa kita menyadari kapan dan bagaimana ia belajar.
Apa pun bentuknya, program pelatihan atau pengajaran
bertujuan agar proses belajar individu terjadi. Terkadang memang yang disasar
adalah pengetahuannya saja. Namun, tentu yang lebih kita harapkan adalah
karyawan bisa trampil dan bisa mempraktikkannya dalam kondisi sehari-hari. Kita
baru bisa mengatakan proses belajar berhasil bila individu kemudian bisa
mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan dan ‘teori’ sebagai hasil
pengalamannya. Belajar baru bisa dibilang sukses bila cara pikir dan cara
bertindak individu bisa berubah dan ilmu barunya diaplikasikan secara nyata.
Ini jelas tidak mudah, apalagi mengingat individu sudah mempunyai pengetahuan
dan ketrampilan yang melekat dalam dirinya dan belum tentu berminat mendapatkan
ketrampilan baru. Namun kita tidak mungkin mundur ke belakang, bukan? Belajar
adalah tanggung jawab kita semua.
Proses Belajar
Guru Sejarah SD saya selalu membawa alat peraga pada
saat mengajar. Sekarang kita baru mengerti mengapa alat peraganya demikian
manjur. Anak murid langsung mengerubungi meja dan tertarik pada benda-benda
atau gambar-gambar tersebut. Ketertarikan adalah syarat utama dalam proses
belajar karena ketertarikanlah yang membuka pikiran seseorang untuk menerima informasi
baru. Kita jelas akan mendapat manfaat yang jauh lebih besar apabila
pengetahuan baru dibarengi dengan imajinasi, emosi, motivasi dan insight yang mendalam tentang subyeknya.
Repotnya, informasi baru ini kemudian akan berhadapan dengan informasi lama
yang sudah bercokol di benak individu dewasa. Ada kemudian yang berkomentar,
“Biasanya tidak begini...” atau “Saya dari lahir sudah begini...” Inilah
tantangan proses pengajaran, di mana informasi baru tersebut bukan sekedar
‘masuk’ tetapi diolah, bahkan perlu menjadi ‘pengetahuan’ dan ‘pemahaman’ baru
bagi si individu.
Klas Mellander dalam bukunya Power of Learning mengatakan, “If
people are given the oppurtunity to discover things for themselves and to draw
their own conclusions, then there is a great likelihood that they will embrace
the oppurtunity to make change happen.” Pemahaman bisnis, kemampuan
menangani manusia, apalagi krisis dan pengambilan resiko hanya bisa didapat
melalui pengalaman. Pelatihan hanya mempan bila kita memberi individu pengalaman
“how it feels” dan “how it works”. Pengalaman inilah yang
kemudian tumbuh menjadi knowledge base-nya.
Individu perlu merasakan hal-hal yang kritis bukan sekedar di otaknya, tetapi
juga di hati dan ‘nerves”nya.
Babak Selanjutnya:
Penerapan
Bukan sekali dua kali kita mendengar komentar, “Training bagus, komitmen sudah
dikumandangkan, tetapi ketrampilan baru ternyata tidak mudah diterapkan di
tempat kerja.” Di sini, satanya bermanfaat untuk menelaah ungkapan Einstein, “The only source of knowledge is experience.”
Saat kita belajar bersepeda saat kanak-kanak dulu, kita tentu ingat benar bahwa
kita perlu mengendarainya untuk tahu cara bersepeda. Seperti simulasi
menerbangkan pesawat, situasi tidak merupakan fenomena tunggal, tetapi stimulus
dengan bertubi-tubi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga mengalami hal
yang sama. Krisis dalam perusahaan, penumpukan stok, tercekiknya cashflow, tuntutan growth penjualan dan laba datang sekaligus, tidak bisa dipecahkan
dalam sistem ‘urat kacang’. Individu yang sedang belajar perlu menata semua ini
sebagai mental projections dan insights yang sistematis. Bila hal ini sempat terjadi
dalam proses simulai, proses belajar akan berdampak pada reaksi-reaksi individu
di kemudian hari. Ia sudah tahu cara mengelak. Ia punya pengalaman mengenai
bagaimana, mengapa dan kapan harus ‘tanjap gas’ – bahkan sudah merasakan
konsekuensinya, bila ternyata ia salah bereaksi. Hal yang kritikal untuk
kesuksesan belajar tentunya juga merupakan dukungan dalam bentuk proses coaching oleh atasan, serta kesempatan
untuk mempraktikkannya dalam situasi nyata. Hanya dengan proses yang utuh
seperti ini, kita bisa yakin terjadinya proses belajar dalam diri individu.
by:
Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS,
21 Juli 2012, hlm 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar