Jumat, 13 Februari 2015

Melihat Konflik KPK - POLRI dalam Kacamata Film American Gangster

Tahun 2007 Ridley Scott memproduksi sebuah film aksi dengan judul American Gangster. Film ini, yang ditulis oleh Steve Zaillian, berangkat dari kisah nyata perjalanan karier gembong narkoba, Frank Lucas (diperankan oleh Denzel Washington), dan kehidupan detektif Richie Roberts (dimainkan oleh Russell Crowe).

Dikisahkan kerajaan bisnis haram Frank Lucas sudah merasuk sendi-sendi kehidupan masyarakat. Untuk memperkuat kerajaannya, Frank menyuap semua aparat penegak hukum. Menurut pengakuan Frank, setelah ditangkap dan dimintai kerja samanya, tiga per empat dari agen Pemberantas Obat Bius di New York terlibat dan separuh dari polisi kota juga membekingi bisnis haram tersebut.

Namun, sekalipun begitu banyak polisi korup, masih ada segelintir yang bersih. Dialah Richie Roberts bersama timnya. Roberts adalah seorang detektif kepolisian yang bersih. Ia konsisten dalam tugasnya dan tidak mudah disuap. Integritasnya terbukti ketika ia dan rekan tugasnya (bukan timnya) menemukan uang dalam sebuah tas di dalam bagasi mobil yang memang lagi mereka incar. Dalam tas itu terdapat lebih dari satu juta dolar. Semua uang itu diserahkannya kepada atasannya tanpa mengambil sesen pun.

Berkat kerja keras Roberts dan timnya, bisnis narkoba Frank berhasil dibongkar. Usaha mereka bukan semata menyasar ke kerajaan bisnis Frank Lucas saja, melainkan juga ke oknum-oknum penegak hukum yang korup. Dan itulah yang terjadi. Richie Roberts membersihkan institusi kepolisian dari kejahatan narkoba dan praktek korupsi.

Apakah Richie Roberts seorang malaikat? Apakah Richie Roberts sama sekali tidak punya kelemahan atau kekurangan? Sama sekali tidak! Richie Roberts bukanlah manusia yang sempurna. Ia tetap memiliki kelemahan dan kekurangan, meski kekurangan itu tidak ada kaitannya dengan jabatan dan tugasnya di kepolisian. Kelemahan Roberts terletak pada usahanya membina rumah tangga. Di samping itu, Roberts juga punya kebiasaan main serong. Dalam film terlihat bahwa Roberts berhubungan intim dengan pengacara perceraiannya.

Kisah film American Gangster ini mengajak kita melihat carut marut sengketa POLRI dan KPK. Banyak orang melihatnya sebagai konflik KPK dan POLRI. Saya melihatnya sebagai konflik KPK dan KORUPTOR, karena memang KPK ada untuk memberantas korupsi yang sudah marak di negeri ini. Korupsi itu ada di lembaga mana saja, termasuk kepolisian.

Ketika KPK menjalankan tugasnya, dan kebetulan kena kepada salah satu pimpinan POLRI, sontak KPK diserang. Serangan demi serangan yang ditujukan kepada pimpinan KPK benar-benar mengganggu akal sehat saya. Ada kesan bahwa para pelapor itu menghendaki para pimpinan KPK itu tampil bak manusia sempurna tanpa noda cela. Kesalahan-kesalahan yang ditampilkan terlihat sangat jelas dicari-cari. Karena itu, teman saya berkomentar, “Jangan-jangan nanti ada orang yang dibayar mengaku pernah melihat salah seorang pimpinan KPK tidak pakai helm saat mengendarai motor.” Dan itu juga sebuah pelanggaran hukum.

Selain itu, berbagai argumen yang dibangun untuk menyerang pimpinan KPK, bagi saya, terkesan aneh dan lucu. Misalnya, laporan Hasto tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan Abraham Samad. Dia mengatakan tidak sedang mengkriminalisasikan KPK. Dia juga mengatakan anti korupsi. Tapi, kalau memang benar laporannya itu menyangkut kode etik, kenapa tidak disampaikan ke dewan etik KPK? Kenapa musti ke DPR? Bukankah ini seperti para maling bersekongkol melawan siapa saja yang menghambat aksinya?

Tidak ada manusia yang sempurna. Saya yakin, semua orang akan mengakui hal ini. Para pimpinan KPK pun tak luput dari ini. Mereka juga tidak sempurna. Masing-masing mereka punya kelemahan dan kekurangan. Namun, perlu kita sadari bahwa apakah kelamahan dan kekurangan mereka itu berkaitan langsung dengan peran dan tugas mereka di KPK?

Mereka adalah pemberantas korupsi. Jika mereka pernah melakukan tindak korupsi, penyuapan atau terima suap atau pencucian uang, mereka tidak pantas berada di KPK. Bukan berarti saya mau membenarkan kelemahan dan kekurangan mereka, seperti selingkuh atau kesalahan lainnya. Kesalahan-kesalahan yang tidak ada kaitan dengan jabatan dan tugas mereka tidak lantas membebaskan mereka dari hukuman. Minimal mereka akan mendapat sanksi sosial.

Jika pelanggaran-pelanggaran kecil yang tidak ada hubungannya dengan peran dan tugas mereka dibesar-besarkan, seperti yang terjadi sekarang ini, tentulah akan menghambat proses pemberantasan korupsi. Tentulah para koruptor akan bersorak gembira. Tepat apa yang dikatakan teman saya, “KPK lawan POLRI, pemenangnya adalah koruptor.”

Abraham Samad, Bambang Widjayanto, Adnan Pandu Pradja dan Zulkarnain bukanlah malaikat, bukan pula manusia setengah dewa. Akan tetapi kita membutuhkan mereka untuk memberantas korupsi.
Pangkalpinang, 11 Februari 2015
by: adrian
Baca juga artikel lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar