Rabu, 24 Juni 2015

Tentang Anak yang Agresif

MENGENAL AGRESIVITAS ANAK
Banyak orang tua dewasa kini bingung melihat tingkah laku anaknya yang cenderung agresif. Sikapnya tidak seperti anak-anak jaman dulu yang cenderung takut dan hormat pada orang tua. Sedikit-sedikit marah, yang diperlihatkan dengan kata-kata dan nada suara yang tinggi, atau dengan membanting pintu atau benda-benda lain, menyakiti temannya tanpa alasan yang kuat atau merampas barang milik temannya, dan lainnya.
Melihat fenomena agresivitas anak ini selalu muncul pertanyaan, apakah ini faktor perkembangan zaman (lain padang lain belalang) atau memang watak anak. Tak bisa dipungkiri bahwa keduanya sama-sama berperan dalam membentuk agresivitas anak. Tentu kita kenal dengan teori tabula rasa. Anak ibarat kertas putih. Lingkunganlah yang menghiasi lembaran-lembaran itu. Jika lingkungannya bagus, maka kertas itu akan dipenuhi dengan hiasan gambar bagus. Namun jika lingkungannya buruk, dapat dipastikan kertas itu penuh dengan coretan-coretan tak bermakna. Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah mulai dari keluarga, masyarakat, sekolah dan sebagainya.
Jadi, watak agresif anak dapat ditentukan oleh lingkungan. Perlu diketahui bahwa anak adalah peniru paling ulung. Segala apa yang dilihat akan dengan mudah direkam dalam memori alam bawah sadarnya. Segala rekaman itu suatu saat akan muncul, kecuali jika orang tua memberikan pendampingan ketika anak menyaksikan sesuatu yang buruk di lingkungannya.
Mencermati Lingkungan Eksternal
Perlu disadari bahwa tidak ada jaminan 100 % buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Orang tua jangan mudah terbuai bahwa anaknya akan tumbuh menjadi baik karena mereka adalah baik. Demikian pula, orang tua tak perlu merasa minder jika tahu gen yang dimilikinya bukanlah gen orang hebat. Ada banyak bukti sejarah yang menunjukkan adanya anak hebat yang lahir dari gen orang tua biasa saja.
Lingkungan eksternal amat berpengaruh dalam pembentukan karakter anak, termasuk dalam soal agresivitas tadi. Ada beberapa contoh lingkungan eksternal yang dapat memicu agresivitas anak. Di sini kami akan menampilkan faktor eksternal yang berada di dalam keluarga. Pertama, tayangan televisi. Kebanyakan orang tua, ketika dirinya tidak mau “diganggu” anaknya, menyodorkan televisi kepada anak. Sekalipun dalam diri anak ada semacam penyaring, namun bila tayangan televisi yang tidak sehat terus menerus ditonton, maka dapat tumbuh benih agresivitas pada anak.
Apakah lantas televisi itu buruk? Mungkin televisi salah dengan tayangannya, namun kita tidak dapat menuntut pertanggungjawabannya. Orang tualah yang pertama-tama harus bertanggung jawab. Jika orang tua ingin anaknya tumbuh dengan baik, maka orang tua harus mendampingi anak dalam perkembangannya, termasuk dalam kegiatan menonton televisi. Di saat anak menyaksikan adanya adegan buruk (kekerasan atau antisosial, misalnya), tugas orang tua menjelaskan hal itu. Ini dapat membantu self control anak berfungsi.
Kedua, relasi dalam keluarga. Ketika anak masih kecil (0 – 5 tahun) lingkungan terbesarnya adalah keluarga. Banyak waktu dihabiskan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya. Jika dalam interaksi itu anak sering melihat hal-hal negatif, misalnya pertengkaran ayah dan ibu, kakak dan adik, orang tua dan anak, maka hal-hal tersebut dapat memicu tumbuhnya benih agresif dalam diri anak.
Elisabeth B. Hurlock, dalam bukunya Psikologi Perkembangan (Erlangga, 1980) mengatakan bahwa biasanya pada saat anak berumur 2 tahun, terjadi perubahan perhatian keluarga terhadap anak. Tak jarang pula anak diabaikan dan menjadi korban perkelahian orang tua. Semua ini dapat menumbuhkan rasa marah, benci dan emosi-emosi buruk lainnya dalam diri anak, yang nantinya akan bermuara pada agresivitas.
Menciptakan keluarga tanpa konflik memang terasa sangat mustahil. Pasti selalu saja ada gesekan kepentingan antara suami dan isteri, kakak dan adik atau antara orang tua dan anak. Namun perlu dibangun dalam keluarga suatu komitmen untuk memberikan yang terbaik kepada anak. Artinya, jika terjadi pertengkaran, usahakanlah agar tidak terjadi di hadapan anak.
Ketiga, pengabaian anak. Penelitian dari University North Carolina menemukan bahwa anak-anak di usia di bawah 2 tahun yang diabaian orang tuanya akan menunjukkan tingkat agresif yang lebih tinggi pada usia 4 – 8 tahun. Pengabaian di sini menyangkut dua hal, yaitu rendahnya perhatian, seperti tidak memberikan pengawasan memadai atau tidak memenuhi kebutuhan fisik (makan-minum, pakaian dan tempat tingal); dan tindak kekerasan, baik fisik, verbal maupun seksual.
Agresivitas anak yang dilihat dalam penelitian ini terlihat dalam sikap suka membantah, kejam terhadap orang lain, merusak barang, tidak patuh, mengancam orang dan berkelahi atau menyerang orang lain secara fisik. Sikap agresif ini terpantau ketika anak sudah berusia besar.
Kendali Ada pada Orang Tua
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor eksternal sangat berperan dalam tumbuhnya benih agresivitas anak. Karena itu, untuk mencegahnya tidak bisa hanya dengan mengutuk jaman, televisi atau internet. Dibutuhan inisiatif menciptakan lingkungan yang non-agresif, menumbuhkan kemampuan anak dalam menundukkan insting agresifnya dari kecil.
Dalam hal ini peran orang tua sangat mutlak. Orang tualah yang memegang kendali dalam membantu anak meredam nafsu agresifnya. Selagi anak masih kecil, ruang kontrol orang tua masih sangat besar. Berbeda ketika anak sudah beranjak remaja apalagi dewasa. Sebagai contoh: ketika anak tidak diberi uang saku ia akan marah. Namun ia masih bisa dikendalikan, karena ia masih bergantung pada orang tua. Berbeda dengan remaja. Ketika dia tidak diberi uang, ia dapat melakukan apa saja, seperti menjual diri atau tindakan kriminal lainnya. Dan orang tua sama sekali kesulitan dalam mengontrolnya.
Oleh karena itu, sedini mungkin orang tua harus menangani persoalan ini. Sebuah penelitian melaporkan bahwa anak yang dari usia 3 – 10 tahun tidak tertangani dengan baik agresivitasnya, akan sangat mudah menjadi remaja yang agresif. Dan seperti yang dikatakan di atas, tingkat kesulitan penanganan remaja yang agresif sangatlah tinggi.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua. Pertama, mengurangi seoptimal mungkin rewards yang sifatnya menciptakan ancaman psikologis pada anak. Sesekali mungkin orang tua perlu ketawa atau santai saja melihat anak bersuara keras atau membanting pintu. Jika mengalahkannya dengan keagresifan juga, dia aka belajar bahwa jurus yang jitu adalah agresif. Bukan berarti marah harus dihilangkan. Selain sulit, anak pun perlu tahu sikap orang tua terhadap perilaku kurang beradab. Hanya yang paling penting bukan marah atau ketawanya, melainkan mengantar anak memahami perlunya mengurangi perilaku agresif dan pentingnya mengontrol emosi.
Kedua, menciptakan kualitas kelekatan yang bagus. Anak-anak selalu dekat sama orang tua atau orang dewasa. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan. Namun, dalam prakteknya tujuan itu bisa gagal karena keagresifan orang dewasa. Jika kebiasaan itu terjadi tanpa koreksi, anak akan mempunyai kesempatan untuk meng-copy atau menafsirkan perilaku kita. Mungkin tafsirannya adalah supaya hidup aman dan nyaman, kita harus agresif.
Ketiga, suasana komunikasi yang berkualitas. Walau setiap saat orang tua berkomunikasi dengan anak-anak di rumah, namun soal kualitasnya tidak dapat disamakan. Ada yang diwarnai aksi menyerang secara lisan dan ada yang diwarnai kasih sayang. Kualitas kumunikasi yang diwarnai penyerangan dapat menyuburkan sifat-sifat agresif pada anak.
Keempat, disiplin tertentu untuk meningkatkan kontrol diri. Disiplin tidak hanya berefek pada peningkatan intelektual semata, misalnya mendapatkan nilai akademik tinggi, tetapi juga dapat memperbaiki kualitas mental karena berlatih untuk mengontrol diri. Elisabeth B. Hurlock mengungkapkan ada tiga jenis disiplin yang digunakan pada awal masa kanak-kanak. Disiplin demokratis dapat membantu anak belajar mengendalikan perilaku yang salah dan menghargai orang lain.
Kelima, mendampingi anak atau mengajaknya berdialog tentang tayangan televisi akan melatih anak menghadapi kenyataan. Orang tua perlu menjelaskan kepada anak bahwa apa yang dilihatnya pada acara televisi tidak baik dan jangan ditiru. Secara tidak langsung anak diperkenalkan dengan konsep benar – salah dan baik – buruk.
Demikianlah lima hal yang dapat dilakukan orang tua. Kelima hal ini merupakan masalah eksternal yang berasal dari dalam keluarga. Bagaimana dengan lingkungan di luar rumah? Upaya di atas merupakan modal bagi anak dalam menghadapi situasi sosialnya. Namun orang tua perlu juga tindakan preventif lain yang bersifat spiritual. Orang tua perlu menyerahkan anak dengan segala permasalahan hidup yang akan dihadapinya kepada penyelenggaraan ilahi. Ini dapat dilakukan lewat doa.
edited by: adrian, dari berbagai sumber.
Baca juga tulisan penunjang lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar