Kamis, 15 Agustus 2013

(Sharing Hidup) Tentang Kewenangan

APAKAH SAYA MELANGGAR KEWENANGAN ?
Sebuah Sharing

Sebagai moderator OMK, saya sudah melakukan beberapa kegiatan. Saya membentuk dan mengadakan pembekalan tim pendamping OMK. Saya pernah mengadakan rekoleksi panggilan untuk siswa SMP kelas 9 dan siswa/i SLTA kelas 12. Saya mengadakan semacam seminar HIV/AIDS dan merayakan Valentin Day. Bersama OMK Saroha, kami mengadakan acara nonton bareng dan pembahasan film “Paus Yohana”. Di Tanjung Batu, saya pernah membuat retret. Bahkan sebelum berangkat meninggalkan Paroki Balai, saya sekali lagi mengadakan retret bersama remaja Tanjung Batu, atas permintaan mereka.

Semua kegiatan itu sama sekali tidak memakai uang paroki sepeser pun dan saya tidak meminta izin kepada Rm. Eman selaku Pastor Kepala Paroki. Kecuali acara pembekalan tim pendamping OMK, di mana stipendium dan uang transport Rm. Benny dikeluarkan dari kas paroki. Itu pun bisa dilihat sebagai “balas jasa” beliau yang datang merayakan ekaristi, mengingat adanya keterbatasan tenaga imam. Saya tidak meminta uang dari paroki, karena prosedurnya amat sangat susah dan lama.

Muncul pertanyaan, apakah tindakan saya selama ini melampaui kewenangan saya? Apakah kegiatan-kegiatan yang saya buat sudah melanggar kewenangan Rm. Eman sebagai Pastor Kepala Paroki? Karena jika tidak ada izin, maka tidak akan kelihatan jabatannya sebagai kepala. Hal inilah yang pernah dikritik oleh Pak Inno dalam pertemuan animasi tim sosialisasi visi misi di aula awal Juni lalu.

Dalam refleksi, saya menemukan bahwa saya SAMA SEKALI tidak melanggar kewenangan. Apa yang saya buat sudah sesuai dengan rambu-rambu yang diberikan kepada saya. Pedoman saya adalah lampiran surat keputusan penugasan saya di paroki ini, khusus butir 2 dan 3.

1.     Dalam butir 2 dikatakan bahwa wewenang saya adalah melaksanakan reksa pastoral di paroki…., dalam koordinasi dengan Pastor Kepala Paroki. Apa yang saya lakukan ini sudah sesuai dengan amanat kanon 528 § 1. Koordinasi di sini saya pahami dengan sekedar memberitahu, BUKAN  minta izin atau persetujuan. Jika dimengerti dengan minta izin, apakah tugas-tugas lain yang ada dalam kanon 529 – 535, seperti yang ada dalam butir 2 wewenang saya, juga harus minta izin? Namun kalau dipahami dengan  memberitahu, hal ini sudah saya lakukan. Selama ini pemberitahuan saya buat secara lisan maupun tulisan, seperti notulensi.

2.     Soal memberitahu ini sesuai dengan kanon 548 § 3; dan ini tercantum dalam butir 3 kewenangan saya. Memang selama ini saya baru melaporkan rencana kegiatan, sementara hasil kegiatan tidak pernah saya laporkan. Alasan saya tidak melapor kegiatan yang sudah terlaksana adalah karena kegiatan tersebut sudah diketahui dan selain itu kegiatan itu sama sekali tidak memakai uang paroki sehingga saya merasa perlu pertanggungjawaban.

Dari dua hal di atas, kesimpulannya adalah saya tidak melanggar kewenangan. Saya justru berjalan sesuai dengan kewenangan yang diberikan uskup kepada saya. Mungkin muncul pertanyaan: kenapa saya tidak minta izin kepada Rm. Eman? Berdasarkan pengalaman umat dan juga pribadi, mendapatkan izin dari Rm. Eman, apalagi berkaitan dengan uang, amat sangat lama dan menjengkelkan. Rm Eman amat sangat prosedural. Harus melalui rapat DPP yang ujung-ujungnya nanti akan tanya ke Bapak Uskup.

Demikianlah refleksi saya atas perbuatan saya selama ini.
Balai, 15 Juli 2013
by: adrian
bersambung ke: sharing 3 cerita....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar