KESERAKAHAN DAN RANGKAP JABATAN
Serakah atau keserakahan
merupakan salah satu sifat buruk yang harus dihindari. Dalam Kitab Suci
Perjanjian Baru terdapat 10 kali penyebutan kata ini, yaitu sekali dalam Injil
(Mrk 7: 22), tujuh kali dalam surat Paulus (Rom 1: 29; Ef 4: 19; Ef 5: 3; Ef 5:
5; Kol 3: 5; 1Tim 3: 8 dan Tit 1: 7) dan dua kali dalam surat Petrus (2Ptr 2: 3
dan 2Ptr 2: 14). Semuanya menyerukan agar umat menghindari sifat serakah ini,
karena orang yang serakah tidak akan mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus
dan Allah (Ef 5: 5).
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “serakah” dipahami sebagai selalu
hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Orang yang memiliki sifat ini
mempunyai perasaan tidak puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya. Dia ingin
lagi dan lagi, sekalipun ia sadar akan keterbatasan dirinya. Karena itu, kata
“serakah” ini berpadanan dengan kata tamak atau rakus.
Dalam arti tertentu,
kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, ke dalam dosa disebabkan karena sifat
serakah mereka. Sekalipun sudah menikmati hidup bahagia di taman Eden, namun
mereka tidak puas. Mereka ingin lebih. Pada titik inilah setan masuk dan
menggoda. “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa
pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti
Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej 3: 4 – 5). Manusia ingin
lebih dari apa yang sudah ada, sehingga akhirnya ia menuruti godaan setan.
Keserakahan dapat terlihat
dalam berbagai wujud. Perselingkuhan yang terjadi dalam dunia rumah tangga bisa
dikatakan sebagai bentuk lain dari keserakahan, karena suami atau istri merasa tidak
puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya, yaitu pasangan hidupnya. Keserahakan
juga dapat dilihat pada perilaku remaja yang melakukan hubungan seks sebelum
nikah, karena tindakan itu hanya dikhususkan bagi mereka yang sudah resmi
menjadi suami istri (makanya, hubungan seks = hubungan suami istri). Orang yang
melakukan korupsi pun dapat dimasukkan ke dalam kategori serakah.
Masih banyak lagi bentuk
konkret dari keserakahan. Yang akan dibahas di sini adalah soal rangkap
jabatan. Ada banyak dalam kehidupan kita, baik itu dalam dunia sipil maupun
dalam dunia Gereja, fenomena rangkap jabatan. Artinya, satu orang memegang
beberapa jabatan. Menjadi persoalan, apakah rangkap jabatan termasuk kategori
serakah?
Perlu disadari bahwa tidak
semua yang rangkap jabatan itu adalah serakah. Akan tetapi, yang serakah itu
pasti rangkap jabatan. Tidak ada orang yang tidak serakah hanya memiliki satu
jabatan saja. Karena sifat tidak puas dengan apa yang sudah ada itu membuat orang
berusaha untuk mendapatkan jabatan lain. Namun, orang yang rangkap jabatan
belum bisa dikatakan sebagai orang serakah.
Orang memiliki beberapa jabatan,
atau biasa disebut rangkap jabatan, dapat disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, keterbatasan tenaga kerja. Keterbatasan
ini bisa disebabkan karena real tidak ada orang. Misalnya, di Keuskupan
Jayapura pernah terjadi satu imam menjabat 2 – 3 paroki. Hal ini dikarenakan jumlah
imamnya tak sebanding dengan jumlah parokinya, sehingga satu orang merangkap
jabatan. Atau bisa juga keterbatasan itu karena demi penghematan. Misalnya, di
suatu lembaga pendidikan, tenaga sekretaris merangkap jabatan sebagai kepala
gudang sekaligus mengajar.
Kedua,
jabatan
yang didapat karena jabatan sebelumnya. Artinya, jabatan lain itu didapat
karena jabatan pertama yang disandangnya. Istilah teknisnya ex-officio. Contohnya, dalam pemerintahan,
ketua Forum Kebersamaan Umat Beragama (FKUB) dijabat oleh wakil kepala daerah. Jadi,
orang mendapatkan jabatan ketua FKUB karena jabatan wakil kepala daerah yang
melekat padanya. Atau Pastor Kepala Paroki adalah juga sekaligus ketua Dewan
Pastoral Paroki dan Ketua Dewan Pengelola Harta Benda Gereja. Jabatan ketua DPP
dan DPHGB diperoleh karena jabatan Pastor Kepala Paroki.
Jadi, jangan langsung
menghakimi orang yang merangkap beberapa jabatan sebagai orang serakah. Harus dilihat
dulu latar belakang jabatan-jabatan itu. Mungkin jabatan-jabatan lain itu
diperoleh karena jabatan pertama atau karena adanya keterbatasan tenaga kerja.
Bagaimana bila beberapa
jabatan yang disandang seseorang sama sekali tidak ada kaitan dengan dua faktor
tadi? Misalnya kita ambil contoh satu keuskupan. Ada seorang menjabat ketua
yayasan anu, tapi merangkap juga sebagai rektor di perguruan pada yayasan lain.
Atau, seseorang menjabat sebagai ketua yayasan A, merangkap dua jabatan lain
yang sama sekali tidak ada kaitan dengan jabatan pertama. Soal tenaga kerja,
masih ada banyak orang yang bisa dan mau. Persoalannya, orang lain ini tidak
diberi kepercayaan, dan/atau keuskupan ini sudah dirasuki sistem oligarki.
Apakah contoh di atas dapat
dikategorikan serakah? Apakah orang yang menjabat sebagai ketua yayasan dan rektor
di perguruan adalah orang yang serakah mengingat bahwa masih ada imam lain yang
dapat dan bersedia memegang salah satu jabatan itu? Apakah orang yang menjabat
jabatan A, B dan C adalah orang yang serakah mengingat bahwa masih ada imam
lain yang dapat dan bersedia memegang salah satu jabatan itu? Yang pasti
adalah: orang serakah akan merangkap jabatan, karena ia tidak puas hanya dengan satu jabatan.
Perlu diketahui bahwa sifat
serakah merupakan pelanggaran terhadap kodrat kita sebagai manusia. Sifat serakah
bertentangan dengan citra manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
kita disadarkan adanya orang lain di sekitar kita. Dan dengan kesosialan itu
kita terpanggil untuk berbagi. Jadi, sifat serakah bertentangan dengan sifat
berbagi, yang merupakan kodrat manusiawi kita.
Sungguh ironis bahwa Kitab
Suci mengajarkan umatnya untuk tidak serakah, namun justru pimpinan agamanya
yang serakah. Lebih ironis lagi karena para pimpinan agama ini yang
mengajarkan, lewat kotbah atau homili, supaya umat menghindari sifat serakah
ini. Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi seperti jaman Tuhan Yesus dengan
para ahli Taurat, kaum Farisi dan pemuka agama Yahudi lainnya. Karena itu,
Tuhan Yesus pernah berkata, “Waspadalah terhadap ragi, yaitu kemunafikan orang
Farisi.” (Luk 12: 1), “karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.”
(Mat 23: 3).
Pangkalpinang,
10 September 2015
by:
adrian
Baca
juga tulisan terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar