Jumat, 05 April 2013

Membangun Sikap Belajar

Salah satu indikator organisasi “sehat” adalah semangat belajar yang ada di dalam tim dan individu. Kita semua sadar bahwa bukan cuma individu yang fresh yang perlu dibekali berbagai pengetahuan untuk bisa menjalankan perannya di organisasi. Karyawan yang sudah banyak makan asam juga butuh “diisi” dengan berbagai ilmu yang aplikatif – mengingat mereka yang senior ini memberi banyak pengaruh dalam tim dan perusahaan. Meski sadar pentingnya belajar, tetap saja tidak sedikit kita temui orang yang skeptis dan mengatakan bahwa program belajar semata pemborosan dan buang-buang uang saja.

Komentar ini memang tidak boleh kita anggap angin lalu. Betapa sering kita mendengar keluhan mengenai dana pelatihan yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan ketrampilan para karyawan. Betapa sering kita mendiskusikan mutu para eksekutif tidak berubah dan kematangan pribadi tidak bertambah, meskipun masa kerjanya sudah panjang dalam organisasi. Apanya yang salah? Materinya yang tidak sesuai dengan kebutuhan? Belajarnya tidak pakai “hati”? Cara belajar yang keliru? Ataukah kita sering tidak menyadari bahwa ada berbagai pilihan metode belajar untuk mengasah ketrampilan tertentu?

Belajar memang bukan proses yang mudah. Teman saya tidak bisa mencopot earphone bila sedang belajar dan menghafal. Ibunya sering kesal melihatnya dan mempersalahkannya mendapat angka jelek karena tidak “konsen”. “Mana mungkin pelajaran masuk...,” demikian ibunya. Padahal, menurutnya, itulah cara paling efektif baginya untuk belajar. Ada orang yang dipaksa duduk membaca dan membaca, tetapi tidak ada satu pun materi bacaan yang menempel di benaknya. Lain lagi cerita generasi M atau Z yang mendapatkan pengetahuan secepat kilat hanya dengan menggeser-geser jarinya di layar iPad, tanpa merasa perlu mendalami suatu subyek dan memastikan pemahaman yang benar. Kita pun sering tidak mengerti dari mana seseorang mempelajari hal, istilah atau pengetahuan baru dengan lancar tanpa kita menyadari kapan dan bagaimana ia belajar.

Apa pun bentuknya, program pelatihan atau pengajaran bertujuan agar proses belajar individu terjadi. Terkadang memang yang disasar adalah pengetahuannya saja. Namun, tentu yang lebih kita harapkan adalah karyawan bisa trampil dan bisa mempraktikkannya dalam kondisi sehari-hari. Kita baru bisa mengatakan proses belajar berhasil bila individu kemudian bisa mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan dan ‘teori’ sebagai hasil pengalamannya. Belajar baru bisa dibilang sukses bila cara pikir dan cara bertindak individu bisa berubah dan ilmu barunya diaplikasikan secara nyata. Ini jelas tidak mudah, apalagi mengingat individu sudah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang melekat dalam dirinya dan belum tentu berminat mendapatkan ketrampilan baru. Namun kita tidak mungkin mundur ke belakang, bukan? Belajar adalah tanggung jawab kita semua.

Proses Belajar
Guru Sejarah SD saya selalu membawa alat peraga pada saat mengajar. Sekarang kita baru mengerti mengapa alat peraganya demikian manjur. Anak murid langsung mengerubungi meja dan tertarik pada benda-benda atau gambar-gambar tersebut. Ketertarikan adalah syarat utama dalam proses belajar karena ketertarikanlah yang membuka pikiran seseorang untuk menerima informasi baru. Kita jelas akan mendapat manfaat yang jauh lebih besar apabila pengetahuan baru dibarengi dengan imajinasi, emosi, motivasi dan insight yang mendalam tentang subyeknya. Repotnya, informasi baru ini kemudian akan berhadapan dengan informasi lama yang sudah bercokol di benak individu dewasa. Ada kemudian yang berkomentar, “Biasanya tidak begini...” atau “Saya dari lahir sudah begini...” Inilah tantangan proses pengajaran, di mana informasi baru tersebut bukan sekedar ‘masuk’ tetapi diolah, bahkan perlu menjadi ‘pengetahuan’ dan ‘pemahaman’ baru bagi si individu.

Klas Mellander dalam bukunya Power of Learning mengatakan, “If people are given the oppurtunity to discover things for themselves and to draw their own conclusions, then there is a great likelihood that they will embrace the oppurtunity to make change happen.” Pemahaman bisnis, kemampuan menangani manusia, apalagi krisis dan pengambilan resiko hanya bisa didapat melalui pengalaman. Pelatihan hanya mempan bila kita memberi individu pengalaman “how it feels” dan “how it works”. Pengalaman inilah yang kemudian tumbuh menjadi knowledge base-nya. Individu perlu merasakan hal-hal yang kritis bukan sekedar di otaknya, tetapi juga di hati dan ‘nerves”nya.

Babak Selanjutnya: Penerapan
Bukan sekali dua kali kita mendengar komentar, “Training bagus, komitmen sudah dikumandangkan, tetapi ketrampilan baru ternyata tidak mudah diterapkan di tempat kerja.” Di sini, satanya bermanfaat untuk menelaah ungkapan Einstein, “The only source of knowledge is experience.” Saat kita belajar bersepeda saat kanak-kanak dulu, kita tentu ingat benar bahwa kita perlu mengendarainya untuk tahu cara bersepeda. Seperti simulasi menerbangkan pesawat, situasi tidak merupakan fenomena tunggal, tetapi stimulus dengan bertubi-tubi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga mengalami hal yang sama. Krisis dalam perusahaan, penumpukan stok, tercekiknya cashflow, tuntutan growth penjualan dan laba datang sekaligus, tidak bisa dipecahkan dalam sistem ‘urat kacang’. Individu yang sedang belajar perlu menata semua ini sebagai mental projections dan insights  yang sistematis. Bila hal ini sempat terjadi dalam proses simulai, proses belajar akan berdampak pada reaksi-reaksi individu di kemudian hari. Ia sudah tahu cara mengelak. Ia punya pengalaman mengenai bagaimana, mengapa dan kapan harus ‘tanjap gas’ – bahkan sudah merasakan konsekuensinya, bila ternyata ia salah bereaksi. Hal yang kritikal untuk kesuksesan belajar tentunya juga merupakan dukungan dalam bentuk proses coaching oleh atasan, serta kesempatan untuk mempraktikkannya dalam situasi nyata. Hanya dengan proses yang utuh seperti ini, kita bisa yakin terjadinya proses belajar dalam diri individu.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS, 21 Juli 2012, hlm 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar