Rabu, 08 Januari 2014

Pencitraan di Balik Kenaikan Harga Gas

Tahun baru 2014 rakyat Indonesia mendapat kado istimewa dari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu BPJS dan kenaikan harga gas elpiji 12 kg. Kenaikan harga yang melangit membuat rakyat kecil, khususnya Usaha Kecil Menengah, menjerit. Aksi protes pun terjadi di mana-mana. Ada yang demo, ada pula yang melakukan aksi membuang tabung gas elpiji ke tempat sampah.

Akhirnya harga gas elpiji diturunkan sehingga rakyat sedikit bisa bernafas lega. Namun ada dua hal yang menarik dari berita turunnya harga gas elpiji tersebut. Pertama, baik menteri maupun kader Partai Demokrat mengatakan bahwa setelah mendengar aspirasi rakyat, akhirnya pemerintah (SBY) menurunkan harga gas elpiji. Sebuah pernyataan yang sangat indah di telinga, seolah-olah SBY begitu peduli dengan nasib rakyat. Lagi-lagi tudingan pencitraan meruak. Hal ini tidaklah aneh, karena memang SBY suka sekali dengan politik pencitraan. Maklum, tahun 2014 adalah tahun PEMILU.

Hal menarik yang kedua adalah bahwa SBY tidak tahu soal kenaikan harga gas elpiji 12 kg. Ketidaktahuan SBY ini bermakna bahwa dirinya tidak diberitahu. Jadi, karena tidak diberitahu, makanya SBY tidak tahu. Hal ini sungguh menarik perhatian orang, khususnya para pengamat politik. Banyak orang merasa aneh, koq urusan ini tidak dilaporkan kepada presiden supaya yang bersangkutan tahu. Dari sini muncul penilaian kalau komunikasi di antara presiden dan bawahannya tidak berjalan dengan baik.

Akan tetapi, melihat reaksi Menteri BUMN, Dahlan Ikhsan, banyak orang merasa tak yakin kalau SBY tidak tahu. Orang lantas menilai kalau PERTAMINA dan Dahlan Ikhsan telah dijadikan korban politik pencitraan. Maklum, sosok Dahlan Ikhsan adalah sosok pekerja, bukan politikus. Beliau tidak mau dipusingkan dengan urusan politik, yang penting baginya adalah bekerja untuk kepentingan nusa dan bangsa.

Karena itulah, menjadi pertanyaan kita sekarang adalah apakah memang SBY tidak tahu soal kenaikan harga gas elpiji atau memang pura-pura tidak tahu. Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa kecil kemungkinan kalau SBY tidak tahu soal hal itu. Kemungkinan besarnya adalah SBY pura-pura tidak tahu. Setelah mengetahui reaksi dari rakyat, barulah SBY tampil bak pahlawan untuk menyelamatkan rakyatnya.

Atau, kemungkinan lain lagi, SBY memang tidak mau tahu. Sepertinya salah satu sikap SBY adalah tidak mau tahu. Salah satu contoh adalah ketika SBY ditanya oleh salah seorang peserta pertemuan East Asian Summit 2013 tentang kemacetan di Jakarta, SBY menjawab kalau dirinya tidak tahu; lantas menyuruh penanya untuk langsung bertanya ke Gubernur DKI Jakarta. Di sini tampak bahwa SBY tidak mau tahu urusan DKI Jakarta, meski dirinya bekerja di Jakarta, dan melemparkan urusan itu ke pemerintah daerah. (Tentang hal ini lihat di sini)

Nah, demikian pula halnya dengan masalah kenaikan gas elpiji 12 kg ini. Bukan tidak mungkin SBY tidak mau tahu dengan urusan ini. Toh masa pemerintahannya tinggal beberapa bulan lagi. Daripada sibuk mengurus negara, mendingan mengurus partai yang terus didera kasus korupsi. Elektabilitas partai pun tidak memuaskan.

Kepastian soal sikap SBY ini: tidak tahu, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu, hanyalah Tuhan dan SBY saja yang tahu. Sekalipun SBY dengan lantang mengatakan bahwa dirinya SUNGGUH tidak tahu, sebagian besar rakyat sudah tidak percaya. Rakyat Indonesia bukan orang bodoh lagi. Banyak rakyat sudah pintar. Mereka tahu kalau politikus itu pembual; lain di bibir lain pula di hati dan di lapangan. Karena itulah, masalah ini diserahkan kepada hati nurani yang bersangkutan.
Jakarta, 7 Januari 2014
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar