Minggu, 04 Oktober 2020

MEMAHAMI ISTILAH ISLAMFOBIA DAN FOBIAISLAM


TERKAIT dengan dua kata, islam dan fobia, pada umumnya publik lebih mengenal istilah islamfobia daripada fobiaislam. Istilah islamfobia jauh lebih popular sehingga masyarakat tidak tahu dan tidak paham akan istilah fobiaislam. Sekalipun memiliki kesamaan dalam hal “ketakutan”, kedua istilah ini, islamfobia dan fobiaislam tidak hanya berbeda dalam hal makna, tetapi juga subyek dan juga sumbernya.

Istilah islamfobia selalu dikenakan oleh orang islam kepada orang non-muslim yang mempunyai ketakutan terhadap islam. Pertama-tama ketakutan terhadap islam dikaitkan dengan aksi-aksi terorisme. Maklum, setiap aksi teroris selalu terkait dengan islam sehingga istilah islamfobia pun berkorelasi langsung dengan terorisme. Karena itu, setelah peristiwa teroris muncul perasaan takut pada diri kaum non muslim, dan karena perasaan inilah mereka dicap ‘islamfobia’. Umat non muslim takut (fobia) karena bisa saja nyawa dan diri mereka menjadi sasaran kebiadaban para teroris yang memang beragama islam. Mereka bisa mati atau juga cacat fisik yang berlaku seumur hidup. Dan semua itu karena umat islam yang menjalankan perintah Allahnya.

Selain itu, istilah islamfobia juga dikenakan kepada setiap ada orang yang menulis negatif tentang islam. Kesan negatif ini, sebenarnya merupakan sudut pandang umat islam sendiri, karena mereka sudah terlebih dahulu dicekoki bahwa islam itu indah, damai dan rahmatan lil alamin. Dari sudut pandang penulis, sebenarnya mereka hanya mengungkapkan fakta yang ada. Misalnya, penulis buku “Islam and Terorism”, “Understanding Muhammad atau “The Truth about Muhammad”. Banyak penulis buku-buku islam dicap islamfobia lantaran mereka membeberkan tentang sisi gelap dan negatif, baik itu nabi Muhammad maupun agama islam itu sendiri. Sekalipun sumber tulisannya berasal dari islam sendiri, seperti Al-Quran maupun hadis, yang ternyata memang mengungkapkan sisi gelap dan negatif islam (termasuk Muhammad), tetap saja para penulis ini dilabeli islamfobia.

Di balik pelabelan islamfobia ini, tampak jelas bahwa umat islam, yang memberi label tersebut, hendak mengatakan bahwa islam itu baik, dan orang yang “melihat” islam buruk itu salah. Sumber “keburukan” islam yang dilihat atau ditemui oleh umat non muslim sehingga menimbulkan ketakutan terdapat pada ajaran islam (Al-Quran dan hadis) dan prakteknya dalam hidup. Islam mengajarkan untuk membunuh orang kafir, dan itulah yang dilakukan oleh umat islam yang terlibat dalam aksi terorisme. Dapatkah umat islam yang melabeli orang dengan label islamfobia mengembalikan nyawa mereka yang mati atau cacat fisik karena bom bunuh diri? Di samping itu, islam mengajarkan untuk membenci dan memusuhi orang kafir, dan itulah yang dilakukan oleh umat islam yang tampak dalam aksi intoleransi dan kekerasan. Memang patut diakui bahwa hal-hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan tafsir. Akan tetapi, perlu diketahui dan disadari juga, terlebih oleh umat islam sendiri, bahwa masalah beda tafsir ini bukan hanya terjadi pada orang non muslim, tetapi juga pada umat islam sendiri. Hanya sayangnya, label islamfobia sepertinya cuma dikenakan kepada orang non muslim.

Bagaimana dengan istilah fobiaislam? Istilah fobiaislam dipahami sebagai ketakutan yang dialami oleh umat islam. Dasar dari ketakutan ini adalah kecurigaan akan adanya usaha-usaha untuk melemahkan atau menghancurkan islam. Upaya menghancurkan islam ini bisa saja dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Upaya tak langsung itu misalnya seperti keunggulan pihak lain, yang dinilai sebagai pelemahan terhadap islam.

Ketakutan-ketakutan islam ini umumnya terjadi pada para tokoh agamanya. Dari mereka ketakutan itu ditularkan ke umat islam lainnya. Berikut ini beberapa contoh fobiaislam yang ada.

1.    Dalam sebuah tausiyah, seorang ustad mengatakan bahwa telah terjadi usaha untuk menghancurkan islam, dan usaha itu sudah dilakukan kepada anak-anak islam. Hal itu tampak pada lagu “Balonku ada 5”. Lagu ini sudah diajarkan kepada anak-anak. Dalam lagu itu ada lirik “meletus balon hijau”. Meletusnya balon hijau dimaknai sebagai penghancuran islam.

2.    Juga dalam ceramah keagamaan, seorang ustad menjelaskan tentang adanya kristenisasi terhadap anak-anak islam. Dia merujuk pada lagu “Naik-naik ke puncak gunung”. Lirik lagu dari naik hingga kiri kanan, serta frase pohon cemara dilihat sebagai wujud kristenisasi, dan hal itu dilakukan kepada anak-anak islam.

3.    Ketika ada penyerangan atau “penindasan” terhadap umat islam Rohingya, Uighur, Palestina atau umat islam lainnya, umat islam belahan dunia lain akan melakukan aksi unjuk rasa. Tak jarang mereka melakukan kekerasan terhadap orang atau unsur yang berbau para penyerang atau penindas itu. Mereka tidak melihat peristiwa tersebut sebagai tindakan melawan kemanusiaan melainkan sebagai upaya untuk menghancurkan islam.

4.    Sudah jadi rahasia umum bahwa umat islam takut pada salib atau sesuatu yang menyerupainya. Karena itu, simbol “palang merah” diganti bulan sabit dan bintang, seorang pengusaha Arab yang membeli salah satu klub sepakbola di Eropa, ingin menggantikan logo klub lantaran ada tanda seperti salib, dan di banyak tempat di Riau, umat kristen boleh mendirikan gereja tapi tak boleh pasang salib.

5.    Ketika terjadi bencana alam, banyak gereja membuka pintu untuk menjadi tempat pengungsian bagi siapa saja, termasuk umat islam. Tak jarang upaya ini dilihat sebagai bentuk kristensisasi. Dan itulah yang diutarakan oleh pemuka agama islam.

6.    Adanya fatwa larangan tidak hanya mengucapkan selamat hari natal tetapi juga menghadiri perayaan natal. Sepertinya ada ketakutan iman islamnya akan hancur

Masih banyak lagi contoh fobiaislam. Contoh-contoh di atas sudah cukup sebagai bukti adanya fobiaislam itu. Jika dicermati baik-baik, tampak jelas bahwa ketakutan-ketakutan yang terjadi pada umat islam ini sama sekali tidak ada dasar dan juga tidak masuk akal. Misalnya pada contoh dua lagu di atas, sungguh orang yang mempunyai akal sehat akan merasa terganggu melihat ada orang, yang ahli dalam agama, punya pemikiran seperti itu. Ketakutan pada salib atau yang menyerupai salib juga dinilai sangat tidak masuk akal. Sama sekali tidak ada kaitan antara bentuk seperti salib dengan kristensisasi. Demikian pula halnya dengan larangan mengucapkan selamat hari natal atau juga menghadiri perayaan natal. Mohammad Roem pernah berkata, “Saya tidak merasa iman saya berkurang ketika diminta untuk menyalakan lilin pada hari Natal.” Pernyataan tokoh nasional ini seakan hendak menyindir para fobiaislam.

Dari uraian di atas terlihat jelas perbedaan dasar ketakutan pada dua fobia ini. Ketakutan umat non muslim yang dicap islamfobia ada dasarnya. Mereka tidak mau jadi korban umat islam yang menjalankan ajaran agamanya. Korban di sini bisa saja dalam bentuk nyawa, cacat fisik maupun kerugian materil. Ketakutan itu tentu saja tidak akan hilang mengingat akarnya ada pada ajaran islam, yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Karena itu, sangat tidak etis orang yang jadi korban ini dilabeli islamfobia. Sementara ketakutan umat islam yang dicap fobiaislam benar-benar tidak ada dasarnya dan sungguh tak masuk akal. Orang yang masih mempunyai nalar tentu akan merasa aneh melihat umat islam, apalagi seorang tokoh agama, dengan fobiaislam ini.

Jika ketakutan umat non muslim yang diberi label islamfobia memiliki dasar dan masuk akal, sedangkan ketakutan umat islam yang berlabel fobiaislam tak memiliki dasar dan tak masuk akal, maka siapakah yang sebenarnya pantas dan layak mendapat gelar FOBIA?

Lingga, 27 Agustus 2020

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar