APAKAH SAYA MELANGGAR KEWENANGAN ?
Sebuah
Sharing
Sebagai moderator OMK, saya sudah
melakukan beberapa kegiatan. Saya membentuk dan mengadakan pembekalan tim
pendamping OMK. Saya pernah mengadakan rekoleksi panggilan untuk siswa SMP
kelas 9 dan siswa/i SLTA kelas 12. Saya mengadakan semacam seminar HIV/AIDS dan
merayakan Valentin Day. Bersama OMK
Saroha, kami mengadakan acara nonton bareng dan pembahasan film “Paus Yohana”.
Di Tanjung Batu, saya pernah membuat retret. Bahkan sebelum berangkat meninggalkan Paroki Balai, saya sekali lagi mengadakan retret bersama remaja Tanjung Batu, atas permintaan mereka.
Semua kegiatan itu sama sekali tidak
memakai uang paroki sepeser pun dan saya tidak meminta izin kepada Rm. Eman
selaku Pastor Kepala Paroki. Kecuali acara pembekalan tim pendamping OMK, di
mana stipendium dan uang transport Rm. Benny dikeluarkan dari kas paroki. Itu
pun bisa dilihat sebagai “balas jasa” beliau yang datang merayakan ekaristi,
mengingat adanya keterbatasan tenaga imam. Saya tidak meminta uang dari paroki,
karena prosedurnya amat sangat susah dan lama.
Muncul pertanyaan, apakah tindakan
saya selama ini melampaui kewenangan saya? Apakah kegiatan-kegiatan yang saya
buat sudah melanggar kewenangan Rm. Eman sebagai Pastor Kepala Paroki? Karena
jika tidak ada izin, maka tidak akan kelihatan jabatannya sebagai kepala. Hal
inilah yang pernah dikritik oleh Pak Inno dalam pertemuan animasi tim
sosialisasi visi misi di aula awal Juni lalu.
Dalam refleksi, saya menemukan bahwa
saya SAMA SEKALI tidak melanggar
kewenangan. Apa yang saya buat sudah sesuai dengan rambu-rambu yang diberikan
kepada saya. Pedoman saya adalah lampiran surat keputusan penugasan saya di
paroki ini, khusus butir 2 dan 3.
1. Dalam butir 2 dikatakan
bahwa wewenang saya adalah melaksanakan reksa pastoral di paroki…., dalam koordinasi dengan Pastor Kepala Paroki.
Apa yang saya lakukan ini sudah sesuai dengan amanat kanon 528 § 1. Koordinasi di
sini saya pahami dengan sekedar memberitahu,
BUKAN minta izin atau persetujuan.
Jika dimengerti dengan minta izin, apakah tugas-tugas lain yang ada dalam kanon
529 – 535, seperti yang ada dalam butir 2 wewenang saya, juga harus minta izin?
Namun kalau dipahami dengan memberitahu, hal ini sudah saya lakukan.
Selama ini pemberitahuan saya buat secara lisan maupun tulisan, seperti
notulensi.
2. Soal memberitahu ini
sesuai dengan kanon 548 §
3; dan ini tercantum dalam butir 3 kewenangan saya. Memang selama ini saya baru
melaporkan rencana kegiatan, sementara hasil kegiatan tidak pernah saya
laporkan. Alasan saya tidak melapor kegiatan yang sudah terlaksana adalah
karena kegiatan tersebut sudah diketahui dan selain itu kegiatan itu sama
sekali tidak memakai uang paroki sehingga saya merasa perlu pertanggungjawaban.
Dari dua hal di atas, kesimpulannya
adalah saya tidak melanggar kewenangan.
Saya justru berjalan sesuai dengan kewenangan yang diberikan uskup kepada saya.
Mungkin muncul pertanyaan: kenapa saya tidak minta izin kepada Rm. Eman?
Berdasarkan pengalaman umat dan juga pribadi, mendapatkan izin dari Rm. Eman,
apalagi berkaitan dengan uang, amat sangat lama dan menjengkelkan. Rm Eman amat
sangat prosedural. Harus melalui rapat DPP yang ujung-ujungnya nanti akan tanya
ke Bapak Uskup.
Demikianlah refleksi saya atas
perbuatan saya selama ini.
Balai, 15 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar