KUTIPAN-KUTIPAN DARI BUKU
1. Karena
roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita
semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu (1Kor 10: 17). Kesatuan dengan
Kristus adalah pula kesatuan dengan semua, yang kepadanya Dia memberikan
diri-Nya sendiri. (hlm 37)
2. Setiap
orang yang membutuhkan saya, dan kepada siapa saya dapat memberikan bantuan
adalah sesama saya. (hlm 38)
3. Kasih
akan sesama adalah jalan yang menuntun pada perjumpaan dengan Allah, dan bahwa
dengan menutup mata akan sesama menjadikan kita buta akan Allah. (Hlm 40)
4. Jika
hidup saya sepenuhnya tidak mampu memperhatikan sesama, hanya secara eksklusif
ingin menjadi “saleh” dan hanya mau menjalani ‘kewajiban-kewajiban religius’
belaka, maka relasi saya dengan Allah akan kering dan layu. Itu memang baik,
tapi tanpa kasih. Hanya dalam kesediaan untuk menjalin relasi dengan sesama dan
menampakkan kasih kepada mereka kita akan semakin peka akan Allah. Hanya jika
saya melayani sesama, mata saya dapat terbuka akan apa yang Allah kerjakan
dalam diri saya dan mengenali betapa Dia begitu mencintai saya. –
Benediktus XVI (hlm 42)
5. Tindakan
karitatif Gereja sebagai perwujudan kasih Trinitaris. St Agustinus berkata,
“Jika kamu melihat kasih, kamu memandang tritunggal.” Karitas sebagai tugas
Gereja. (Hlm 45-51)
6. Ada
dua hal penting:
a. Hakikat
terdalam Gereja terwujud dalam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria), perayaan
sakramen-sakramen (leitourgia) dan
perwujudan pelayanan kasih (diakonia)
b. Gereja
adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun boleh
dibiarkan hidup tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
7. Keadilan
harus menjadi norma dasar negara dan bahwa tujuan dari tata sosial yang
adilnadalah untuk menjamin setiap pribadi, sesuai prinsip subsidiaritas, agar
mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. (hlm 52)
8. Gereja
lambat menyadari bahwa persoalan keadilan membutuhkan suatu pendekatan baru.
Gereja lebih menitik-beratkan soal kasih. Karena itulah pada abad XIX Marxisme
menjadi tantangan bagi Gereja, karena bagi kaum marxis rakyat miskin tidak
membutuhkan kasih melainkan keadilan. (hlm 52-53)
9. Unsur
dasar kasih kristiani dan gerejawi: (hlm 63-66)
·
Kasih kristiani terutama adalh tanggapan
seketika akan kebutuhan langsung dan akan situasi-situasi tertentu: memberi
makan mereka yang lapar, memberi pakaian mereka yang telanjang, merawat dan
menyembuhkan yang sakit, mengunjungi mereka yang ada dalam penjara, dst.
·
Karya kasih kristiani harus bebas dari
partai dan ideologi. Karya kasih bukanlah sarana untuk secara ideologis mau
mengubah dunia, dan tidak pula melayani kepentingan strategis dunia, namun
suatu tanda yang menghadirkan, kini dan di sini, kasih yang dibutuhkan manusia
·
Kasih tidak dapat digunkan sebagai
sarana proselitisme. Kasih itu bebas, tidak dibuat sebagai cara untuk menggapai
tujuan lain. Namun bukan berarti bahwa karya kasih itu menanggalkan Allah dan
Kristus. Merek yang menjalankan karya asih atas nama Gereja jangan sampai tidak
mencoba untuk menanamkan iman Gereja pada sesama.
10. Sejak
abad XIX pemikiran dikuasai oleh Marxisme. Salah satu bagian dari strategi
marxisme adalah teori pemiskinan: dalam situasi ketidakadilan, mereka yang
berada dalam kekuasaan, demikian dinyatakannya, yang terlibat dalam tindakan
karitatif, dalam berbagai wujud dan bentuknya yang kadang masih bisa dipahami,
pada dasarnya melayni sistem yang tidak adil. Hal ini perlahan menggerakkan
suatu kemungkinan adanya revolusi, dan karenanya malahan menghalangi upaya
perjuangan bagi dunia yang lebih baik. Tanpa dalam cara ini, kasih ditolak dan
dituduh sebagai sarana untuk melanggengkan status
quo. (hlm 64)
11. Pelayanan
karitatif membutuhkan daya kekuatan. Doa merupakan sarana untuk menimba daya kekuatan baru dari Kristus. Kesalehan
tidaklah memperlemah perjuangan melawan kemiskinan sesama kita, seberapapun
ekstremnya. (hlm 70-71)
12. Keutamaan
teologal kita adalah iman, harapan dan cinta kasih. Harapan diwujudkan melalui
keutamaan kesabaran, yang terus berbuat baik pun saat kegagalan jelas dihadapi
dan melalui keutamaan kerendahan hati yang menerima misteri Allah dan percaya
penuh kepada-Nya, juga di saat kegelapan. Iman menunjukkan kepada kita bahwa
Allah telah memberikan Putera-Nya demi keselamatan kita dan memberi kita
keyakinan yang tak terkalahkan bahwa sungguh benar bahwa Allah adalah kasih.
Hal itu akan mengubah ketidaksabaran dan keraguan kita menuju pada harapan
pasti bahwa dunia berada di tangan Allah. Iman menumbuhkan kasih yang adalah
cahaya yang menerangi dunia yang tumbuh dalam kegelapan dan memberi kita daya
kekuatan yang dibutuhkan agar kasih tetap hidup dan bekerja. (Hlm 72-73)
13. Dalam
ensiklik Deus Caritas est ini Paus
Benediktus XVI mau meneruskan apa yang telah ditanamkan dan diwariskan oleh
Paus Yohanes Paulus II. (hlm 80)
14. Paus
Yohanes Paulus II menyatakan bahwa jalan yang ditempuh Gereja adalah jalan
manusia, berpihak pada manusia yang berarti berpihak pada kehidupan. Ini
terlihat dalam ensiklik Centesimus Annus
dan terlebih Redemptor Hominis. (hlm 81)
15. Bagi
Paus Yohanes Paulus II tugas perutusan Gereja terarah kepada pribadi manusia
yang konkret dan historis. Dia adalah pribadi manusia yang tercipta menurut
gambar dan rupa Allah. Hal ini dilatarbelakangi keprihatian paus akan maraknya
kecenderungan untuk memandang manusia sebagai obyek, elemen, unsur atau
organisasi sosial belaka. (hlm 81-82)
16. Realitas
hidup manusia adalah realitas hidup bersama yang lain. “Adalah tidak baik kalau
manusia itu seorang diri saja.” (Kej 2: 18) Pribadi manusia senantiasa terarah
pada sesama. (hlm 84-85)
17. Dalam
evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus
II menyebutkan bahwa akar kejahatan akan sesama bermula dari sikap iri dan
tidak menghendaki yang lain sehingga timbul kebencian serta keinginan jahat
akan yang lain. (hlm 88)
18. Dalam
kisah Orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25-37) terlihat bahwa tindakan
kasih terarah pada sesama, terlebih pada mereka yang menderita. Tindakan ini
adalah tindakan kurban, keluar dari kondisi dan situasi kemapanan diri dengan
rela berbagi bagi mereka yang membutuhkan. (hlm 89)
19. Keselamatan
Kerajaan Allah tidak hanya memiliki dimensi rohani, namun pula jasmani. (hlm
95)
20. Wujud
kasih akan sesama oleh Gereja dinyatakan pada tempat pertamanya dalam wujud
kasih akan mereka yang miskin. Prioritas kasih akan orang miskin merupakan
perwujudan panggilan untuk memperjuangkan keadilan di dalam kehidupan umat
manusia. Ini merupakan perjuangan mengubah mentalitas, kultur hidup dan
struktur masyarakat yang cenderung tidak memberi ruang bagi mereka yang lemah.
(hlm 95-96)
21. Gereja
bukanlah pekerja sosial, namun pewarta Injil keselamatan Kristus. (hlm 97)
22. Injil,
Kabar Gembira: kemiskinan, keadilan, kasih dan pembebasan. (hlm 98-102)
23. Yohanes
Paulus II dan pembentukan tata dunia baru. (hlm 102-107)
24. Yohanes
Paulus II dan perdamaian. (hlm 107-110)
25. Solidaritas
sejak lama ditempatkan dalam prinsip sosialisme yang ditunjang oleh prinsip
liberalisme, sehingga merusak struktur sosial yang ada dan menyingkirkan
kekuatan tatanan serta nilai rohani juga moral dalam masyarakat. Solidaritas
dalam Gereja Katolik tidak dimaksudkan sebagai perjuangan menuju masyarakat
tanpa kelas. Solidaritas adalah bagian dari karya kasih. (hlm 133)
26. Yohanes
Paulus II dan Benediktus XVI sama-sama melihat adanya trens kultur tanpa Tuhan.
Allah disingkirkan dari dunia kehidupan. Ini terjadi karena adanya pemisahan
secara absolut dua ruang dimensi kehidupan dalam diri manusia: yang jasmani dan
rohani. Yang jasmani bisa diukur sedangkan yang rohani tidak bisa diukur secara
positivistik, lalu dianggap bisa dicapai dengan memberi tekanan dan perhatian
pada yang jasmani. Ukuran material (uang) dipakai sebagai tolok ukur untuk
menilai kebahagiaan, kesejahteraan bahkan keadilan. (hlm 136-137)
27. Titik
tolak ensiklik Deus Caritas est
adalah gambaran salah tentang Allah yang dikaitkan dengan balas dendam atau
tindakan kebencian dan kekerasan. Tujuan pertama ensiklik ini adalah
menempatkan kembali gambaran Allah yang benar; dan mengalami kasih sehingga
dengan demikian membawa terang Allah ke tengah dunia. (hlm 139)
28. Beragama
yang lepas dari hakikat dan panggilan kasih merupakan sesuatu yang jauh dari
inti terdalam iman. Dalam ensiklik ini Paus menunjukkan adanya bahaya yang
mengancam hidup beragama yang benar (hlm 140-142):
·
Fundamentalisme agama yang mengarah pada
kekerasan dan kebencian, yang tampak dalam terorisme
·
Nihilisme menyangkal adanya kebenaran.
Kalau fundamentalisme agama memberikan gambaran yang salah akan kasih dan
kemurahan hati Allah, menggantikannya dengan idola-idola tertentu sebagai ganti
gambaran Allah, nihilisme sama sekali menolak keberadaan Allah dan
penyelenggaraan-Nya dalam sejarah
·
Budaya relativisme menolak adanya
sesuatu yang mutlak dan abolut, karena semuanya diambil hanya yang sesuai
dengan ego dan keinginan pribadi saja
29. Uraian
atau komentar makna kata “cinta” dalam ensiklik (hlm 144-147)
30. Agama
sering dirasakan sebagai produk konsumsi, orang menjalankan sejauh menyenangkan
dan sejauh merasa mendapatkan keuntungan. – Benediktus XVI, saat misa Orang
Muda Sedunia, 21 Agustus 2005 di Jerman. (hlm 146)
31. Kalau
kamu memahami-Nya, Dia bukanlah Allah. – St Agustinus (hlm 150)
32. Gereja
menganut paham pemisahan antara agama dan negara. Negara tidak dapat mengatur
agama, namun harus menjamin adanya kebebasan beragama dan harmoni antar para
pemeluk agama yang berbeda. (hlm 152)
33. Tegaknya
masyarakat adil adalah tugas pemerintah, tugas panggilan mereka yang terlibat
dalam kehidupan politik, bukan tugas Gereja. – Benediktus XVI (hlm 152)
34. Dalam
ensiklik paus menekankan agar kita memiliki suatu religiositas yang otentik, tidak
mendikte Allah apalagi memaksa-Nya untuk membenarkan kepentingan atau kehendak
diri sendiri atau mengadili-Nya jika situasi tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan, apalagi menuduh-Nya sebagai penyebab adanya ketidakadilan dan
kemiskinan di dunia. (hlm 153)
35. Dalam
esiklik digambarkan bahwa eros disempurnakan oleh agape sehingga cinta tidak
lagi sekedar menjadi pencarian diri namun juga suatu pemberian diri, perhatian
pada sesama, kesediaan untuk berkurban. (hlm 159)
36. Perwujudan
kasih dan keadilan dijalankan oleh Gereja bukan terutama sebagai aktivitas
namun sebagai kesaksian serta pewartaan iman. (hlm 160)
37. Dengan
ensiklik ini paus ingin mengajak umat untuk membangun budaya kehidupan yang
mewujud dalam kasih yang tidak mementingkan diri sendiri dalam kesediaan untuk
“kehilangan dirinya sendiri bagi sesama. (hlm 160)
38. Perwujudan
karitas dikenal sebagai ativitas Gereja yang mendasar (hlm 161)
39. Benediktus
XVI memberikan tiga ciri karya kasih Gereja, pertama karya kasih adalah suatu tanggapan langsung akan kebutuhan
aktual. Karena itu karya kasih merupakan suatu pemberian diri dan pemberian
hati. Kedua, karya kasih harus bebas
dari partai dan ideologi. Ketiga, karya
kasih adalah bagian dari pewartaan iman. (hlm 166)
40. Prinsip
dasar karya kasih adalah kerendahan hati. Kerendahan hati itulah yang akan
membangun suatu sikap religiositas sejati. (hlm 167)
41. Ada
tiga pilar hidup menggereja: pewartaan sabda, pelayanan sakramen dan karya
kasih. (hlm 170)
42. Para
uskup Asia menandaskan dialog adalah cara hidup menggereja di Asia, sedangkan
Vatikan lebih berbicara tentang penting serta mendesaknya pewartaan akan Yesus
Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Tekanan Vatikan ini dilihat sebagai
ancaman bagi terwujudnya dialog. (hlm 192-193)
43. Dalam
ecclesia in Asia paus mengakui bahwa
Gereja tidak berakar di Asia karena dipengaruhi oleh perpecahan di dalam tubuh
Gereja dan karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya setempat serta
tidak siap menghadapi perjuampaan dengan agama-agama lain. (hlm 193)
44. Dialog
meruakan cara hidup menggereja di Asia. Namun paus tetap menekankan aspek
pewartaan, bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat. (hlm 193-194)
45. Pelayanan
kasih bukan sekedar demi melayani mereka yang menderita dan membutuhkan, namun
merupakan upaya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sejati dan
perkembangan integral umat manusia, tercakup di dalamnya perubahan mentalitas
dan struktur kehidupan yang lebih menitikberatkan ekonomi. (hlm 195)
46. Dalam
pernyataan apotoliknya (ecclesia in Asia),
paus mengharapkan agar Gereja menjadi Gereja yang berdoa. Keprihatinan paus
adalah kecenderungan orang mengejar kemajuan dan kesejahteraan tanpa mengacu
pada Allah dan membatasi dimensi religius hanya dalam ruang privat. (hlm 196)
47. Evangelisasi
tidak akan berguna jika Gereja masih tetap asing dan jauh dari realitas
kehidupan masyarakat Asia. Karena itu, dialog dengan realitas kemiskinan,
keragaman budaya dan agama menjadi dasar dari realitas menggereja di Asia. (hlm
197)
48. Para
uskup Asia ingin menampilkan Gereja Asia sebagai Geeja yang berwajah kerendahan
hati, kasih, terbuka dan dialogis, bukan terutama mau mengukur hidupnya dalam
angka pembaptisan. (hlm 198)
49. Dalam
sinode uskup Asia terungkap latar belakang kesenjangan dan perbedaan antara Asia
dan Roma, yaitu soal kultur dan cara berpikir. (hlm 198)
50. Bagi
Gereja Asia disadari cara paling efektif untuk menyatakan siapakah Allah adalah
dengan menunjukkan di mana dan bagaimana Allah hadir serta berkarya. (hlm 200)
51. Sejak
awal keberadaannya, FABC telah merumuskan tiga ruang dialog: dialog agama,
dialog budaya dan dialog dengan realitas kemiskinan sebagai matra cara hidup
menggereja di Asia. (hlm 200)
52. Cara
beriman atau cara mengereja di Asia adalah beriman dalam komitmen dan pelayanan
bagi kehidupan. Iman dan refleksi iman diharapkan mengarah pada praksis dan
merefleksikan praksis kehidupan agar dengan demikian terbangun praksis iman dan
kehidupan yang semakin relevan dan menumbuhkan. Refleksi iman tidak berangkat
dari rumusan, namun beangkat dari kenyataan. (hlm 204-205)
53. FABC
1979 menampilkan model Gereja anawim, Gereja yang berkeja bersama kaum miskin,
ikut mengalami kehidupan dan merasakan aspirasi mereka, memahami keputusasaan
dan harapan mereka, berjalan menyertai mereka dalam usaha mencari kemanusiaan
yang otentik dalam Kristus. (hlm 206)
54. Konsekuensi
pilihan Gereja anawim (hlm 206):
·
Membebaskan diri dari sikap
eklesiosentris
·
Konflik dengan mereka yang sudah mapan
·
Kehilangan keamanan bagi pemimpin Gereja
55. Komunitas
basis ditempatkan sebagai konkretisasi dari cita-cita untuk membangun Gereja
setempat. Komunitas basis muncul dari bawah, tidak bisa diciptakan atau ditata
dari atas. (hlm 207).
56. Banediktus
XVI dalam ensikliknya memisahkan agama dari negara. Gagasan pemisahan ruang
negara dan agama tidalahlah realistis di Asia. Kehadiran dan keterlibatan agama
memiliki dampak dan pengaruh politis. (hlm 215)
57. Pertentangan
Vatikan dan teologi pembebasan (hlm 216)
58. FABC
melihat upaya untuk menegakkan keadilan dan menyatakan pembelaan terhadap
mereka yang miskin dan menderita harus dijalankan dalam dialog dengan penganut
agama-agama lain. (hlm 218)
59. FABC
mengembangkan refleksi tentang Gereja anawim dan Gereja kenosis, Gereja kawanan
kecil yang mengosongkan diri dari bayang dan angan kebesaran diri, namun dengan
rendah hati mengambil peran sebagai hamba yang tidak saja rela elayani namun
rela pula menderita jika itu dituntut agar kehidupan yang lebih baik dan
keselamatan semakin terwujud. (hlm 219)
60. Pemahaman
akan sesama perlu pula semakin dikembangkan di Asia, agar Gereja Asia di satu
sisi tidak hanya secara sempit melihat dirinya belaka dan memperjuangkan
kepentingan dan tujuan dirinya saja, namun juga di sisi lain ikut menumbuhkan
kesadaran pliralistik bagi masyarakat. (hlm 219)
61. Gereja
awam sangat mewarnai wajah Gereja Asia. (Hlm 224)
62. Paus
Yohanes Paulus II dlm ensiklik Redemptoris
Missio melihat bahwa dewasa ini orang lebih percaya pada kesaksian daripada
pada pengajaran, pada pengalaman daripada ajaran dan pada hidup dan tindakan
daripada pada teori. (hlm 225)
63. Tahun
1999, para uskup Indonesia mendorong agar iman hendaknya lebih diutamakan dan
diamalkan dalam wujud cinta kasih pada Allah dan sesama. (hlm 231)
64. Dalam
nota pastoral 2003, KWI menyebut 4 akar permasalahan dari segala karut marut
persoalan yang ada di negeri ini. pertama,
iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Kedua, kerakusan akan kekuasaan dan
kekayaan. Ketiga, tumbuhnya nafsu
untuk mengejar kepentingan sendiri atau kelompok. Keempat, adanya dalil tujuan menghalalkan cara. (hlm 233)
65. Pembaruan
diri Gereja Katolik (hlm 240-241):
a. Dari
Gereja piramidal ke Gereja umat
b. Dari
hierarki sebagai pengambil dan penentu keputusan ke hierarki yang melayani umat
c. Dari
sikap introvert dan berpusat diri ke Gereja hamba, yang terbuka dan
berorientasi ke masyarakat
d. Dari
sikap tradisional ke sikap yang makin eksistensial-responsif terhadap situasi
konkret; dari sikap reaktif ke sikap proaktif mengantisipasi perkembangan yang
akan datang
e. Dari
corak Gereja yang terlampau menenkankan institusi atau kelembagaan ke pola
Gereja yang bersifat communio yang
karismatis-partisipatoris
f. Dari
kecenderungan kuat akan kegiatan ke penekanan pada motivasi injili
66. Dalam
ensiklik deus caritas est paus
mengupas tiga perkara dasar yang mempengaruhi cara bertindak dan cara bersikap
yang salah. Pertama, pemahaman akan
iman yang tidak tepat. Iman hanya ditempatkan sebagai upaya mengejar kesalehan
belaka, namun tidak mewujudkannya dalam kepeduliaan dan kasih akan sesama. Kedua, pemahaman yang salah akan arti
cinta/kasih. Kasih terlalu dipahami secara biologis, materialistis dan dalam
pengaruh budaya konsumtif-hedonistik. Ketiga,
pemahaman salah mengenai keadilan, yang meletakkan keadilan dalam angan
utopis terhadap masyarakat dan masa depan adil. (hlm 243-253)
67. Dalam
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 komunitas basis memiliki arah
tekanan dengan landasan dasarnya adalah budaya kasih. Budaya kasih adalah sikap
yang tidak menghendaki adanya seseorang yang tersingkir, yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar. Budaya kasih adalah sikap
yang mau peduli dan mau memperhatikan kebutuhan sesama. (hlm 254-255)
68. Dalam
ensikliknya paus mengundang Gereja dan umat beriman untuk semakin menyebarkan
dan mewujudkan kasih, baik sebagai pandangan maupun sebagai wujud pelayanan
bagi sesama, terlebih mereka yang miskin dan membutuhkan. (hlm 255)
by: adrian
[*]
Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ. Gereja
dan Pelayanan Kasih: Ensiklik Deus Caritas Est dan Komentar. Yogyakarta:
Kanisius, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar