Sabtu, 23 Maret 2013

Ibas vs Yulianis

Rabu (20 Maret), Edhie Baskoro Yudhoyono, yang dikenal dengan sapaan Ibas, mendatangi Polda Metro Jaya. Kedatangannya berkaitan dengan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Yulianis, Wakil Direktur Keuangan Grup Permai. Laporan dugaan pencemaran nama baik terkait pernyataan Yulianis yang dimuat dalam pemberitaan pada Koran Sindo tanggal 16 Maret 2013. Dikatakan bahwa Ibas menerima uang 200 ribu dollar Amerika.

Haruskah Ibas melaporkan Yulianis atas pencemaran nama baik? Pertama-tama, saya teringat akan suatu iklan anti korupsi yang berbunyi, “Jika bersih, kenapa harus risih?!” Iklan ini selain menghimbau untuk tidak melakukan korupsi, juga mengajak orang untuk hidup tenang jika memang tidak melakukan korupsi. Tentulah pernyataan itu mengisyaratkan bahwa orang yang salah selalu gelisah; orang yang memang melakukan korupsi pasti terusik.

Nah, dari sini bisa diambil satu kesimpulan bahwa Ibas tak perlu melaporkan Yulianis jika memang benar Ibas tidak menerima uang tersebut. Ibas mestinya menyikapi laporan itu dengan bijaksana. Aksi melaporkan Yulianis menunjukkan bahwa Ibas terusik dengan omongan Yulianis. Dan kalau Ibas terusik, maka dapat diduga pernyataan Yulianis ada benarnya.

Peristiwa Ibas mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan Yulianis menunjukkan pendekatan kekuasaan yang dipakai Ibas. Semua orang tentulah tahu kalau Ibas itu anak presiden. Orang juga tahu bahwa kepolisian itu di bawah presiden. Nah, karena yang melapor ini anak “bos besar” tentulah polisi akan segera menindaklanjuti. Dan bukan tidak mungkin polisi akan melindungi anak “bos besar” ini. Hal ini sudah terlihat saat datang ke Polda dan saat Ibas menggelar konfrensi pers. Ibas bukan saja didampingi kuasa hukumnya, melainkan juga Kombes Rikwanto, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya. Tentu ini segera menjadi ancaman bagi Yulianis. Mana mungkin, memakai istilah Susno Duadji, cecak mengalahkan buaya? Dan bisa dipastikan tak lama lagi Yulianis akan menarik pernyataannya.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa di negara hukum semua warga sama di hadapan hukum. Memang benar, tapi tidak berlaku di negara ini. Sudah menjadi rahasia umum kalau di Indonesia ini hukum juga bisa dipolitisasi. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Oleh karena itu, untuk kasus ini belum bisa kita mengatakan semua orang sama di muka hukum.

Jadi, apa yang harus dilakukann Ibas? Pertama, Ibas harus diam. Pepatah bilang “Diam itu emas”, sekalipun ada lagu “Tak selamanya diam itu emas”. Seperti bunyi iklan di atas, Ibas tidak perlu gelisah atau risih jika memang tidak menerima. Jangan mentang-mentang anak presiden seenaknya saja menggunakan pendekatan kekuasaan. Pendekatan kekuasaan menunjukkan adanya sikap arogan.

Kedua, sikap diam yang diambil bukanlah pasif, melainkan aktif. Ibas harus membuktikan bahwa dirinya tidak menerima uang 200 ribu dollar Amerika sebagai sangkalan atas pernyataan Yulianis. Membuktikan diri ini bukan dengan kata-kata saja seperti yang sudah dilakukan oleh Ibas saat konfrensi pers, melainkan dengan membiarkan proses hukum yang berbicara. Tentu kita masih ingat akan pemberitaan TEMPO akan rekening gendut para jenderal polisi. Apa kata polisi? “Setelah mengadakan penyelidikan internal, tidak ditemukan adanya rekening gendut itu.” Tapi apa yang terjadi sekarang? Diperkirakan total kekayaan Jenderal Djoko Susilo sebesar 200 miliyar (lihat http://www.tempo.co/read/flashgrafis/2013/03/11/526/Jajaran-Harta-Sang-Jenderal).

Jika nanti secara hukum Ibas tidak terbukti menerima uang dari Yulianis, barulah Ibas boleh menggunakan hak hukumnya: melaporkan Yulianis atas tuduhan pencemaran nama baik. Karena pernyataan Yulianis yang tidak terbukti kebenarannya merupakan fitnah. Dan fitnah memang merupakan bentuk pencemaran nama baik.
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar