Selasa, 22 Juni 2021

ORANG MUDA KATOLIK DALAM SEJARAH BANGSA


 

Mengapa kehidupan menggereja kaum muda dan umat umumnya tidak kelihatan gregetnya? Tulisan singkat ini mau memperlihatkan sejarah gerakan kaum muda. Kita bisa menilai perbedaan kaum muda dulu dan kini. Pertanyaan adalah: Mau dibawa ke mana Gereja kita? Semoga paparan ini memberi inspirasi.

1. Tonggak-Tonggak Sejarah

Awal 1900-an: Para Misionaris Katolik makin mantap berkarya mewartakan Injil di Indonesia (Hindia Belanda) dengan membuka karya pendidikan dan pelayanan medis serta pengajaran iman Katolik. Rm Van Lith mendirikan HIK (Sekolah Guru Katolik) di Muntilan untuk mendidik orang muda sebagai guru bagi bangsanya. Lahirlah generasi intelektual Katolik Indonesia.

Agustus 1923: 30 orang guru muda berusia 22-23 tahun alumni sekolah guru mendirikan Perkumpulan Katolik untuk aksi politik bagi orang-orang Jawa.

Februari 1925: berdiri Perkumpulan Politik Katolik Jawa.

Tahun 1930: Organisasi politik umat Katolik yang dimotori orang-orang muda bersatu dalam Persatuan Politik Katolik Indonesia.

Tahun 1930 – 1949: Ada banyak komunitas kaum muda Katolik, mulai dari Muda Katolik, Muda Wanita Katolik, Pandu Katolik hingga misdinar.

7 – 12 Desember 1949: diadakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia. Semua ormas Katolik disatukan ke dalam satu organisasi tunggal, yaitu Partai Katolik. Namun Pandu Katolik masih dipertahankan.

Pada bulan ini Munajat, mewakili Mgr Sugiyopranata, menjadi satu-satunya utusan organisasi pemuda yang ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda. Ia berperan penting dalam lobby politik di Belanda melalui partai Katolik Belanda di parlemen.

Tahun 1950-an: Gerakan Pancasila dirintis atas inisiatif dari Mgr. Soegijapranata sebagai counter dominasi ideologi pada kehidupan masyarakat (pola ini kemudian dipakai untuk membuat sekber Golkar). Gerakan Pancasila terdiri dari berbagai organisasi seperti nelayan, petani, paramedis, usahawan.

Juli 1960: kelompok Muda Katolik Indonesia dalam kongres di Solo berubah menjadi Pemuda Katolik atas usul Munajat.

Tahun 1960-an: Pater Beek merintis kaderisasi politik KASBUL untuk mahasiswa/ intelektual muda Katolik untuk menghasilkan kader-kader yang militan.

Tahun 1965: Melawan komunisme, Pemuda Katolik dan PMKRI memegang peran kunci. PMKRI di kota besar dan di lingkaran kekuasaan, PK di desa-desa dan kota kecil, di lingkaran massa. Ada juga ISKI (Ikatan Siswa Katolik Indonesia), Partai Katolik, yang menggalang Front Pancasila, serta WKRI. Untuk membendung komunisme dengan dukungan hirarkhi dibentuklah Front Katolik Tanpa Lubang.

Tahun 1973: Muncul UU Kepartaian. Partai Katolik melebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Akibatnya kerangka sistem peran sosial politik Gereja Katolik Indonesia pun runtuh.

Tahun 1974: Peran sosial politik kaum muda Katolik masih sangat terasa, ini tampak dalam Kongres KNPI I 27 Okt 1974. PMKRI dan PK menjadi delegasi yang mewakili hampir 50% delegasi KNPI propinsi/kabupaten dari seluruh Indonesia. Setelah itu mulai terjadi penurunan dinamika dengan cepat.

1970 – 1980-an : SPIRITUALITAS

Model pendampingan seperti Choice, Karismatik, Anthiokhia mulai bermunculan. Di Bandung Gereja Mahasiswa mulai dirintis. Ada Retret Nasional disponsori oleh Romo Dahler. Gladi Rohani lahir dari gerakan para alumni Retnas. Pendekatan CIVITA KAJ mulai muncul dan membentuk trend baru pendampingan yang berorientasi spiritualitas dan pengembangan karakter. Muncul pula KASIS (Kaderisasi Basis). Di UGM muncul Misa Kampus.

Tahun 1985: Karena situasi internal pendampingan kaum muda makin lemah serta munculnya UU Keormasan (wujud depolitisasi Orde Baru) yang melarang ormas ada dalam lingkungan tempat ibadah, diputuskan PMKRI dan PK lepas dari struktur paroki dan mengikuti struktur pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten, dst). Keduanya mengisi peran eksternal gereja. Sebagai gantinya dibentuklah Mudika untuk kaum muda teritorial, dan KMK untuk mahasiswa kategorial. Akibatnya PK dan PKMRI kehilangan basis massa kader, sementara KMK dan Mudika kehilangan kesadaran kritis dan tanggung jawab sosialnya, terbenam ke dalam dirinya sendiri.

1980 – 1990-an : KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL

Muncul kelompok-kelompok Katolik muda yang sangat beragam sifatnya, non-hirarkhis, serta berorientasi sosial politik kemasyarakatan. Model-model live-in, teater rakyat, kelompok diskusi, bahkan pandampingan desa bermunculan. Peran para frater Jesuit dengan proyek sosial mereka sangat berpengaruh. Gerakan sosial kaum muda Katolik masa ini sangat terinspirasi Teologi Pembebasan. Gerakan Romo Mangun dan karya-karyanya memotivasi banyak orang. Di Solo komunitas Keping (Kelompok Pinggiran) tumbuh. Selain itu komunitas yang lebih rohani seperti bengkel Rohani, Bahtera Rohani, Jarkom Pelajar Katolik untuk pertama kali muncul. Dua simpul seni yang dimotori orang muda Katolik muncul di Yogya: teater Introspeksi di Kotabaru oleh Landung Simatupang, Lono Simatupang, Nasarius Sudaryono di Utara, dan teater Gandrik di Yogya Selatan.

Tahun 1998: Pada masa Reformasi, peran OMK ada tetapi bersifat personal-individual. Tetapi ada gerakan mahasiswa di dua kampus Katolik di Yogyakarta yang memegang peran penting dalam gerakan Mei 1998: FAMPERA di Atmajaya dan SOMASI dari USD.

Generasi 2000: Komersialisasi dan pencabutan subsidi pendidikan oleh negara dan tekanan ekonomi menjadikan tekanan studi serta orientasi kerja sangat menonjol, kesadaran dan kerinduan organisasi melemah luar biasa. Di sisi lain sejak remaja kebudayaan populer yang serba gemerlap terus dijejalkan melalui media massa dan teknologi, ini melahirkan generasi yang cenderung hedonis & individualis. Hal ini membuat keterlibatan kaum muda di gereja semakin berkurang.

2. Apa yang kita pelajari ?

Dari sejarah tersebut ditunjukkan hal-hal berikut :

* Awam yang kuat

Dinamika Gereja sangat hidup di tahun 1950 – 1970-an karena kuatnya peran kaum muda dalam gereja. Artinya, kaum muda mau memberi diri berperan aktif. Inisiatif gerakan selalu berawal dari kaum muda.

* Dukungan hirarkhi yang kuat

Adanya dukungan sinergis dari hirarkhi mulai dari paroki hingga tingkat nasional. Ini karena ada saling kebutuhan yang sangat kuat merajut keduanya.

* Visi bersama yang menggerakkan segala sesuatu

Visi yang kuat mampu menyatukan seluruh energi awam dan hirarkhi ke dalam satu barisan pendampingan dan kaderisasi kaum muda yang sangat tertata. Yang pertama semangat anti komunisme, yang kedua mempengaruhi kekuasaan.

* Spiritualitas yang utuh dan mendalam

Kalau gereja sekarang berorientasi pada aspek liturgis semata, Gereja pada periode-periode awal hingga tahun 1970-an sangat berorientasi pada formatio umatnya. Ini terasa mulai dari pendekatan pendidikan dan spiritualitas sehingga melahirkan generasi muda Katolik dengan wataknya khas: religius, sederhana, sabar, telaten, daya tahan, cerdas, bisa dipercaya, serta organisator ulung.

* Dari politik kekuasaan menjadi politik kemanusiaan

Gerakan politik Katolik lama adalah politik kekuasaan. Akibatnya umat agama lain merasa tersisihkan, tidak mendapat ruang dalam politik nasional. Ini melahirkan kebencian yang masih sangat membekas hingga kini. Sejak periode 1980 – 1990-an gerakan kembali pada orientasi kemanusiaan. Contohnya (alm) Romo Mangunwijaya.

4. Membuka Kesadaran

Gereja dan OMK berada di tengah realitas kemiskinan, pluralitas agama dan budaya, perusakan lingkungan hidup, korupsi, kekerasan. Di tengah kondisi ini, Umat Katolik yang berjumlah 3 persen dari jumlah penduduk (sekitar 7,5 juta jiwa) dengan jumlah OMK sekitar 4 juta jiwa merupakan kekuatan yang potensial untuk menyumbangkan kesaksian hidup akan karya keselamatan di Indonesia.

Kalau dulu kaum muda memberi diri dalam karya sosial politik sebagai wujud kesaksian hidup, bagaimana dengan kaum muda sekarang? Akankah kita diam urus diri sendiri tanpa mau peduli akan nasib sesama dan Gereja? Apakah tunggu ada masalah dulu baru kita datang ke Gereja?

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar