TANTANGAN PERKAWINAN
Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr Dewi Matindas,
dalam sebuah seminar bertajuk “Gonjang-Ganjing
Perkawinan” yang berlangsung di Hotel Sahid, menandaskan bahwa memutuskan
menikah berarti mau menerima tantangan. “Tantangan itu tidak habis-habis,” katanya
mengingatkan.
Dengan terus terang ia mengingatkan bahkan
menyodorkan sejumlah kenyataan dan masalah yang tidak pernah kita bayangkan
sama sekali sebelumnya. Dewi mengemukakan, sejak awal setiap pasangan
suami-istri perlu menyadari beberapa kenyataan utama dalam hidup perkawinan.
Kenyataan
pertama, manusia berubah dari waktu ke
waktu. Bisa jadi, hal-hal yang semula terasa begitu berharga, seiring waktu
kehilangan maknanya. Menurut Dewi, hanya dengan menyadari bahwa setiap
suami-istri dapat (akan) berubah, kita dapat bersikap lebih realistis dalam
menghadapi berbagai kekecewaan dalam perkawinan.
Kenyataan
kedua,
dalam perkawinan pasti ada konflik. Konflik bisa merupakan perbedaan pendapat,
perbendaan nilai maupun kepentingan. ”Tetapi, tak perlu cemas, banyak sekali
konflik yang dapat dipecahkan dengan baik,” tandas Dewi. Kenyataan ketiga, tidak seorangpun
bisa memuaskan semua kebutuhan pasangannya.
Kenyataan
keempat, perkawinan memerlukan sejumlah persyaratan. Tetapi, suami-istri sering
kurang memperhatikan persyaratan yang paling penting, yaitu kematangan
psikologis. Kenyataan
kelima, banyak hambatan yang harus
diatasi untuk meraih kebahagiaan perkawinan. Cinta saja tidak cukup. ”Setiap
orang yang hendak menikah perlu membekali diri dengan sejumlah ketrampilan
psikologis untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan,”
ungkap Dewi.
Kenyataan
keenam,
menikah bukan suatu keharusan. Jangan memaksa menikah hanya karena ’sudah cukup
umur’ atau demi status semata-mata. Jika memang tidak siap, lebih bijaksana
untuk tetap melajang. ”Tidak menikah bukanlah aib!” tegas Dewi
HIDUP, 13 Juli 2008, hlm 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar