Kamis, 26 Juli 2012

Beberapa Kutipan Buku Deus Caritas Est


KUTIPAN-KUTIPAN DARI BUKU 

“GEREJA DAN PELAYANAN KASIH: ENSIKLIK DEUS CARITAS EST DAN KOMENTAR”[*]
1.       Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu (1Kor 10: 17). Kesatuan dengan Kristus adalah pula kesatuan dengan semua, yang kepadanya Dia memberikan diri-Nya sendiri. (hlm 37)
2.       Setiap orang yang membutuhkan saya, dan kepada siapa saya dapat memberikan bantuan adalah sesama saya. (hlm 38)
3.       Kasih akan sesama adalah jalan yang menuntun pada perjumpaan dengan Allah, dan bahwa dengan menutup mata akan sesama menjadikan kita buta akan Allah. (Hlm 40)
4.       Jika hidup saya sepenuhnya tidak mampu memperhatikan sesama, hanya secara eksklusif ingin menjadi “saleh” dan hanya mau menjalani ‘kewajiban-kewajiban religius’ belaka, maka relasi saya dengan Allah akan kering dan layu. Itu memang baik, tapi tanpa kasih. Hanya dalam kesediaan untuk menjalin relasi dengan sesama dan menampakkan kasih kepada mereka kita akan semakin peka akan Allah. Hanya jika saya melayani sesama, mata saya dapat terbuka akan apa yang Allah kerjakan dalam diri saya dan mengenali betapa Dia begitu mencintai saya. – Benediktus  XVI (hlm 42)
5.       Tindakan karitatif Gereja sebagai perwujudan kasih Trinitaris. St Agustinus berkata, “Jika kamu melihat kasih, kamu memandang tritunggal.” Karitas sebagai tugas Gereja. (Hlm 45-51)
6.       Ada dua hal penting:
a.     Hakikat terdalam Gereja terwujud dalam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia) dan perwujudan pelayanan kasih (diakonia)
b.     Gereja adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun boleh dibiarkan hidup tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
7.       Keadilan harus menjadi norma dasar negara dan bahwa tujuan dari tata sosial yang adilnadalah untuk menjamin setiap pribadi, sesuai prinsip subsidiaritas, agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. (hlm 52)
8.       Gereja lambat menyadari bahwa persoalan keadilan membutuhkan suatu pendekatan baru. Gereja lebih menitik-beratkan soal kasih. Karena itulah pada abad XIX Marxisme menjadi tantangan bagi Gereja, karena bagi kaum marxis rakyat miskin tidak membutuhkan kasih melainkan keadilan. (hlm 52-53)
9.       Unsur dasar kasih kristiani dan gerejawi: (hlm 63-66)
·        Kasih kristiani terutama adalh tanggapan seketika akan kebutuhan langsung dan akan situasi-situasi tertentu: memberi makan mereka yang lapar, memberi pakaian mereka yang telanjang, merawat dan menyembuhkan yang sakit, mengunjungi mereka yang ada dalam penjara, dst.
·        Karya kasih kristiani harus bebas dari partai dan ideologi. Karya kasih bukanlah sarana untuk secara ideologis mau mengubah dunia, dan tidak pula melayani kepentingan strategis dunia, namun suatu tanda yang menghadirkan, kini dan di sini, kasih yang dibutuhkan manusia
·        Kasih tidak dapat digunkan sebagai sarana proselitisme. Kasih itu bebas, tidak dibuat sebagai cara untuk menggapai tujuan lain. Namun bukan berarti bahwa karya kasih itu menanggalkan Allah dan Kristus. Merek yang menjalankan karya asih atas nama Gereja jangan sampai tidak mencoba untuk menanamkan iman Gereja pada sesama.
10.  Sejak abad XIX pemikiran dikuasai oleh Marxisme. Salah satu bagian dari strategi marxisme adalah teori pemiskinan: dalam situasi ketidakadilan, mereka yang berada dalam kekuasaan, demikian dinyatakannya, yang terlibat dalam tindakan karitatif, dalam berbagai wujud dan bentuknya yang kadang masih bisa dipahami, pada dasarnya melayni sistem yang tidak adil. Hal ini perlahan menggerakkan suatu kemungkinan adanya revolusi, dan karenanya malahan menghalangi upaya perjuangan bagi dunia yang lebih baik. Tanpa dalam cara ini, kasih ditolak dan dituduh sebagai sarana untuk melanggengkan status quo. (hlm 64)
11.  Pelayanan karitatif membutuhkan daya kekuatan. Doa merupakan sarana untuk menimba  daya kekuatan baru dari Kristus. Kesalehan tidaklah memperlemah perjuangan melawan kemiskinan sesama kita, seberapapun ekstremnya. (hlm 70-71)
12.  Keutamaan teologal kita adalah iman, harapan dan cinta kasih. Harapan diwujudkan melalui keutamaan kesabaran, yang terus berbuat baik pun saat kegagalan jelas dihadapi dan melalui keutamaan kerendahan hati yang menerima misteri Allah dan percaya penuh kepada-Nya, juga di saat kegelapan. Iman menunjukkan kepada kita bahwa Allah telah memberikan Putera-Nya demi keselamatan kita dan memberi kita keyakinan yang tak terkalahkan bahwa sungguh benar bahwa Allah adalah kasih. Hal itu akan mengubah ketidaksabaran dan keraguan kita menuju pada harapan pasti bahwa dunia berada di tangan Allah. Iman menumbuhkan kasih yang adalah cahaya yang menerangi dunia yang tumbuh dalam kegelapan dan memberi kita daya kekuatan yang dibutuhkan agar kasih tetap hidup dan bekerja. (Hlm 72-73)
13.  Dalam ensiklik Deus Caritas est ini Paus Benediktus XVI mau meneruskan apa yang telah ditanamkan dan diwariskan oleh Paus Yohanes Paulus II. (hlm 80)
14.  Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa jalan yang ditempuh Gereja adalah jalan manusia, berpihak pada manusia yang berarti berpihak pada kehidupan. Ini terlihat dalam ensiklik Centesimus Annus dan terlebih Redemptor Hominis. (hlm 81)
15.  Bagi Paus Yohanes Paulus II tugas perutusan Gereja terarah kepada pribadi manusia yang konkret dan historis. Dia adalah pribadi manusia yang tercipta menurut gambar dan rupa Allah. Hal ini dilatarbelakangi keprihatian paus akan maraknya kecenderungan untuk memandang manusia sebagai obyek, elemen, unsur atau organisasi sosial belaka. (hlm 81-82)
16.  Realitas hidup manusia adalah realitas hidup bersama yang lain. “Adalah tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” (Kej 2: 18) Pribadi manusia senantiasa terarah pada sesama. (hlm 84-85)
17.  Dalam evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa akar kejahatan akan sesama bermula dari sikap iri dan tidak menghendaki yang lain sehingga timbul kebencian serta keinginan jahat akan yang lain. (hlm 88)
18.  Dalam kisah Orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25-37) terlihat bahwa tindakan kasih terarah pada sesama, terlebih pada mereka yang menderita. Tindakan ini adalah tindakan kurban, keluar dari kondisi dan situasi kemapanan diri dengan rela berbagi bagi mereka yang membutuhkan. (hlm 89)
19.  Keselamatan Kerajaan Allah tidak hanya memiliki dimensi rohani, namun pula jasmani. (hlm 95)
20.  Wujud kasih akan sesama oleh Gereja dinyatakan pada tempat pertamanya dalam wujud kasih akan mereka yang miskin. Prioritas kasih akan orang miskin merupakan perwujudan panggilan untuk memperjuangkan keadilan di dalam kehidupan umat manusia. Ini merupakan perjuangan mengubah mentalitas, kultur hidup dan struktur masyarakat yang cenderung tidak memberi ruang bagi mereka yang lemah. (hlm 95-96)
21.  Gereja bukanlah pekerja sosial, namun pewarta Injil keselamatan Kristus. (hlm 97)
22.  Injil, Kabar Gembira: kemiskinan, keadilan, kasih dan pembebasan. (hlm 98-102)
23.  Yohanes Paulus II dan pembentukan tata dunia baru. (hlm 102-107)
24.  Yohanes Paulus II dan perdamaian. (hlm 107-110)
25.  Solidaritas sejak lama ditempatkan dalam prinsip sosialisme yang ditunjang oleh prinsip liberalisme, sehingga merusak struktur sosial yang ada dan menyingkirkan kekuatan tatanan serta nilai rohani juga moral dalam masyarakat. Solidaritas dalam Gereja Katolik tidak dimaksudkan sebagai perjuangan menuju masyarakat tanpa kelas. Solidaritas adalah bagian dari karya kasih. (hlm 133)
26.  Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI sama-sama melihat adanya trens kultur tanpa Tuhan. Allah disingkirkan dari dunia kehidupan. Ini terjadi karena adanya pemisahan secara absolut dua ruang dimensi kehidupan dalam diri manusia: yang jasmani dan rohani. Yang jasmani bisa diukur sedangkan yang rohani tidak bisa diukur secara positivistik, lalu dianggap bisa dicapai dengan memberi tekanan dan perhatian pada yang jasmani. Ukuran material (uang) dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai kebahagiaan, kesejahteraan bahkan keadilan. (hlm 136-137)
27.  Titik tolak ensiklik Deus Caritas est adalah gambaran salah tentang Allah yang dikaitkan dengan balas dendam atau tindakan kebencian dan kekerasan. Tujuan pertama ensiklik ini adalah menempatkan kembali gambaran Allah yang benar; dan mengalami kasih sehingga dengan demikian membawa terang Allah ke tengah dunia. (hlm 139)
28.  Beragama yang lepas dari hakikat dan panggilan kasih merupakan sesuatu yang jauh dari inti terdalam iman. Dalam ensiklik ini Paus menunjukkan adanya bahaya yang mengancam hidup beragama yang benar (hlm 140-142):
·        Fundamentalisme agama yang mengarah pada kekerasan dan kebencian, yang tampak dalam terorisme
·        Nihilisme menyangkal adanya kebenaran. Kalau fundamentalisme agama memberikan gambaran yang salah akan kasih dan kemurahan hati Allah, menggantikannya dengan idola-idola tertentu sebagai ganti gambaran Allah, nihilisme sama sekali menolak keberadaan Allah dan penyelenggaraan-Nya dalam sejarah
·        Budaya relativisme menolak adanya sesuatu yang mutlak dan abolut, karena semuanya diambil hanya yang sesuai dengan ego dan keinginan pribadi saja
29.  Uraian atau komentar makna kata “cinta” dalam ensiklik (hlm 144-147)
30.  Agama sering dirasakan sebagai produk konsumsi, orang menjalankan sejauh menyenangkan dan sejauh merasa mendapatkan keuntungan. – Benediktus XVI, saat misa Orang Muda Sedunia, 21 Agustus 2005 di Jerman. (hlm 146)
31.  Kalau kamu memahami-Nya, Dia bukanlah Allah. – St Agustinus (hlm 150)
32.  Gereja menganut paham pemisahan antara agama dan negara. Negara tidak dapat mengatur agama, namun harus menjamin adanya kebebasan beragama dan harmoni antar para pemeluk agama yang berbeda. (hlm 152)
33.  Tegaknya masyarakat adil adalah tugas pemerintah, tugas panggilan mereka yang terlibat dalam kehidupan politik, bukan tugas Gereja. – Benediktus XVI (hlm 152)
34.  Dalam ensiklik paus menekankan agar kita memiliki suatu religiositas yang otentik, tidak mendikte Allah apalagi memaksa-Nya untuk membenarkan kepentingan atau kehendak diri sendiri atau mengadili-Nya jika situasi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, apalagi menuduh-Nya sebagai penyebab adanya ketidakadilan dan kemiskinan di dunia. (hlm 153)
35.  Dalam esiklik digambarkan bahwa eros disempurnakan oleh agape sehingga cinta tidak lagi sekedar menjadi pencarian diri namun juga suatu pemberian diri, perhatian pada sesama, kesediaan untuk berkurban. (hlm 159)
36.  Perwujudan kasih dan keadilan dijalankan oleh Gereja bukan terutama sebagai aktivitas namun sebagai kesaksian serta pewartaan iman. (hlm 160)
37.  Dengan ensiklik ini paus ingin mengajak umat untuk membangun budaya kehidupan yang mewujud dalam kasih yang tidak mementingkan diri sendiri dalam kesediaan untuk “kehilangan dirinya sendiri bagi sesama. (hlm 160)
38.  Perwujudan karitas dikenal sebagai ativitas Gereja yang mendasar (hlm 161)
39.  Benediktus XVI memberikan tiga ciri karya kasih Gereja, pertama karya kasih adalah suatu tanggapan langsung akan kebutuhan aktual. Karena itu karya kasih merupakan suatu pemberian diri dan pemberian hati. Kedua, karya kasih harus bebas dari partai dan ideologi. Ketiga, karya kasih adalah bagian dari pewartaan iman. (hlm 166)
40.  Prinsip dasar karya kasih adalah kerendahan hati. Kerendahan hati itulah yang akan membangun suatu sikap religiositas sejati. (hlm 167)
41.  Ada tiga pilar hidup menggereja: pewartaan sabda, pelayanan sakramen dan karya kasih. (hlm 170)
42.  Para uskup Asia menandaskan dialog adalah cara hidup menggereja di Asia, sedangkan Vatikan lebih berbicara tentang penting serta mendesaknya pewartaan akan Yesus Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Tekanan Vatikan ini dilihat sebagai ancaman bagi terwujudnya dialog. (hlm 192-193)
43.  Dalam ecclesia in Asia paus mengakui bahwa Gereja tidak berakar di Asia karena dipengaruhi oleh perpecahan di dalam tubuh Gereja dan karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya setempat serta tidak siap menghadapi perjuampaan dengan agama-agama lain. (hlm 193)
44.  Dialog meruakan cara hidup menggereja di Asia. Namun paus tetap menekankan aspek pewartaan, bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat. (hlm 193-194)
45.  Pelayanan kasih bukan sekedar demi melayani mereka yang menderita dan membutuhkan, namun merupakan upaya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sejati dan perkembangan integral umat manusia, tercakup di dalamnya perubahan mentalitas dan struktur kehidupan yang lebih menitikberatkan ekonomi. (hlm 195)
46.  Dalam pernyataan apotoliknya (ecclesia in Asia), paus mengharapkan agar Gereja menjadi Gereja yang berdoa. Keprihatinan paus adalah kecenderungan orang mengejar kemajuan dan kesejahteraan tanpa mengacu pada Allah dan membatasi dimensi religius hanya dalam ruang privat. (hlm 196)
47.  Evangelisasi tidak akan berguna jika Gereja masih tetap asing dan jauh dari realitas kehidupan masyarakat Asia. Karena itu, dialog dengan realitas kemiskinan, keragaman budaya dan agama menjadi dasar dari realitas menggereja di Asia. (hlm 197)
48.  Para uskup Asia ingin menampilkan Gereja Asia sebagai Geeja yang berwajah kerendahan hati, kasih, terbuka dan dialogis, bukan terutama mau mengukur hidupnya dalam angka pembaptisan. (hlm 198)
49.  Dalam sinode uskup Asia terungkap latar belakang kesenjangan dan perbedaan antara Asia dan Roma, yaitu soal kultur dan cara berpikir. (hlm 198)
50.  Bagi Gereja Asia disadari cara paling efektif untuk menyatakan siapakah Allah adalah dengan menunjukkan di mana dan bagaimana Allah hadir serta berkarya. (hlm 200)
51.  Sejak awal keberadaannya, FABC telah merumuskan tiga ruang dialog: dialog agama, dialog budaya dan dialog dengan realitas kemiskinan sebagai matra cara hidup menggereja di Asia. (hlm 200)
52.  Cara beriman atau cara mengereja di Asia adalah beriman dalam komitmen dan pelayanan bagi kehidupan. Iman dan refleksi iman diharapkan mengarah pada praksis dan merefleksikan praksis kehidupan agar dengan demikian terbangun praksis iman dan kehidupan yang semakin relevan dan menumbuhkan. Refleksi iman tidak berangkat dari rumusan, namun beangkat dari kenyataan. (hlm 204-205)
53.  FABC 1979 menampilkan model Gereja anawim, Gereja yang berkeja bersama kaum miskin, ikut mengalami kehidupan dan merasakan aspirasi mereka, memahami keputusasaan dan harapan mereka, berjalan menyertai mereka dalam usaha mencari kemanusiaan yang otentik dalam Kristus. (hlm 206)
54.  Konsekuensi pilihan Gereja anawim (hlm 206):
·        Membebaskan diri dari sikap eklesiosentris
·        Konflik dengan mereka yang sudah mapan
·        Kehilangan keamanan bagi pemimpin Gereja
55.  Komunitas basis ditempatkan sebagai konkretisasi dari cita-cita untuk membangun Gereja setempat. Komunitas basis muncul dari bawah, tidak bisa diciptakan atau ditata dari atas. (hlm 207).
56.  Banediktus XVI dalam ensikliknya memisahkan agama dari negara. Gagasan pemisahan ruang negara dan agama tidalahlah realistis di Asia. Kehadiran dan keterlibatan agama memiliki dampak dan pengaruh politis. (hlm 215)
57.  Pertentangan Vatikan dan teologi pembebasan (hlm 216)
58.  FABC melihat upaya untuk menegakkan keadilan dan menyatakan pembelaan terhadap mereka yang miskin dan menderita harus dijalankan dalam dialog dengan penganut agama-agama lain. (hlm 218)
59.  FABC mengembangkan refleksi tentang Gereja anawim dan Gereja kenosis, Gereja kawanan kecil yang mengosongkan diri dari bayang dan angan kebesaran diri, namun dengan rendah hati mengambil peran sebagai hamba yang tidak saja rela elayani namun rela pula menderita jika itu dituntut agar kehidupan yang lebih baik dan keselamatan semakin terwujud. (hlm 219)
60.  Pemahaman akan sesama perlu pula semakin dikembangkan di Asia, agar Gereja Asia di satu sisi tidak hanya secara sempit melihat dirinya belaka dan memperjuangkan kepentingan dan tujuan dirinya saja, namun juga di sisi lain ikut menumbuhkan kesadaran pliralistik bagi masyarakat. (hlm 219)
61.  Gereja awam sangat mewarnai wajah Gereja Asia. (Hlm 224)
62.  Paus Yohanes Paulus II dlm ensiklik Redemptoris Missio melihat bahwa dewasa ini orang lebih percaya pada kesaksian daripada pada pengajaran, pada pengalaman daripada ajaran dan pada hidup dan tindakan daripada pada teori. (hlm 225)
63.  Tahun 1999, para uskup Indonesia mendorong agar iman hendaknya lebih diutamakan dan diamalkan dalam wujud cinta kasih pada Allah dan sesama. (hlm 231)
64.  Dalam nota pastoral 2003, KWI menyebut 4 akar permasalahan dari segala karut marut persoalan yang ada di negeri ini. pertama, iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Kedua, kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan. Ketiga, tumbuhnya nafsu untuk mengejar kepentingan sendiri atau kelompok. Keempat, adanya dalil tujuan menghalalkan cara. (hlm 233)
65.  Pembaruan diri Gereja Katolik (hlm 240-241):
a.     Dari Gereja piramidal ke Gereja umat
b.     Dari hierarki sebagai pengambil dan penentu keputusan ke hierarki yang melayani umat
c.      Dari sikap introvert dan berpusat diri ke Gereja hamba, yang terbuka dan berorientasi ke masyarakat
d.     Dari sikap tradisional ke sikap yang makin eksistensial-responsif terhadap situasi konkret; dari sikap reaktif ke sikap proaktif mengantisipasi perkembangan yang akan datang
e.      Dari corak Gereja yang terlampau menenkankan institusi atau kelembagaan ke pola Gereja yang bersifat communio yang karismatis-partisipatoris
f.       Dari kecenderungan kuat akan kegiatan ke penekanan pada motivasi injili
66.  Dalam ensiklik deus caritas est paus mengupas tiga perkara dasar yang mempengaruhi cara bertindak dan cara bersikap yang salah. Pertama, pemahaman akan iman yang tidak tepat. Iman hanya ditempatkan sebagai upaya mengejar kesalehan belaka, namun tidak mewujudkannya dalam kepeduliaan dan kasih akan sesama. Kedua, pemahaman yang salah akan arti cinta/kasih. Kasih terlalu dipahami secara biologis, materialistis dan dalam pengaruh budaya konsumtif-hedonistik. Ketiga, pemahaman salah mengenai keadilan, yang meletakkan keadilan dalam angan utopis terhadap masyarakat dan masa depan adil. (hlm 243-253)
67.  Dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 komunitas basis memiliki arah tekanan dengan landasan dasarnya adalah budaya kasih. Budaya kasih adalah sikap yang tidak menghendaki adanya seseorang yang tersingkir, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar. Budaya kasih adalah sikap yang mau peduli dan mau memperhatikan kebutuhan sesama. (hlm 254-255)
68.  Dalam ensikliknya paus mengundang Gereja dan umat beriman untuk semakin menyebarkan dan mewujudkan kasih, baik sebagai pandangan maupun sebagai wujud pelayanan bagi sesama, terlebih mereka yang miskin dan membutuhkan. (hlm 255)

by: adrian


[*] Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ. Gereja dan Pelayanan Kasih: Ensiklik Deus Caritas Est dan Komentar. Yogyakarta: Kanisius, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar