Tak lama lagi anak sekolah tingkat menengah atas mulai disibukkan dengan ujian akhir nasional
(UN). Seperti yang kita ketahui, di tahun-tahun yang lalu, jalan menuju UN ini cukuplah pelik dan mencemaskan. Ada banyak protes dan tuntutan. Protes itu
terjadi karena adanya ketidak-lulusan dalam UN. Banyak siswa yang tidak lulus
sekalipun masuk ranking 10 besar atau peraih emas/perak olimpiade salah satu
bidang studi. Ada sekolah yang tingkat kelulusannya rendah, malah 100% siswanya
tidak lulus.
Tema protes amat beragam. Ada yang mempersoalkan keadilan. Ada pula yang
mempermasalahkan dan menyalahkan sistem pendidikan nasional
kita. Ada juga yang mengkritik pemerintah, dalam hal ini departeman pendidikan
(Depdiknas). Dan ada yang melihat soal iba-kasihan pada nasib anak-anak yang
tidak lulus. Dari sini muncul tuntutan agar UN dibatalkan.
Dan seperti yang sudah diketahui, buah dari protes itu adalah kebingungan
para siswa. Untunglah, kira-kira sebulan menjelang UN, sudah ada kepastian. Untungnya lagi tahun ini tidak ada aksi seperti gambaran
di atas. Namun apakah persoalan UN sudah selesai? Saya
mau mengajak semua pihak, termasuk para peserta didik, untuk memahami makna sebuah ujian.
UN: Mari
Berevaluasi
Dulu ada istilah Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Sekarang dikenal istilah Ujian Akhir
Nasional (UAN, disingkat UN). Entah apa dasar perubahan istilah tersebut. Tapi sedikit disayangkan perubahan istilah itu, karena
istilah EBTANAS sarat akan makna daripada sekedar UN. Namun, baik EBTANAS
maupun UN, sama-sama merupakan sebuah bentuk EVALUASI.
Karena itu, seharusnya setelah UN orang-orang mesti mengadakan evaluasi
diri. Semua pihak, bukan hanya siswa, harus melihat dan menilai dirinya sendiri
(refleksi): ada apa dan bagaimana dengan saya (sistem), siapa saya, dll. Pusat
evaluasi atau refleksi adalah DIRI SENDIRI, bukan orang lain. Dan spirit yang
dibutuhkan adalah kerendah-hatian. Apakah lulus atau tidak, siswa diajak untuk
melihat dan menilai dirinya sendiri: sejauh mana tingkat keseriusan dalam
belajar, ketelitiannya dalam mengerjakan soal, sikapnya dalam menghadapi UN
serta kondisi fisik dan psikis. Siswa juga bisa mengetahui kelemahan dan
keunggulannya dalam pela-jaran. Dan orang maju adalah orang yang bisa
memanfaatkan kelemahan dan keunggulan dirinya.
Para guru pun dapat melihat dan menilai dirinya. Apakah selama
ini ia sudah mengajar dengan baik, benar dan bertanggung jawab. Di sini ia dapat mengetahui apakah metode mengajarnya
benar atau salah. Dari situ ia dapat membuat kebijakan untuk tahun ajaran
berikut.
Hal ini diungkapkan karena bukan menjadi rahasia lagi kalau banyak sekolah
yang memang bobrok. Di beberapa sekolah ada guru sibuk main kartu (judi?)
sementara siswa dibiar-kan terlantar. Di suatu tempat ada ”sekolah suka-suka”:
baik guru maupun siswa, mau mengajar (belajar) atau tidak; mau masuk atau
tidak, ya terserah. Tak ada larangan. Tak ada sanksi. Di beberapa tempat ada
sekolah, yang kalau gurunya ulang tahun berarti libur. Dan banyak guru-guru di
sekolah negeri bermental: mengajar
atau tidak, yang penting gaji jalan terus.
Selain guru dan siswa,
pemerintah pun, dalam hal ini departemen pendidikan, harus mengadakan evaluasi
diri. Setelah melihat prosentase kelulusan, depdik bisa bertanya apakah sistem
UN yang diterapkan sudah menjawab kebutuhan dan kemampuan siswa. Sudahkah hasil UN itu memenuhi harapan dan tujuan
pendidikan? Ada apa dengan UN? Bagaimana sebaiknya UN dilaksanakan? Bagaimana
meminimalisasi ekses-ekses negatif dari pelaksanaan UN? Dan tak lupa juga,
depdik dapat mempertanyakan kembali visi dan misi pendidikan nasional serta
bisa mengevaluasi kurikulum. Depdik juga dapat menilai dirinya bagaimana mereka
memandang para siswa peserta UN. Apakah dengan sistem UN saat ini, siswa
dilihat sebagai subyek pendidikan atau sekedar kelinci percobaan.
UN Bukan Vonis
Pintar / Bodoh
Evaluasi diri atau refleksi
merupakan kegiatan yang dilakukan dengan kejernihan hati dan pikiran, jauh dari
emosionalitas. Kegiatan ini berpusat pada diri sendiri dan menumbuhkan spirit
rendah hati. Dan dengan spirit ini, orang yang melakukan refleksi dapat
menerima dengan lapang dada apapun keputusan yang kena pada dirinya. Mereka adalah
seorang ksatria sejati. Seseorang dikatakan ksatria bukan hanya karena
kemenangan yang selalu diraihnya, tetapi juga kekalahan yang diakuinya.
Demikian pula halnya dengan
pihak-pihak yang berkaitan dengan UN ini. Kalau ternyata setelah refleksi-evaluasi
diri diketahui bahwa kita gagal, maka kita harus berani mengatakan diri kita
gagal dan berani mengambil keputusan itu. Sama seperti kalau kita menerima
keberhasilan. Baik berhasil maupun gagal tetap melahirkan rasa syukur.
Perlu diketahui, khususnya oleh para siswa dan orang tua murid, bahwa hasil UN bukanlah merupakan vonis
mati pintar atau bodohnya
anak. Tidak lulus dalam
mengikuti UN bukan berarti kita itu seorang yang bodoh. Demikian pula
sebaliknya. Kita belum tahu pasti siswa yang pintar hanya karena lulus UN. Yang
pasti adalah kita adalah orang yang beruntung atau buntung.
Kesalahan selama ini adalah sering melihat hasil UN itu sebagai vonis bodoh
atau pintar. Karena itu banyak pihak yang tidak mau mengakui dan menerimanya.
Apalagi bagi mereka yang selama masa pendidikan dikenal sebagai siswa
berprestasi atau pernah mewakili sekolah dalam ajang perlombaan salah satu
bidang studi dan berhasil meraih medali. Ada perasaan malu bercampur tak
percaya.
Kita harus segera meninggalkan cara pandang seperti itu. Hasil UN ini harus
kita lihat sebagai vonis keberhasilan atau kegagalan. Dengan hasil tersebut
kita mendapat vonis apakah kita berhasil atau kita gagal. Berhasil atau gagal
itu hal yang biasa terjadi dalam hidup. Seperti dalam perlombaan pasti ada
menang dan kalah. Keberhasilan atau kegagalan dapat terjadi pada siapa saja,
kapan dan dimana saja. Tak peduli apakah orang berprestasi atau tidak, anak
pejabat, artis atau siswa biasa saja, pernah ikut olimpiade bidang studi atau tidak.
Kalau gagal, ya gagal. Tidak ada kaitannya dengan soal keadilan, seperti yang
disuarakan dalam aksi protes ini, yang hanya menekankan prinsip sama
rata-sama rasa. Dalam keberhasilan atau kegagalan selalu ada
faktor dewi fortuna.
Persoalannya adalah bagaimana kita menyikapinya. Bukankah orang bijak
pernah berkata, “kegagalan adalah sukses yang tertunda”?
Adakah Solusinya?
Banyak suara menyatakan
bahwa sebaiknya UN dikembalikan ke tiap sekolah. Artinya sekolahlah yang menentukan kelulusan. Saran ini
cukup baik, hanya rentan penyalahgunaan, baik soal uang maupun nilai. Bukan
rahasia lagi kalau di negeri ini segala sesuai bisa dibeli dengan uang,
termasuk nilai (kelulusan). Persoalannya, bagaimana dengan yang tidak punya.
Dan kita tentu pernah mendengar berita seorang siswi rela menjual
keperawanannya demi nilai.
Dan demi “nama” sekolah, kelulusan menjadi prioritas tanpa peduli akan
mutu. Banyak sekolah akan dengan mudahnya meluluskan semua siswanya meski ada
sebenarnya yang tak pantas lulus. Tujuannya agar dilihat masyarakat bahwa
tingkat kelulusan sekolah tersebut 100%. Dengan demikian ramai-ramai para orang
tua mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut. Maklum saja, banyak orang tua
kita yang menginginkan agar anaknya lulus, bukannya pintar. Sementara itu di
mata sekolah ini merupakan sumber pendapatan Tak peduli apakah nanti gurunya
serius mengajar atau tidak, seperti yang diungkapkan tadi.
Dengan adanya otonomi daerah, ada baiknya departemen pendidikan provinsi
diberi wewenang sebagai penyelenggara UN. Dengan ini, mereka akan dapat sedikit
menyesuaikan soal UN dengan keadaan setempat. Pusat hanya sebagai pengawas dan
pemberi sanksi pada sekolah yang membuat kecurangan dan pelanggaran. Dalam hal
ini, peraturan harus ditegakkan dengan tegas dan sanksi yang diberikan harus
seberat mungkin.
Atau depdiknas perlu mengeluarkan dan memberlakukan kebijakan 2
ijasah. Artinya ada ijasah sekolah (dulu dikenal dengan istilah STTB: Surat
Tanda Tamat Belajar) dan ada ijasah depdik (dulu diberi istilah NEM: Nilai
Evaluasi Murni). Kebijakan ini harus sampai ke semua sekolah, mulai dari SMP
sampai perguruan tinggi. Artinya, ketika siswa mau masuk SMP, SMU atau
perguruan tinggi, mereka harus menyertakan dua ijasah tersebut. Dan biarkanlah
pihak sekolah penerima yang menilainya.
Solusi lain adalah dengan membina siswa agar siap dan mau menerima
kegagalan dengan lapang dada. Siswa diajak untuk bisa mensyukuri apapun yang
terjadi pada dirinya. Di sini mereka dapat melihat realitas. Siapapun yang
mengikuti UN, tentulah dihadapkan pada dua pilihan: lulus dan tidak lulus.
Sekalipun siswa berprestasi, dia tetap menghadapi dua pilihan tersebut. Bisa
saja dia lulus, tapi dapat juga dia tidak lulus. Kelulusan bukanlah hak siswa
berprestasi saja. Di sini Dewi
Fortuna ikut bermain, sekecil apapun perannya.
Kiranya nilai syukur dan mau menerima kegagalan sangat penting dewasa ini.
Lihatlah kasus-kasus kerusuhan yang terjadi di tanah air kita ini. Banyak yang
berawal dari tidak mau menerima kegagalan. Karena merasa punya kekuasaan,
kekayaan, pengaruh, nama besar atau pengalaman, orang lantas berpikir dia harus
selalu menang. Maka, bila ada keputusan yang mengalahkannya, muncullah
kerusuhan. Kita dapat lihat kasus pilkada (pemilu), kasus sengketa pengadilan,
kerusuhan sepak bola, dll.
Dengan mengajari siswa akan hal ini, bukankah tidak mungkin kita
mempersiapkan generasi yang matang, yang mau menerima perbedaan tanpa
menimbulkan pertikaian?
Selamat
menempuh ujian!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar