MATIKAN TELEVISIMU: SEBUAH TANGGAPAN
Membaca tulisan-tulisan tentang seruan untuk mematikan televisi, kita dapat menyimpulkan
bahwa televisi itu tidak baik bagi kehidupan kita. Televisi yang seharusnya
menjadi media informasi dan edukasi, selain hiburan, justru menjadi “candu”
yang merusak moral kepribadian kita. Tulisan-tulisan tersebut benar-benar mau
menyatakan bahwa televisi itu berbahaya. Oleh karena itulah mereka berseru: ”Matikan televisimu sekarang juga!!!”
Benarkah televisi itu jahat dan tidak baik? Berbahayakah ia untuk kehidupan
kita? Bila kita menyimak tulisan-tulisan itu, kita akan berani mengambil satu
kesimpulan tegas bahwa televisi memang berbahaya. Data dan fakta sudah ada dan
terbukti serta teruji. Jadi, kita mau apa lagi? Di beberapa daerah malah ada
yang berani memasang spanduk larangan menonton sinetron dan juga tv (baca KOMPAS, 8 Feb 2009).
Mau mematikan tv? Beranikah kita?
Buah Simalangkama
Mematikan televisi bukanlah pekerjaan mudah, semudah membalikkan telapak
tangan. Apalagi bila televisi itu benar-benar sudah merasuk ke dalam kehidupan
kita dan menjadi kebutuhan primer bagi kita. Sungguh, jaman sekarang ini
televisi tak bisa dilepaskan dari kehidupan kebanyakan manusia. Karena itu,
wajar saja bila tugas itu sangat berat. Kita ibarat memakan buah simalangkama
Akan tetapi, ada satu pertanyaan masih mengusik pikiran saya: apakah
televisi benar-benar jahat dan buruk?
TIDAK!!! Televisi itu, dari dirinya sendiri, sebenarnya netral. Ia tidak
baik juga tidak jahat. Ia bisa membawa kebaikan, bisa juga malapetaka. Itu
semua tergantung pada manusia yang menggunakannya. Man behind the guns. Manusialah yang menentukan apakah televisi itu
baik atau buruk; membawa berkat atau bencana. Dan sungguh ironis bahwa manusia
sendiri yang membuat televisi itu buruk dan membawa bencana bagi dirinya
sendiri. Sungguh amat tragis!!!
Manusia adalah kata kuncinya. Dialah penentu atas televisi, bukan
sebaliknya. Dasarnya dapat kita lihat dari kisah penciptaan (bdk. Kej 1: 26 –
28). Manusia diciptakan untuk menjadi tuan atas ciptaan Allah dan (sudah pasti)
atas ciptaan manusia sendiri. Jadi, terhadap televisi manusia sudah seharusnya
dan sepantasnya menjadi pengendali televisi karena dia adalah ”tuan” atas
televisi. Semestinya televisi yang melayani manusia bukan manusia yang melayani
televisi.
Gnoti se auton, bunyi sebuah tulisan di sebuah gua di daerah
Yunani yang berarti jadilah dirimu sendiri. Kalimat ini mau mengajak manusia
untuk bisa mengendalikan dirinya sendiri agar bisa menjadi dirinya sendiri.
Manusia terlebih dahulu harus mampu mengendalikan dirinya sendiri baru kemudian
mengendalikan orang lain dan/atau sesuatu di luar dirinya.
Dalam relasinya dengan televisi, ajaran di atas bisa diterapkan. Memang
kita diajak untuk bisa mengendalikan televisi. Nah, bila kita sudah bisa
mengendalikan diri kita sendiri, maka otomatis kita bisa mengendalikan
televisi. Kitalah yang menentukan kapan mau menonton televisi, acara apa saja
yang mau ditonton, kapan kita berhenti, dll. Jadi, tidak akan terjadi kita
berada di depan televisi mulai dari pagi hingga larut malam, bahkan sampai pagi
lagi. Atau malah terkadang kita menonton televisi sampai televisi yang menonton
diri kita (karena kita tidur di depan televisi yang masih menyala).
Bagaimana kita bisa mengendalikan diri? Pertama-tama adalah dengan
mengikuti aturan-aturan yang ada, baik di asrama, sekolah ataupun di jalanan.
Hidup kita tentu tak lepas dari peraturan. Nah, menjalani aturan dengan disiplin
merupakan salah satu sarana latihan untuk mengendalikan diri. Contoh: ada
aturan bangun tidur jam 04.30. Saat dibangunkan pada jam itu, ada keinginan
kita untuk tetap terus di tempat tidur. Nah, kalau kita mau bisa mengendalikan
diri, maka kekanglah keinginan untuk terus tidur dan segeralah bangun. Demikian
pula dengan aturan lainnya, seperti jam belajar, saatnya berhenti olah raga dan
waktunya mandi, dll.
Cara kedua
adalah menumbuhkan kesadaran. Kesadaran merupakan aktivitas akal (ratio) dan
hati. Untuk bisa menumbuhkan kesadaran ini, yang harus dilakukan adalah dengan
cara ”mematikan keinginan” (bdk. Titus 2: 12). Sebab, seperti kata Yakobus
dalam suratnya, ”Tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia
diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia
melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.” (Yak
1: 14 – 15). Menumbuhkan kesadaran merupakan proses yang cukup panjang. Dan
lagi-lagi mengikuti peraturan adalah langkah awal untuk itu, asal menjalani
peraturan bukan karena aturan, rutinitas dan takut dimarah serta ingin dipuji,
melainkan karena nilai.
Kenapa Saya Tidak Suka Televisi: Sebuah
Sharing
Ketika saya masih SD saya sama sekali tak pernah menikmati televisi. Memang
di rumah ada televisi, namun jarang sekali saya menontonnya. Paling cuma
film Si Unyil, kartun seperti Tom & Jerry, Donal Bebek, Scobi Doo, dll. Dunia saya waktu itu adalah dunia bermain.
Segala permainan anak-anak kami mainkan. Dan itu semua dilakukan di luar rumah,
bahkan sampai jauh dari rumah. Mungkin sudah sifat saya suka berpetualang. Tak
ada rasa takut.
Namun ada hal positif yang muncul saat itu, yaitu adanya kreativitas,
persaudaraan dan inovasi. Meskipun kami anak-anak, semangat pertemanan dan
kekompakan mendorong untuk berkreativitas pada hal-hal yang baru.
Waktu saya SMP dan Seminari Menengah, saya sama sekali tidak pernah bertemu dengan
televisi. Dunia saya adalah belajar dan bekerja. Selingan dari itu,
sekedar hiburan adalah mendengarkan radio, khususnya siaran BBC London dan ABC Australia. Sama sekali tidak ada keinginan untuk
menonton televisi, kecuali film. Maka, satu-satunya hiburan waktu ini adalah
nonton film dengan alat slide dan
sesekali video. Mungkin 2 x setahun.
Nah, saat saya di Seminari Tinggi-lah minat nonton televisi itu muncul.
Setiap ada kesempatan nonton, pasti saya sudah ada di depan televisi. Malah
kalau hari libur acara nonton itu bisa sampai puas. Akan tetapi, sekalipun saya
menonton sampai larut malam (apalagi acara sepak bola), tetap peraturan
seminari tidak terlanggarkan. Dan satu hal lain lagi adalah bahwa acara lama
(membaca dan mendengar siaran radio) tidak berhenti, meski sudah ada televisi.
Akan tetapi, setelah saya memasuki tahun terakhir di STFT (PS-2), saya
mulai mendapat pencerahan. Suatu ketika saya pergi kerasulan di suatu tempat
terpencil. Listrik tak ada, apalagi televisi. Waktu itu saya sedang mengikuti
acara serial film di salah satu pemancar televisi. Begitu gelisahnya hati saya.
Dari sinilah saya akhirnya sadar, kalau saya sudah tergantung pada televisi. Di
sini saya disadarkan bahwa masih ada tepat yang belum punya televisi. Karena
itu, saya mulai mengurangi ketergantungan pada televisi. Cara yang saya tempuh
adalah dengan disiplin pada peraturan seminari. Karena, bagi saya, dengan
mengikuti aturan hidup, saya sudah berusaha untuk mengalahkan keinginan.
Akhirnya berhasil. Ketika saya bertugas di beberapa tempat terpencil di
keuskupan saya, yang semuanya belum ada listrik dan televisi, saya bisa
mencurahkan perhatian saya kepada umat. Sama sekali saya tidak berpikir soal
televisi. Saya bisa berkreasi dalam tugas kerasulan. Dan itu benar-benar
membahagiakan.
Sampai sekarang pun saya bisa hidup tanpa televisi. Sama sekali saya tidak
punya niat untuk menonton, kecuali nonton video. Tapi saya benar-benar tidak
tergantung. Saya bisa ”mematikan” televisi. Apalagi dengan tidak menonton
televisi berarti saya turut serta dalam proses penyelamatan planet ini dari
bahaya pemanasan global serta penghematan.
Kalau tidak nonton televisi, lalu mau buat apa? Dengan apa menghibur diri? Ada banyak jalan menuju Roma. Televisi
bukanlah satu-satunya sarana hiburan. Bagi orang yang tidak biasa berkreatif,
tentulah menganggap televisi satu-satunya sarana hiburan. Sehingga dia akan
berusaha agar di mana ia berada selalu ada televisi dan pematian televisi
merupakan ”kiamat” kecil baginya. Dan untuk menggantikan perannya, saya
mengembangkan budaya membaca, menulis dan mendengarkan.
Saya memang tidak suka televisi, tapi bukan berarti saya anti dengannya.
Terkadang saya menonton televisi. Namun yang jelas adalah sayalah yang
menentukan diri saya sendiri, bukan televisi yang menentukan saya. Ada beberapa
tips baik untuk menonton dan tips ini sudah saya terapkan dalam hidup saya:
- pertama-tama,
tentukan dahulu untuk apa kita menonton dan mau menonton apa. Ini penting
agar jelas tujuannya, sehingga bila tujuan sudah tercapai, kita bisa
tinggalkan televisi. Waktu saya masih di Bangka, setiap jam tanyang Naruto
saya selalu berada di depan televisi; selebihnya di kamar. Sesudah itu,
mulai jam 21.00 saya di depan televisi untuk menonton Bioskop TransTV.
- Jangan
suka pindah-pindah channel. Bila kita buka dan sedang nonton acara di
salah satu statiun tv, berusahalah untuk tidak menggantikan channel saat
jedah iklan. Nikmatilah iklan itu sebagai huburan. Ini untuk melatih
kesetiaan dan mengendalikan keinginan diri. Maka, kalau saya sedang nonton
film di TransTv, maka sampai film itu selesai, saya tidak akan pernah
ganti channel.
- cobalah
untuk mencari informasi film yang akan ditayangkan.
- berusahalah
untuk tetap mengikuti suatu acara, misalnya film. Pakailah juga otakmu
untuk berpikir, menganalisa dan menilai, bukan sekedar menikmati saja.
Untuk itu sangat dibutuhkan konsentrasi saat menonton dan konsentrasi identik
dengan diam dan tenang serta perhatian.
- yakinkan
dirimu bahwa iklan itu menipu agar kamu tidak terpancing dan tergoda.
Perlukah kita mematikan televisi kita? Tak perlu diragukan lagi: matikanlah
televisimu sekarang juga. Jangan tunda sampai Anda menjadi budak televisi. Toh,
apa yang dianjurkan dalam tulisan-tulisan itu bukanlah berarti mematikan total.
Intinya adalah kita yang menentukan dan memegang kendali apakah menonton atau
tidak, apa saja yang mau ditonton, sekaligus diri kita menjadi filter dalam
menerima pengaruh negatif dari televisi. Persoalannya: apakah kita bisa dan mau?
Waena, 4 Feb 2009
by: Adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar