Dalam acara East Asian
Summit 2013, seorang pimpinan negara di Asia menanyakan kepada Presiden SBY
soal kemacetan Jakarta. SBY dengan santai mengatakan bahwa urusan itu silahkan
tanya kepada Gubernur DKI Jakarta. Hal ini kembali diulang SBY di Istana Bogor,
4 November 2013. SBY mengatakan bahwa kalau soal kemacetan Jakarta, tanyakan
pada Jokowi.
Dua pertanyaan ini diucapkan oleh SBY sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan. Sangat tidak mungkin kalau dikatakan bahwa
pernyataan ini lahir dari SBY sebagai kepala rumah tangga atau ketua Pembina
Partai Demokrat. Siapa pun pasti tahu akan hal ini.
Lantas, apakah ada yang aneh dengan pernyataan ini?
Jelas sekali! Ini menunjukkan betapa bodoh dan tak
bertanggungjawabnya SBY sebagai presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan).
Ini benar-benar sebuah blunder yang dilakukan Presiden SBY yang memiliki titel doktor.
Kenapa saya katakan BODOH? Kita tahu bahwa SBY adalah
presiden bangsa Indonesia. Sebagai presiden dia adalah kepala negara dan
sekaligus juga kepala pemerintahan Republik Indonesia. Negara dan pemerintahan
Republik Indonesia itu termasuk dari Sabang sampai Merauke (kalau tak salah
ingat, ada 34 provinsi). SBY bukanlah presiden Puri Cikeas sehingga hanya tahu
lingkungan Cikeas saja. SBY bukanlah presiden Partai Demokrat sehingga hanya
tahu urusan Partai Demokrat saja. SBY adalah presiden bangsa Indonesia. Karena
itu, SBY harus tahu soal-soal yang ada di Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke. Bahkan SBY juga harus tahu perihal warga negara Indonesia yang ada di
luar negeri.
Dalam kasus di Brunei, jawaban SBY menunjukkan bahwa SBY
bukan saja sekedar tidak tahu (yang
berarti BODOH), melainkan juga tidak mau
tahu (yang berarti tidak peduli). Sulit dibayangkan seorang pemimpin negara
tidak menunjukkan kepeduliannya kepada urusan-urusan yang ada di negaranya. Dan
inilah yang sedang terjadi. Memang selama ini SBY jarang sekali mengurus negara
ini. Dia lebih sibuk dengan urusan partai, keluarga serta hobi (buat lagu dan
mengeluh). Ada banyak masalah negeri ini yang berantakan karena pimpinannya
tidak peduli. Sebagai contoh, soal intoleransi agama, nasib para pengungsi,
pelanggaran HAM, dll.
Mungkin ada yang mengatakan, manalah mungkin SBY bisa
menguasai semua-muanya. Memang benar, tapi setidaknya SBY harus tahu minimalnya
saja. Di mana ada kemauan pasti ada jalan. Meski tidak menguasai 100%, ya
minimal 50%, daripada tidak sama sekali. Atau, minimalnya SBY dapat memberikan
jawaban diplomatis. Jangan hanya sekedar, “Saya tidak tahu, silahkan tanyakan
ke pemda DKI Jakarta.” Ini adalah jawaban yang sama sekali tidak diplomatis;
padahal SBY, selain sebagai presiden, dia juga adalah diplomat. Sebuah ironisme
lainnya adalah masalah yang ditanya itu adalah Jakarta, di mana SBY berkantor
dan sudah sering mengalaminya. Orang bukan tanya kemacetan di Surabaya atau
Medan, tapi di Jakarta. Masak tidak tahu?
Jadi, dari jawabannya itu terlihat bahwa Presiden SBY tidak
mau peduli dengan permasalahan yang terjadi di negeri ini. Ketidakpedulian SBY
atas masalah yang menimpa Jakarta menunjukkan bahwa beliau TIDAK BERTANGGUNG
JAWAB. Inilah alasannya kenapa saya mengatakan bahwa Presiden SBY tidak
bertanggung jawab, alias lepas
tangan.
Sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, SBY
semestinya bertanggung jawab atas masalah-masalah yang terjadi di wilayahnya.
Bahkan, atas warga negara Indonesia yang mendapat masalah di luar negeri.
Sebagai perbandingan, Presiden Filipina pernah langsung turun tangan menangani
kasus warganya yang bekerja di luar negeri. Memang Presiden SBY bukanlah penanggungjawab
langsung, akan tetapi beliau tidak bisa lepas tangan.
Yang terjadi dengan masalah kemacetan DKI Jakarta, dari
jawaban SBY, terlihat jelas kalau Presiden SBY tidak mau tahu urusan itu. SBY
lepas tangan. Masalah itu merupakan urusan Jokowi, sebagai Gubernur DKI
Jakarta. Di sinilah tampak kalau SBY tidak mau bertanggung jawab dan melepaskan
masalah Jakarta kepada pemda. Memang Jokowi adalah penanggungjawab langsung
urusan kemacetan Jakarta, namun bukan lantas berarti SBY sama sekali lepas
tanggung jawab.
Kalau memang benar bahwa Jakarta itu termasuk juga wilayah
kekuasaan SBY sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, maka SBY
wajib mendukung kebijakan Pemda DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan. SBY
wajib juga memikirkan cara mengatasi kemacetan yang terjadi di Jakarta. Sama
halnya juga dengan masalah-masalah lain di wilayah lain. SBY bukannya membuat
kebijakan yang menambah keruwetan transportasi Jakarta. Misalnya dengan
mengeluarkan kebijakan mobil murah.
Oleh karena itu, pernyataan SBY, baik di East Asian Summit maupun di Bogor, merupakan sebuah blunder. Tindakan blunder ini benar-benar menunjukkan
kebodohan seorang kepala negara sekaligus juga kepala pemerintahan. Semoga, ke
depan SBY tidak lagi membuat blunder lain. Sisa waktu masa kepemimpinannya ini
hendaknya SBY menunjukkan sesuatu yang baik dan berguna bagi masyarakat
Indonesia.
Jakarta, 7 Nov 2013
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar