Rabu, 16 Oktober 2019

PASAL SEKS DALAM UNDANG-UNDANG, KENAPA TIDAK BOLEH?


Beberapa hari yang lalu, anggota DPR periode 2014 – 2019 hendak mengesahkan beberapa produk hukum. Akan tetapi, aksi demo pecah menentang rencana DPR itu, sehingga akhirnya Presiden Jokowi meminta agar rencana tersebut ditunda. Penundaan tersebut disebabkan adanya pasal-pasal kontroversial. Di antaranya adalah pasal seksual, yang ada dalam RKUHP dan RUU-PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual).
Sejumlah pasal seksual dinilai oleh banyak kalangan yang menolak sebagai bentuk campur tangan negara yang berlebihan, karena masalah-masalah tersebut merupakan ranah pribadi. Pasal-pasal itu antara lain:
1.    Pasal zinah dan perbuatan cabul
2.    Pasal sexting
3.    Pasal kumpuil kebo
4.    Pasal perkosaan suami terhadap istri
5.    dll.
Pasal-pasal tersebut menimbulkan penentangan dari warga, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Tak sedikit warga nets menyindir dengan cuitan-cuitan menggelitik, yang dapat membuat orang bukan saja tersenyum dan malu tetapi juga telinga merah. Harus jujur diakui, tidak semua rakyat Indonesia menolak rancangan undang-undang seks tersebut. Berhadapan dengan situasi ini, tidak hanya DPR dan pemerintah yang berada di persimpangan jalan, tetapi juga warga masyarakat lainnya. Akankah 2 RUU tersebut disahkan?
Kenapa Dibutuhkan
Pertama-tama perlu disadari bahwa hukum merupakan salah satu pilar keberadaban suatu masyarakat. Dapat dikatakan bahwa masyarakat beradab terlihat dari adanya produk hukum dan ketaatan pada hukum tersebut. Tanpa hukum, masyarakat akan jatuh kepada budaya barbarianisme. Salah satu bentuknya adalah main hakim sendiri. Tentulah dapat diprediksikan situasi masyakat yang demikian.
Pasal-pasal seksual yang terdapat dalam RKUHP dan RUU-PKS bukanlah merupakan produk hukum yang tiba-tiba jatuh dari langit. Dapatlah dikatakan bahwa pasal-pasal itu lahir dari keprihatinan akan situasi sosial masyarakat terkait dengan kehidupan seks. Ada indikasi masyarakat Indonesia, akibat kemajuan teknologi yang tidak dibekali dengan filterisasi, jatuh dalam kehidupan liberal. Pergaulan bebas sudah merasuk dalam kehidupan, tidak hanya di kalangan orang dewasa, tetapi juga remaja.
Tentu kita ingat akan kasus video seks sejumlah artis yang muncul di media sosial. Harus diakui bahwa masih ada banyak kasus serupa, yang pelakunya adalah warga biasa, namun tidak berakhir di pengadilan. Dan kita harus jujur mengakui bahwa semua itu adalah fenomena dari pucak gunung es. Ada banyak orang Indonesia, baik orang dewasa maupun anak-anak telah melakukan perbuatan seks. Beberapa pelakunya konon masih berstatus pelajar. Di antara mereka pernah terciduk oleh aparat. Namun, karena tidak ada payung hukum yang dapat menindak mereka, terpaksa mereka dibebaskan hanya dengan beberapa nasehat agar tidak mengulangi lagi. Dengan kata lain, pelakunya ditangkap, dinasehati, diperingati lalu dilepaskan. Lantas, apakah perbuatan mereka itu berkurang? Dapat dipastikan: tidak sama sekali.
Masalah kumpul kebo sangat marak dewasa kini. Banyak orang berkelit bahwa biaya perkawinan sangat tinggi. Sebenarnya bukan upacara perkawinan yang mahal, tetapi pesta perkawinan. Di sini sudah masuk urusan gengsi. Karena gengsi inilah, orang akhirnya menunda meresmikan perkawinannya. Persoalannya, mereka malah hidup bersama di tengah masyarakat, tanpa pernah menyadari hal ini menjadi gambaran buruk bagi anak-anak muda di sekitarnya. Jika tidak ditindak, maka anak-anak akan melihat bahwa kumpul kebo dibenarkan, atau merupakan salah satu bentuk lain dari hidup berkeluarga. Dan bukan tidak mungkin kelak mereka pun akan melakukan hal yang sama. Padahal hampir semua orang tahu dampak buruk, baik secara hukum, sosial maupun agama dari kumpul kebo tersebut.
Beberapa bulan belakangan ini marak ditayangkan di media sosial kasus-kasus pelakor (perebut laki orang). Pelakor tak jauh beda dengan perselingkuhan. Dan tentu tak sedikit orang sepakat bahwa perselingkuhan dan/atau pelakor dapat merusak rumah tangga seseorang. Dan jika rumah tangga berantakan, anak-anak akan menanggung bebannya. Anak akan menderita, baik secara psikis maupun sosial. Dan karena tidak ada payung hukum yang mengurusnya, maka yang terjadi adalah tindakan main hakim sendiri. Bentuknya bisa perkelahian fisik hingga pembunuhan.
Patut diakui bahwa persoalan seks ini selalu mendapat perhatian dari semua agama. Namun, apakah agama sama sekali tidak berperan? Sangat pasti bahwa agama, melalui tokoh agama, telah memberikan penyadaran kepada umatnya. Berbagai bentuk kegiatan telah dilakukan dengan tujuan agar pergaulan bebas berkurang, bahkan hilang. Namun, kenyataannya hal ini kian marak. Bentuk-bentuk lain dari pergaulan bebas muncul seiring dengan kemajuan teknologi. Salah satunya adalah sexting.
Haruskah keadaan ini dibiarkan? Haruskan bangsa ini jatuh ke titik nadir moralitas? Karena, kalau dibiarkan terus, maka siapa saja, termasuk anak-anak dapat dengan bebas melakukan hubungan seks, yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh mereka yang sudah resmi berstatuskan suami dan istri. Jika dibiarkan terus, maka anak-anak kita dengan leluasa memamerkan anggota tubuhnya demi mendapatkan love, jempol, love, jempol, yang ujung-ujungnya adalah duit.
Beberapa Persoalan Hukum
Di tengah masyarakat yang plural seperti Indonesia, tentulah hukum tidak dapat menjawab kebutuhan/persoalan semua warganya. Bisa dipastikan bahwa antara satu masyarakat dengan masyarakat lain ada perbedaan pandangan terkait satu pasal dari suatu produk hukum, termasuk pasal seks. Persoalannya adalah bahwa dalam hukum berlaku juga asas kesamaan di muka hukum.
Misalnya, soal pornografi, yang sudah berkali-kali dipersoalkan. Ada masyarakat tertentu menilai bahwa ketika wanita memperlihatkan belahan dadanya, sudah dianggap porno, sementara masyarakat dengan budaya tertentu, misalnya budaya kebaya, melihat hal itu biasa saja. Orang islam, dengan dasar agamanya, tentu dapat menilai paha gadis-gadis yang mengenakan rok mini atau celana pendek di muka umum, sebagai bentuk pornoaksi. Belum lagi melihat pria Papua yang biasa mengenakan koteka. Apakah pasal pornografi ini dikenakan juga pada mereka?
Contoh lain adalah pasal yang mengatur perkosaan suami terhadap istri. Umumnya, orang melihat bahwa setelah menikah istri berada di bawah kuasa suami. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan budaya patriliastik. Suami dapat melakukan apa saja terhadap istrinya, termasuk “memperkosa” istri. Memperkosa merupakan bentuk pemaksaan berhubungan seks sekalipun istri menyatakan tidak setuju atau tidak siap karena berbagai alasan.
Meskipun demikian, beberapa agama tetap menyatakan persetujuannya terhadap masalah ini. Artinya, agama-agama ini memang tidak menghendaki adanya pemerkosaan suami terhadap istri. Bagi agama-agama tersebut, posisi suami istri adalah setara. Akan tetapi tidak bagi agama islam. Agama islam mengajarkan bahwa istri wajib melayani kebutuhan seks suaminya ketika diminta, terlepas apakah dia setuju atau tidak, siap atau tidak. Dasar ajaran ini ada dalam Al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, seorang suami tetap dapat menyalurkan hasrat seksualnya kapan saja dia mau, dan istri wajib memenuhi. Hal ini bukan pemerkosaan, sekalipun dari definisinya hal ini masuk kategori pemerkosaan. Pertanyaannya, apakah pasal perkosaan suami terhadap istri dapat dikenakan juga kepada umat islam?
Kasus perkosaan suami terhadap istri ini tak jauh beda dengan kasus/pasal yang mengatur perjudian. Bagi kebanyakan agama, tentulah sangat mendukung pasal ini, karena agamanya juga melarang. Namun tidak bagi agama konghucu, dimana judi dibolehkan; malah ada dewa yang mengurus perjudian. Namanya Han Xin Ye. Jadi, bisa saja orang itu sudah berdoa kepada dewa judi, sehingga dia pergi main judi. Akankah pasal judi dikenakan kepadanya jika dia ditangkap aparat?
Penyakit Kanker Berawal dari 1 Sel
Penyakit kanker merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di seluruh dunia. Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel abnormal yang tidak tekendali di dalam tubuh. Pertumbuhan sel abnormal ini dapat merusak sel normal di sekitarnya dan di bagian tubuh yang lain. Hingga saat ini belum ada obat yang benar-benar ampuh mengobati orang dari penyakit kanker.
Dari segi medis, faktor penyebab kanker adalah perubahan genetik pada sel. Perubahan genetik akan membuat sel menjadi abnormal. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa awalnya sel itu hanya 1, namun kemudian berkembang dengan cara membelah diri sehingga menjadi banyak, yang kemudian menggerogoti tubuh manusia.. Sebenarnya, tubuh mempunyai mekanisme sendiri untuk menghancurkan sel abnormal ini. Tapi bila mekanisme tersebut gagal, maka sel abnormal akan tumbuh secara tidak terkendali hingga berdampak pada kematian. Sebenarnya kematian dan penderitaan akibat penyakit kanker dapat dihindari jika setiap orang melakukan tahap pencegahan dari dini.
Demikian pula halnya dengan penyakit dalam masyarakat. Pasal-pasal seksual yang terdapat dalam RKUHP dan RUU-PKS, seperti perkosaan suami terhadap istri, pornografi/pornoaksi, percabulan, perzinahan dan kumpul kebo merupakan bentuk penyakit dalam masyarakat. Sama seperti penyakit kanker yang berawal dari 1 sel kecil, semua itu penyakit masyarakat itu juga bermula dari hal terkecil, yaitu ranah privat. Dari masalah privat ini kemudian menyebar menjadi penyakit masyarakat. Dan kalau masyarakat sudah terjangkit dengan penyakit, maka negara akan menjadi lemah, karena masyarakat merupakan salah satu pilar dari sebuah negara-bangsa.
Karena itu, dapatkah produk hukum yang mengatur kehidupan masyarakat ditolak atas dasar ranah privat? Hal ini sama saja dengan membiarkan sel kanker berkembang dan menjalar; dan jika dibiarkan terus maka akan menyebabkan kematian penderitanya. Haruskah kita menunggu bangsa kita hancur?
Hukum harus dilihat sebagai cara terakhir mengatur kemaslahatan masyarakat.  Dengan kata lain, ketika orangtua, lembaga pendidikan dan agama “gagal” dalam menyadarkan warganya akan “penyakit” ini, maka hukum yang harus dikedepankan. Dengan hukum maka orang tidak akan main hakim sendiri.
Batam, 10 Oktober 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar