Sabtu, 06 April 2013

Bijak Berorganisasi

BIJAK

Sebuah institusi keuangan bergengsi menekankan pentingnya mengukur kematangan individu untuk menentukan peserta yang berhak menerima program beasiswa. Hasil evaluasi program menunjukkan banyak peserta gagal menyelesaikan program studi di luar negeri, tidak hanya karena kurangnya kemampuan adaptasi, tetapi juga ketidakmampuan mengolah dan menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi. Dalam proses seleksi fit and proper untuk memilih jajaran pimpinan organisasi, para penguji pun setuju betapa kandidat perlu menunjukkan kematangan emosi dan kebijakan penalaran moral agar ia mampu menghadapi situasi sulit dalam pengambilan keputusan dengan tetap berintegrasi.

Kematangan dan sikap bijaksana kita sadari menjadi sangat krusial di tengah semakin banyaknya persoalan yang silih berganti dan tuntutan peran yang semakin kompleks. Pertanyaannya, bagaimana kita mengevaluasi kematangan atau bijaksana-tidaknya seseorang? Dari mana individu bisa memperoleh “wisdom” yang sarat, sementara yang lain bisa melewatkan hidup begitu saja dan terasa pemikirannya dangkal tanpa bobot? Apa yang membedakan orang yang mampu bersikap tenang dalam mengambil keputusan berat serta bisa membahas masalah kehidupan dengan lancar dan mendalam, sementara yang lain bisa segera terpuruk saat menghadapi “ujian”? Atau, bahkan melakukan kecurangan dan menghalalkan segala cara?

Kita kadang bertanya-tanya, mengapa ada orang dengan usia yang sama, tetapi kematangan diri yang ditunjukkan bisa sangat berbeda. Kita kadang menganalisis bahwa orang yang hidupnya “tidak pernah susah” membuat ia tidak punya modal untuk bijaksana. Ada orang yang galau berkepanjangan karena kritik yang diterima atau kegagalan yang dihadapi, sementara orang lain tidak bisa membayangkan mengapa kita sangat mengkhawatirkan situasi tersebut. Rasa galau dan kecewa menghadapi berbagai kejadian sangat tergantung pada bagaimana kita memandang situasinya. Dari sini, kita bisa lihat bahwa kematangan diri dapat diteropong melalui respons individu dalam menghadapi kesulitan. Orang sering menyebutnya street smartness,  suatu aspek kecerdasan yang didapat sebagai hasil pemikiran mengenai kehidupan praktis yang dialami individu sendiri.

Dalam situasi sehari-hari, kita bisa mengukur kematangan. Apakah kita menggunakan fasilitas kantor berlebihan tanpa rasa bersalah? Apakah kita melakukan atau menyaksikan penyimpangan tanpa berusaha menohok diri sendiri dan memperingatkan diri keras-keras untuk tidak melakukannya? Apakah kegagalan komunikasi dengan atasan kita sikapi dengan menyalahkan atasan tanpa upaya untuk mengkritik diri sendiri, mempertanyakan, mengevaluasi dan mengarahkan diri? Kematangan ini bisa disuburkan dengan proses pengolahan batin yang terjadi pada diri kita. Bila kita khawatir dengan kemerosotan moral yang banyak dibicarakan belakangan ini, setidaknya kita masing-masing perlu mengecek sendiri proses pengolahan batin kita.

Introspeksi dan Pengolahan Pribadi
Penelitian terhadap sopir taksi di London, yang dipisahkan antara sopir taksi dengan pengalaman yang sama, tetapi “bijaksana” dan yang terkesan “tidak matang” menunjukkan bahwa bagian otak depan yaitu prefrontal cortex pada yang bijaksana, ternyata lebih besar dan lebih subur berkembang. Jadi, ternyata kegiatan berpikir saja tidak cukup. Exercise otak mengenai cara berpikirnya sendiri adalah kunci “kesadaran” seseorang dan akan mempengaruhi di dalam setiap aspek kehidupannya. Inilah penjelasan mengapa dua individu yang sama-sama pintar, bisa berbeda sikap, prilaku dan tingkat kedewasaannya. Pemahaman mengenai aspek manusia dalam diri sendiri perlu kita kembangkan dan latihkan, antara lain melalui self talk atau bicara dengan diri sendiri. Kita bisa membohongi diri sendiri terus menerus, tetapi juga bisa menantang diri untuk bersikap fair, misalnya kalah salah, ya terima dimarahi.

Dr. Stephen dari University College London membuktikan adanya korelasi positif antara ketepatan pengambilan keputusan dan kemampuan introspeksi individu. Introspeksi yang merupakan proses observasi dan refleksi diri memang tidak diajarkan di sekolah. Jadi, bisa saja individu tumbuh tanpa kegiatan introspeksi, apalagi self talk. Bisa saja sepanjang hidupnya tidak ada kegiatan menyalahkan diri, mendera dan menguatkan diri sendiri yang tuntas. Yang terjadi pada diri individu hanyalah kegiatan melihat keluar dan menyerap nilai-nilai yang ada di luar dirinya, dan dijadikan patokan hidupnya. Filsuf Yunani paling kuno, Socrates, sudah mengatakan, “the unexamined life is not worth living.” Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks ini, pendalaman kepribadian akan menyelamatkan individu dari kekosongan mental.

Menyadari “Pikir” dan “Rasa”
Membaca novel, menyaksikan atau mengalami sendiri kejadian romantis, menegangkan atau menyedihkan, merupakan kegiatan yang kita alami sehari-hari. Interpretasi mengenai kejadian-kejadian ini dan bagaimana dialog “follow – up”-nyalah yang akan berdampak pada perkembangan pribadi kita. Membaca novel sering membuat kita teringat pada pengalaman diri sendiri. Hal yang paling penting adalah kemampuan kita melihat diri secara obyektif, bukan subyektif dan menerjemahkan situasi tersebut ke dalam situasi perbaikan.

Pertama-tama kita perlu mengupayakan untuk “stick to the facts”. “Saya mencoba celana saya dan ternyata sempit” atau “Jeans saya sudah tidak pantas lagi karena terlalu ketat”. Perasaan yang timbul akibat celana kesempitan inilah yang mempengaruhi keyakinan kita. Kita bisa mengatakan pada diri sendiri “Kamu jelek “ atau kita juga bisa mengatakan “Kamu makan terlalu banyak”. Kualitas jelek sulit di-follow-up  dan diperbaiki, tetapi pernyataan “makan terlalu banyak” bisa kita ikuti dengan janji pada diri sendiri untuk tidak menambah porsi makan esok hari. Bila self talk ini secara terus menerus disadari dan diarahkan pada tindakan perbaikan, kita akan terbiasa untuk “memeriksa diri” dan menasehati diri menuju ke arah perbaikan. Kita akan menjadi orang yang “dalam” dan lebih “positif”. Bila mengubah cara berpikir, kita bisa mengubah cara merasa.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, dalam KOMPAS, 7 Juli 2012, hlm 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar