Rabu (20 Maret), Edhie Baskoro Yudhoyono, yang dikenal dengan
sapaan Ibas, mendatangi Polda Metro Jaya. Kedatangannya berkaitan dengan
pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Yulianis, Wakil Direktur Keuangan Grup
Permai. Laporan dugaan pencemaran nama baik terkait pernyataan Yulianis yang
dimuat dalam pemberitaan pada Koran Sindo
tanggal 16 Maret 2013. Dikatakan bahwa Ibas menerima uang 200 ribu dollar
Amerika.
Haruskah Ibas melaporkan Yulianis atas pencemaran nama baik?
Pertama-tama, saya teringat akan suatu iklan anti korupsi yang berbunyi, “Jika
bersih, kenapa harus risih?!” Iklan ini selain menghimbau untuk tidak melakukan
korupsi, juga mengajak orang untuk hidup tenang jika memang tidak melakukan
korupsi. Tentulah pernyataan itu mengisyaratkan bahwa orang yang salah selalu
gelisah; orang yang memang melakukan korupsi pasti terusik.
Nah, dari sini bisa diambil satu kesimpulan bahwa Ibas tak
perlu melaporkan Yulianis jika memang benar Ibas tidak menerima uang tersebut.
Ibas mestinya menyikapi laporan itu dengan bijaksana. Aksi melaporkan Yulianis
menunjukkan bahwa Ibas terusik dengan omongan Yulianis. Dan kalau Ibas terusik,
maka dapat diduga pernyataan Yulianis ada benarnya.
Peristiwa Ibas mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan
Yulianis menunjukkan pendekatan kekuasaan yang dipakai Ibas. Semua orang
tentulah tahu kalau Ibas itu anak presiden. Orang juga tahu bahwa kepolisian
itu di bawah presiden. Nah, karena yang melapor ini anak “bos besar” tentulah
polisi akan segera menindaklanjuti. Dan bukan tidak mungkin polisi akan
melindungi anak “bos besar” ini. Hal ini sudah terlihat saat datang ke Polda dan
saat Ibas menggelar konfrensi pers. Ibas bukan saja didampingi kuasa hukumnya,
melainkan juga Kombes Rikwanto, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya. Tentu ini
segera menjadi ancaman bagi Yulianis. Mana mungkin, memakai istilah Susno
Duadji, cecak mengalahkan buaya? Dan bisa dipastikan tak lama lagi Yulianis
akan menarik pernyataannya.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa di negara hukum semua warga
sama di hadapan hukum. Memang benar, tapi tidak berlaku di negara ini. Sudah
menjadi rahasia umum kalau di Indonesia ini hukum juga bisa dipolitisasi. Hukum
tajam ke bawah, tumpul ke atas. Oleh karena itu, untuk kasus ini belum bisa
kita mengatakan semua orang sama di muka hukum.
Jadi, apa yang harus dilakukann Ibas? Pertama, Ibas harus diam. Pepatah bilang “Diam itu emas”, sekalipun
ada lagu “Tak selamanya diam itu emas”. Seperti bunyi iklan di atas, Ibas tidak
perlu gelisah atau risih jika memang tidak menerima. Jangan mentang-mentang
anak presiden seenaknya saja menggunakan pendekatan kekuasaan. Pendekatan kekuasaan
menunjukkan adanya sikap arogan.
Kedua, sikap diam yang diambil bukanlah
pasif, melainkan aktif. Ibas harus membuktikan bahwa dirinya tidak menerima
uang 200 ribu dollar Amerika sebagai sangkalan atas pernyataan Yulianis.
Membuktikan diri ini bukan dengan kata-kata saja seperti yang sudah dilakukan
oleh Ibas saat konfrensi pers, melainkan dengan membiarkan proses hukum yang
berbicara. Tentu kita masih ingat akan pemberitaan TEMPO akan rekening gendut
para jenderal polisi. Apa kata polisi? “Setelah mengadakan penyelidikan
internal, tidak ditemukan adanya rekening gendut itu.” Tapi apa yang terjadi
sekarang? Diperkirakan total kekayaan Jenderal Djoko Susilo sebesar 200 miliyar
(lihat http://www.tempo.co/read/flashgrafis/2013/03/11/526/Jajaran-Harta-Sang-Jenderal).
Jika nanti secara hukum Ibas tidak terbukti menerima uang
dari Yulianis, barulah Ibas boleh menggunakan hak hukumnya: melaporkan Yulianis
atas tuduhan pencemaran nama baik. Karena pernyataan Yulianis yang tidak
terbukti kebenarannya merupakan fitnah. Dan fitnah memang merupakan bentuk
pencemaran nama baik.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar