Jumat, 17 September 2021

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-FATIHAH

 


Di kalangan ulama dan pakar islam, surah al-Fatihah ini dikenal sebagai mother of the qur’an, ibunya Al-Qur’an. Salah satu peran atau fungsi ibu adalah melahirkan. Karena itu, mother of the qur’an dimaknai sebagai surah yang melahirkan surah-surah lain yang ada dalam Al-Qur’an. Mungkin artinya bahwa wahyu-wahyu Allah yang ada di surah ke-2 hingga ke-114 merupakan penjabaran dari isi surah al-Fatihah. Atau dengan perkataan lain, surah al-Fatihah menjadi dasar pijak surah-surah lainnya.

Pemahaman seperti ini bukan tanpa konsekuensi. Dengan pemahaman seperti ini maka diandaikan bahwa surah al-Fatihah merupakan wahyu Allah yang pertama turun. Menjadi pertanyaan, benarkah demikian? Kepastian akan hal ini bukan didasarkan pada pengakuan sepihak, melainkan harus ditunjang dengan bukti ilmiah, seperti penelitian-penelitian. Konsekuensi lain adalah bila dikaitkan dengan turunan cacat bawaan. Ibu yang mempunyai gen buruk atau cacat bawaan, tentulah akan melahirkan anak dengan cacat bawaan juga. Demikian pula halnya dengan Al-Qur’an. Jika ada “cacat” dalam surah al-Fatihah, maka “cacat” itu terdapat pula dalam surah-surah lainnya. Berhubung yang “melahirkan” surah al-Fatihah adalah Allah SWT, maka bisa dikatakan juga terdapat “cacat” pada Allah itu. Inilah konsekuensi berikutnya.

Akan tetapi, dalam tulisan ini kami tidak akan membahas persoalan konsekuensi tersebut. Di sini kami lebih fokus pada kajian ayat-ayat surah al-Fatihah berdasarkan akal sehat. Sebelum menyampaikan kajian islam atas surah al-Fatihah, terlbih dahulu kami ingin memberi pemahaman sedikit soal Al-Qur’an. Umat islam meyakini dengan pasti kalau Al-Qur’an merupakan wahyu Allah. Apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an dipastikan merupakan kata-kata Allah sendiri. Dalam arti lain, Al-Qur’an itu berasal dari Allah. Kepastian ini didasarkan pada wahyu Allah sendiri, yang banyak dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan pemahaman ini, maka haruslah diterima bahwa ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah (7 ayat) merupakan perkataan langsung dari Allah. Karena yang menerima wahyu Allah itu HANYA Muhammad, maka bisa dikatakan bahwa perkataan itu ditujukan kepada Muhammad.

Berikut ini adalah kutipan terjemahan ayat surah al-Fatihah. Terjemahan ini kami ambil dari “AL-QUR’AN DAN TERJEMAHANNYA, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006”.

(1) Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (2) Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, (3) Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (4) Pemilik hari pembalasan. (5) Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (6) Tunjukkan kami jalan yang lurus, (7) (yakni) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Pertama-tama harus dipahaman bahwa kutipan ayat-ayat di atas adalah kata-kata Allah yang disampaikan kepada Muhammad, kecuali yang ada dalam tanda kurung, seperti ‘yakni’, ‘jalan’ dan ‘pula jalan’. Tiga kata ini dapat dipastikan berasal dari manusia kemudian. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat di atas, kita bisa mengatakan bahwa wahyu terdiri dari 4 kalimat, yaitu ayat 1, ayat 2 – 4, ayat 5, dan ayat 6 – 7. Ayat 3 dan 4 merupakan penjelasan atas Allah yang disebut pada ayat 2. Kedua ayat ini menunjukkan esensi atau sifat dari Allah. Berhubung esensi atau sifat Allah ini sudah jelas, maka dalam tulisan ini kedua ayat itu tidak masuk dalam kajian.

Kajian Ayat 1 dan 2

Karena Al-Qur’an diyakini sebagai perkataan Allah, yang disampaikan kepada Muhammad, maka dengan membaca dua ayat ini tentulah kita bisa mengatakan bahwa waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” Setelah mendengar itu, Muhammad lantas menyuruh juru tulisnya untuk menulis apa yang dikatakan Allah kepadanya. Dan jadilah teks ini di hadapan umat islam.

Jika kita membaca kembali teks tersebut dengan akal sehat yang jernih, maka akan ditemukan kejanggalan. Allah berkata, “Dengan nama Allah ….. Segala puji bagi Allah …” Tampak jelas Allah menyebut kata ‘Allah’. Kata ‘Allah’ ini tentulah tidak merujuk kepada Allah yang berbicara, karena kalau demikian Allah akan menggunakan kata ‘Aku’ atau ‘Kami’. Karena itu, kita bisa mengatakan bahwa pada waktu itu Allah sedang menyebut Allah lain, yang bukan Allah yang berbicara. Allah yang lain ini tentulah berbeda dari Allah yang berbicara. Allah lain yang disebut Allah ini memiliki sifat atau esensi sebagai maha pengasih, maha penyayang, Tuhan seluruh alam, pemilik hari pembalasan sehingga segala puji dialamatkan kepada-Nya.

Pertanyaan kecil yang bisa diajukan di sini adalah apakah Allah yang sedang berbicara waktu itu juga memiliki sifat atau esensi yang sama seperti yang dimiliki oleh Allah lain yang disebut itu? Tentulah patut diragukan Allah yang berbicara mempunyai sifat yang sama dengan Allah yang disebut-Nya itu. Karena jika Allah yang berbicara itu juga memiliki sifat atau esensi yang sama, maka dapat dikatakan ada 2 Allah yang setara. Dan tentulah ini bertentangan dengan konsep tauhid islam. Akan tetapi, sekalipun tidak setara, tentulah akal sehat akan mengatakan bahwa dalam dua ayat ini terdapat 2 Allah, yang berbeda dalam sifat dan tentu juga derajat. Dapat dikatakan bahwa derajat Allah yang sedang berbicara lebih rendah dari Allah yang disebut dalam wahyu-Nya.

Kajian Ayat 5

Sekali lagi kita harus pahami bahwa pada waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Setelah mendengar perkataan Allah ini, Muhammad lantas meminta juru tulisnya untuk menulis apa yang dikatakan Allah kepadanya. Dan jadilah teks ini di hadapan umat islam, yang dalam perjalanan sejarah islam diberi nomor (5). Demikianlah ayat 5 surah al-Fatihah. Jadi, perlu ditegaskan bahwa ayat 5 ini merupakan kata-kata Allah sendiri.

Namun, jika kita membaca kembali teks tersebut dengan akal sehat yang jernih, maka akan ditemukan kejanggalan. Allah berkata, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Dalam kutipan ayat 5 ini terdapat 2 jenis kata ganti orang, yaitu ‘engkau’ dan ‘kami’. Dapat dipastikan bahwa penulisan huruf kapital pada kata ‘engkau’ merupakan tafsiran kemudian, karena waktu Allah berbicara hal itu tidak jelas sama sekali. Jika kita mengabaikan penulisan huruf kapital, maka ayat 5 ini merupakan bentuk komunikasi antara dua orang, yaitu Allah dan Muhammad. Allah yang berbicara berperan sebagai orang pertama dan Muhammad sebagai orang kedua. Kenapa kemudian bisa ditulis dengan menggunakan huruf kapital? Pada saat berbicara, lawan atau kawan bicara Allah adalah Muhammad.

Dalam ilmu bahasa dan juga komunikasi, penggunakan kata ganti ‘engkau’ itu merujuk pada orang sebagai lawan atau teman bicara. Tidak akan mungkin kata ‘engkau’ itu merujuk kepada orang yang sedang berbicara, dan tak akan mungkin pula mengacu pada orang lain, yang bukan lawan bicara. Berdasarkan ilmu bahasa dan juga komunikasi, orang yang sedang berbicara dikenal sebagai orang pertama. Statusnya bisa tunggal (saya, aku), bisa juga jamak (kami, kita). Sementara lawan atau kawan bicara dikenal sebagai orang kedua, yang bisa tungga (kamu, engkau) atau juga jamak (kalian). Sedangkan orang yang sedang tidak terlibat dalam pembicaraan, namun masuk dalam pembicaraan dikenal sebagai orang ketiga. Statusnya bisa tungga (dia, ia), bisa juga jamak (mereka).

Berangkat dari penjelasan ilmu bahasa dan juga pemahaman turunnya wahyu Allah, maka dapatlah dikatakan bahwa kata ‘engkau’ dalam ayat 5 itu mengacu pada Muhammad. Karena pada waktu itu, dan diyakini oleh umat islam, Allah sedang berbicara dengan Muhammad, dan wahyu Allah hanya disampaikan Allah kepada Muhammad. Akan tetapi, penerapan ilmu bahasa ini bukan tanpa masalah. Apakah Muhammad disembah dan dimintai pertolongan? Jika mengikuti ilmu bahasa, dimana kata ‘engkau’ itu mengacu pada lawan bicara, yang berarti adalah Muhammad, maka sosok Muhammad itu disembah dan dimintai pertolongan. Dan berdasarkan ilmu bahasa juga, dimana kata ‘kami’ itu bisa mengacu pada orang yang sedang berbicara, dalam hal ini adalah Allah, maka Allah menyembah Muhammad dan meminta pertolongan kepadanya.

Tentulah hal ini sangat tidak mungkin. Karena itulah, umat islam kemudian menafsirkan kata ‘engkau’ itu dengan Allah sehingga penulisannya pun memakai huruf kapital. Akan tetapi, apakah masalah sudah selesai? Sama sekali persoalan ayat 5 ini tidak selesai hanya dengan pemakaian huruf kapital pada kata ‘engkau’. Masih ada keanehan di sana. Jika kalimat “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”  merupakan perkataan Allah, maka Muhammad tidak masuk dalam pembicaraan dan bukan pula bagian dari dialog. Bisa dikatakan waktu itu Muhammad ibarat patung, bukan lawan atau kawan bicara Allah, sementara Allah berbicara kepada Allah yang lain, yang disapa sebagai ‘Engkau’. Allah yang lain inilah yang disembah dan dimohonkan pertolongannya oleh Allah yang sedang berbicara. Kata ganti ‘kami’ dalam kalimat itu bisa dalam bentuk tunggal (sebagai bentuk hormat), bisa juga dalam bentuk jamak. Jika kata ‘kami’ dalam bentuk tunggal, maka itu mengacu pada Allah yang berbicara, tapi jika dalam bentuk jamak, siapa lagi yang masuk dalam bagian ini selain Allah yang berbicara? Apakah ada allah-allah lain lagi? Bila seandainya begitu, betapa banyaknya Allah dalam islam; tidak hanya sebatas dua.

Kajian Ayat 6 – 7

Perlu ditegaskan sekali lagi agar kita benar-benar pahami bahwa pada waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yakni) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Setelah mendengar perkataan Allah ini, Muhammad lantas meminta juru tulisnya untuk menulis apa yang dikatakan Allah kepadanya. Di kemudian hari ada tangan manusia menambahkan kata dalam wahyu Allah ini, dan ini terlihat dalam kata-kata yang ada dalam tanda kurung. Dan jadilah teks ini di hadapan umat islam, yang dalam perjalanan sejarah islam diberi nomor (6 dan 7). Demikianlah ayat 6 dan 7 surah al-Fatihah. Jadi, perlu ditegaskan bahwa kedua ayat  ini merupakan kata-kata Allah sendiri.

Sama seperti ayat-ayat sebelumnya, jika kita membaca kembali teks tersebut dengan akal sehat yang jernih, maka akan ditemukan kejanggalan. Dalam dua ayat ini terdapat 4 kata ganti orang, yaitu ‘kami’, ‘engkau’, ‘-nya’ dan ‘mereka. Keanehan dan kejangalan ayat ini terkait dengan kata ganti ‘kami’ dan ‘engkau’  tak jauh beda dengan kajian ayat 5 di atas. Karena itu, kami merasa tak perlu lagi mengulasnya. Yang pasti, Allah yang berbicara meminta kepada Allah yang lain agar ditunjukkan jalan. Sungguh lucu.

Kami hanya ingin membahas penggunaan kata ganti yang lain, yaitu ‘-nya’ dan ‘mereka’. Kata ganti ‘-nya’ merupakan kata ganti orang yang menyatakan kepemilikan. Bentuknya adalah tunggal. Sedangkan kata ganti ‘mereka’ dalam ayat di atas, khususnya ayat 7, menunjukkan kata ganti orang yang menyatakan kepemilikan. Bentuknya adalah jamak. Apa yang aneh di sini? Penggunaan kata ganti biasanya selalu diawali dengan kata yang akan diganti. Artinya, kata ganti orang digunakan bila sebelumnya sudah ada kata orang tersebut. Dalam ayat 7 surah al-Fatihah ini, kata ‘mereka’ ini menggantikan kata apa? Penelusuran dari ayat pertama hingga ayat 6 sama sekali tidak ditemukan kata apa yang diganti dengan kata ‘mereka’. Hal yang sama dengan kata ganti kepunyaan ‘-nya’.

Hal ini menjadi aneh dan janggal karena Al-Qur’an selalu diklaim sebagai kitab yang jelas, dan Allah selalu diyakini sebagai maha mengetahui. Akan tetapi, berhadapan dengan ayat 7 ini, yang ditemui adakan ketidak-jelasan. Dan karena tidak jelas, maka gelar Allah yang maha mengetahui haruslah diragukan. Ataukah keaslian ayat ini sebagai wahyu Allah patut dipertanyakan.

Kesimpulan

Demikianlah kajian islam atas surah al-Fatihah. Dari kajian tersebut kita dapat menemukan beberapa butir kesimpulan.

1.    Jika surah al-Fatihah ini diyakini sebagai wahyu Allah, dalam arti Allah yang berbicara saat itu, maka haruslah diakui adanya Allah yang lain. Dengan demikian, islam mempunyai DUA Allah. Ini merupakan konsekuensi logis.

2.    Jika umat islam tetap bersikukuh bahwa Allah hanya ada SATU, maka haruslah dikatakan bahwa surah al-Fatihah ini bukan wahyu Allah. Artinya, yang berbicara waktu itu bukanlah Allah. Dengan kata lain, perkataan-perkataan dalam surah ini bukan berasal dari Allah.

3.    Jika umat islam percaya bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab yang jelas karena berasal dari Allah, maka haruslah dikatakan bahwa surah al-Fatihah bukan berasal dari Allah, karena adanya ketidak-jelasan.

4.    Berangkat dari butir kedua dan ketiga, karena bukan dari Allah, maka dapatlah dikatakan bahwa surah al-Fatihah merupakan rekayasa manusia.

Dari empat butir kesimpulan logis ini, kita akhirnya bisa mengajukan pertanyaan refleksi tentang surah al-Fatihah, yang dikenal sebagai mother of the qur’an. Seperti yang telah kami jelaskan di atas, pemahaman sebagai mother of the qur’an mengandung konsekuensi logis yang harus diterima bila dikaitkan dengan turunan cacat bawaan. Empat butir kesimpulan di atas bisa dijadikan sebagai “cacat” yang ada dalam surah al-Fatihah. Karena surah ini sebagai “ibu” yang melahirkan surah-surah lainnya, maka “cacat” ini pun bisa terdapat surah-surah lain. Dan percaya atau tidak, hal itu memang terbukti.

Lingga, 2 September 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar