Bulan Agustus lalu saya pulang ke kampung (Maumere). Tujuan
utama saya adalah ingin ikut pesta HUT 40 tahun imamat dan 25 tahun uskup Mgr
Hilarius Moa Nurak, SVD. Karena acaranya masih lama, saya menyempatkan diri
mengunjungi saudari saya di Larantuka. Perjalanan ke Larantuka saya jadikan
kesempatan untuk bernostalgia, khususnya dengan daerah Hokeng. Maklum, 4 tahun
saya tinggal di Hokeng sebagai siswa Seminari Menengah San Dominggo. Maka,
ketika memasuki wilayah Boru, pandangan mata saya langsung tertuju ke sebelah
kanan bus. Tatapan saya terarah ke dua gunung Lewotobi, yang oleh penduduk di
sini disebut dengan nama Lewotobi Laki dan Lewotobi Perempuan.
Siang menjelang sore saya tiba di rumah saudari saya. Setelah
basa-basi sejenak, ia bertanya soal perjalanan saya dari Maumere ke Larantuka.
Saya : “Luar biasa! Ada
begitu banyak perubahan, khususnya di Hokeng.”
Adik : “Kebun kopinya
ya?”
Saya : “Bukan! Gunung
Lewotobinya”
Adik : “Ada apa dengan
Lewotobinya?”
Saya : “Kalau dulu ada
dua. Sekarang jadi tiga.”
Adik : “Ah, masak sih? Kan
sudah ada Gunung Lewotobi laki dan Lewotobi Perempuan. Gunung apa lagi yang
ketiga?”
Saya : “Lewotobi
bencong!”
Adik : “@#$%?!^*&%
Tidak ada komentar:
Posting Komentar