SEJARAH TEROR, JALAN PANJANG MENUJU 11/9
Liburan Natal dan Tahun Baru yang lalu (23 Des – 8 Jan) saya
ke Yogyakarta. Sudah menjadi kebiasaan saya, kemana pun pergi, saya selalu
membawa buku bacaan sebagai teman perjalanan. Dalam liburan ini buku yang saya
baca adalah KUDETA MEKKAH (ulasan bukunya lihat di sini). Dan kebiasaan saya
juga adalah menyambangi toko buku untuk mencari buku. Salah satu toko buku yang
saya kunjungi adalah Toko Buku Kanisius.
Ketika di Kanisius, mata saya langsung tertuju ke sebuah
buku, yang bagi saya amat sangat menarik. Buku yang ditulis oleh Lawrence
Wright ini berjudul “SEJARAH TEROR: Jalan Panjang Menuju 11/9”. Yang membuat
buku ini menarik adalah saat itu saya hampir menyelesaikan bacaan saya sehingga
saya butuh bacaan lain lagi. Selain itu buku ini memiliki keterkaitan meski
ditulis oleh dua penulis yang berbeda. Dalam buku KUDETA MEKKAH dikatakan bahwa
aksi yang dilakukan Juhaiman menjadi cikal bakal tragedi 11 September. Karena
itu, saya berpikir bahwa buku SEJARAH TEROR merupakan kelanjutan dari KUDETA
MEKKAH. Akhirnya saya membelinya, bersama beberapa buku lainnya. Dan ternyata
apa yang dikatakan Yaroslav Trofimov dalam bukunya “Kudeta Mekkah” benar, yaitu
ada kaitan antara aksi Juhaiman dan tragedi 11 September, yang dilakukan oleh
al-Qaeda.
Wright menyajikan tulisannya dalam bentuk narasi, sama
seperti Yaroslav Trofimov, sehingga enak membacanya. Bahasa yang dipakai pun
cukup sederhana bagi pembaca awam sekalipun. Buku, yang edisi Indonesianya ini
diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, mempunyai 576 halaman dilengkapi beberapa
foto-foto dokumentasi.
Meski buku ini terbilang bagus, namun masih terdapat beberapa
kekurangan. Pertama, judulnya
“Sejarah Teror” agak tendensius, karena seakan-akan hanya islam saja yang
memiliki tradisi teror. Kedua,
sekalipun dikatakan “Sejarah Teror”, namun tidak terungkap jelas akar terorisme
itu. Padahal, salah satu harapan pembaca adalah mengetahui penyebab terorisme. Ketiga, ending ceritanya terkesan tiba-tiba dan cepat. Karena Lawrence
Wright menggunakan gaya narasi dalam penulisannya, maka dia menggunakan alur
cerita. Nah, saya merasa bahwa akhir
cerita buku ini muncul mendadak dan begitu singkat (hlm. 446 – 551).
Apa yang mau dikatakan Lawrence Wright lewat bukunya ini?
Sebenarnya ada banyak hal yang hendak disampaikan. Namun saya menampilkan dua catatan
besar.
1. Islam dan Terorisme
Membaca buku ini, kita akan dicengangkan betapa terorisme
mendapatkan pendasarannya pada ajaran islam. Di banyak halaman buku ini
diungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan para teroris didasarkan pada
Al-Quran. Kita bisa melihat aksi kelompok-kelompok islam radikal, baik di
Mesir, Arad Saudi, Afganistan dan beberapa tempat lainnya yang memakai
ayat-ayat Al-Quran sebagai pembenaran atas tindakannya membunuh, menghancurkan,
memusuhi, berperang, dll.
Lawrence Wright menulis betapa para tokoh sentral teroris ini
adalah juga orang yang teguh berpegang pada agamanya. Misalnya Juhaiman, Azzam,
Zawahiri, Syeikh Omar, Osama bin Laden, Mullah Omar, dll. Bahkan ada yang menilai
bahwa Osama bin Laden merupakan prototipe Muhammad. Karena itulah, menjadi
pertanyaan kita: bagaimana bisa seseorang yang religius sekaligus juga teroris.
Dengan dasar Al-Quran itu, para teroris ini bukan saja
menebarkan ketakutan, melainkan juga permusuhan kepada orang Barat dan kristen.
Sekalipun tidak tahu apa-apa, baik orang Barat (termasuk Amerika) maupun
kristen di mana pun ia berada, menjadi dasar permusuhan. Contoh konkret,
seperti yang diutarakan Lawrence Wright, yaitu bahwa ketika al-Qaeda sudah
merencanakan aksinya menyerang Amerika, pihak Amerika sama sekali tidak punya
pikiran jahat terhadap mereka. Amerika tidak menganggap al-Qaeda sebagai musuh,
kecuali pasca 11 September.
Ada tiga hal yang selalu menjadi sasaran kebencian kaum
muslim, yaitu Kristen, Yahudi dan Barat (Amerika). Mereka melihat bahwa Amerika
merupakan pusat kekristenan (hlm. 215). Segala keburukan yang menimpa dunia
islam, sekalipun tidak ada hubungannya dengan ketiga obyek tadi, selalu
dikaitkan dengan obyek tadi. Dan anehnya, orang kristen, Yahudi dan Amerika
yang tidak tahu apa-apa, selalu menjadi sasaran/korban. Lihat saja kasus bom
beberapa gereja di Indonesia. Bahkan Paus Yohanes Paulus II pun hendak dijadikan sasaran
(hlm. 224, 296).
Apa yang dilakukan oleh kelompok islam radikal terhadap
ketiga obyek itu bukan hanya mau menunjukkan kefanatikan melainkan juga
paranoia. Berkaitan dengan obyek dunia kristen ini, paranoia itu tak bisa
dilepaskan dari sejarah Perang Salib. Di sini terlihat jelas bahwa kaum muslim
belum bisa berdamai dengan sejarah masa lalu, tidak seperti saudaranya kristen.
Mereka masih membawa semangat itu, apalagi mereka memiliki tujuan untuk
mengislamkan dunia.
Sekalipun kelompok non radikal menilai bahwa kelompok radikal
itu salah, namun jarang terdengar kecaman terhadap mereka. Kebanyakan mereka
memilih diam. Lihatlah yang terjadi di Amerika, ketika Syekh Omar Abdul Rahman
melancarkan serangan lewat kotbah-kotbahnya di beberapa tempat di Amerika (hlm.
221 – 223). Umat yang mendengar tidak melapor ke pihak yang berwajib, melainkan
diam saja. Diam di sini bisa diartikan tanda setuju atas apa yang disuarakan
sang syekh.
Satu hal yang menarik adalah pernyataan bahwa tragedi 11
September tak bisa dipisahkan dari budaya Arab Saudi. Banyak orang Arab, salah
satunya Jamal Khashonggi, membenarkan bahwa Arab Saudi memiliki tanggung jawab
budaya atas terjadinya tragedi 11 September (hlm. 472). Bisa dikatakan aksi
kekerasan dan kebiadaban merupakan sumbangan dari Arab. Islam tak bisa
dilepaskan dari Arab. Karena itu ada pendapat bahwa islamisasi itu identik
dengan arabisasi. Menerima agama islam selalu disertai juga dengan penerimaan
budaya Arab. Salah satunya adalah kekerasannya. Maka dari itu kita bisa maklum
kenapa Indonesia, yang biasanya dikenal sebagai bangsa yang ramah berubah menjadi
bringas. Ini bisa dilihat pada kelompok-kelompok islam garis keras seperti FPI,
HTI, dll. Atas kekerasan yang mereka lakukan, adakah kecaman dan fatwa haram
dari MUI?
2. Tragedi 11 September
Satu pertanyaan muncul berkaitan dengan tragedi 11 September
adalah kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah Amerika memiliki sistem keamanan
yang canggih?
Lawrence Wright mengungkapkan beberapa alasannya. Pertama, pihak Amerika tidak memiliki
prasangka negatif terhadap kelompok islam garis keras. Mereka belum berpikir
bahwa kelompok ini merupakan ancaman bagi negaranya. Karena itu, antisipasi
menghadapi aksi kelompok islam radikal, yang umumnya berasal dari dunia Arab,
sangat minim. Misalnya penguasaan bahasa, budaya, tradisi dan hal-hal yang
berkaitan dengan islam dan Arab.
Alasan kedua
merupakan alasan mendasar, yaitu adanya persaingan di antara instansi
pemerintah dan tidak saling mendukung dalam melihat sebuah masalah bersama.
Persaingan itu terjadi antara FBI dan CIA serta Dewan Keamanan. Beberapa
instansi pemerintah pun terkesan kurang memberi dukungan. Misalnya, Dubes
Yaman. Karena itu, Lawrence Wright menilai bahwa jika ada kerja sama yang baik
antara FBI dan CIA dan jika FBI (John O’Neill) didengar dari awal, maka tidak
akan terjadi tragedi 11 September.
Jakarta, 5 Mei 2014
by. adrian
Setelah membaca ini, tudingan konspirasi AS menjadi tak beralasan, sekalipun masih menyisahkan beberapa tanda tanya.
BalasHapusternyata secanggih amrik pun masih mudah ditembus
BalasHapusSepandai-pandainya tupai melompat, pasti pernah jatuh juga.
Hapus