Jumat, 13 Agustus 2021

TELAAH ATAS SURAH AL-BAQARAH AYAT 75

 


Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahui.
[QS 2: 75]

Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman yang berasal dari Allah sendiri. Firman itu disampaikan secara langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Berhubung Muhammad adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis, maka setelah mendapatkan firman Allah itu dia langsung mendiktekan kepada pengikutnya untuk ditulis. Semua tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan, dan jadilah kita yang sekarang dikenal dengan nama Al-Qur’an. Karena itu, apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah sendiri. Tak heran bila umat islam menganggap kitab tersebut sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qr’an adalah juga penghinaan terhadap Allah, dan orang yang melakukan hal tersebut wajib dibunuh. Ini merupakan kehendak Allah sendiri, yang tertuang dalam Al-Qur’an.

Keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah didasarkan pada firman Allah sendiri. Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an, yang merupakan perkataan Allah, yang mengatakan hal tersebut. Al-Qur’an diturunkan agar menjadi petunjuk bagi umat islam. Setiap umat islam wajib mengikuti apa yang dikatakan dalam Al-Qur’an. Untuk kemudahan ini maka sengaja Allah mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan (QS al-Qamar: 17). Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah kitab yang sudah jelas dan mudah dipahami.

Berangkat dari keyakinan umat islam ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan merupakan perkataan Allah. Apa yang tertulis di atas, kecuali yang ada dalam tanda kurung, merupakan kata-kata Allah sendiri yang disampaikan kepada Muhammad. Kutipan di atas hanya terdiri dari 3 kalimat, yang digabung menjadi 1 kalimat majemuk. Sekalipun Al-Qur’an merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Muhammad, namun dalam kutipan di atas sepertinya konteksnya bukan dalam arti pembicaraan antara 2 orang teman. Patut diduga bahwa Allah sebenarnya ingin bicara sesuatu dengan umat islam, tapi hal itu disampaikan melalui Muhammad. Karena itulah, kata “kamu” dalam kutipan di atas diberi penjelasan dalam tanda kurung sebagai umat islam atau “muslimin”. Jika konteksnya adalah pembicaraan antara teman, maka kata “kamu” dalam kutipan di atas akan diberi keterangan sebagai Muhammad sebagaimana banyak ditemukan dalam Al-Qur’an (misalnya, QS al-Baqarah: 96).

Dalam kutipan di atas, Allah menggunakan kata “mereka” sebanyak 4 kali dengan 5 kata kerja yang mengikutinya. Pertama-tama, siapa yang dimaksud dengan “mereka” ini? Pertanyaan ini sangat sulit untuk dipahami. Tiga ayat sebelumnya sama sekali tidak dapat memberikan jawaban. Ayat 72 – 74 sama sekali tidak memuat kata “mereka” atau pun kata yang bisa dijadikan rujukan untuk penjelasan kata “mereka”. Baru di 5 ayat sebelumnya kita dapat menemukan penjelasan. Ayat 67 – 71 berisi wahyu Allah dalam konteks kisah nabi Musa. Dalam 5 ayat ini terdapat beberapa kata “mereka”, dan kata ini merujuk pada orang Israel pada masa Musa.

Apakah yang dimaksud kata “mereka” dalam kutipan di atas (ayat 75) adalah orang Israel pada masa Musa? Tentulah hal ini tidak langsung menyelesaikan persoalan. Jika kata “mereka” dalam kutipan di atas adalah orang Israel pada masa Musa, bagaimana hal tersebut dikaitkan dengan kata “muslimin” sebagai penjelasan kata “kamu”? Hal ini berarti kaum muslimin sudah ada sejak jaman Musa. Atau  dengan perkataan lain, yang dimaksud umat islam (kaum muslimin) adalah orang Israel, atau juga sebaliknya. Tentulah sangat membingungkan, dan ini jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas.

Kita bisa mengatakan bahwa kutipan ayat di atas merupakan awal wahyu baru, yang tidak ada kaitan langsung dengan ayat-ayat sebelumnya. Namun, tentulah sangat mengherankan bila pada awal baru ini Allah menggunakan kata “mereka” tanpa ada kejelasan. Dalam tata bahasa, kata ini dikenal sebagai kata ganti orang. Karena fungsinya sebagai pengganti, maka haruslah sebelumnya sudah ada kata yang akan diterangkan oleh kata ganti tersebut. Hanya sayangnya, hal ini tidak tampak. Jika memperhatikan ayat-ayat sesudahnya, kata “mereka” dalam kutipan wahyu Allah di atas tetap tidak jelas. Memang dalam ayat 76, 77, 78, dst terdapat juga kata “mereka”, namun tetap tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan “mereka” itu?

Berhadapan dengan kebingungan dan kekacauan ini, umat islam dewasa kini menafsirkan kata “mereka” ini dengan kaum Yahudi yang ada di Madinah. Kebetulan wahyu ini turunnya di sana, dan orang Yahudi pun ada. Hal ini tampak dalam catatan kaki no. 35 pada “Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006”. Di sana dikatakan, “Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi di Madinah yang mengubah-ubah isi Taurat, terutama mengenai nabi Muhammad saw.” Apa yang ditulis dalam catatan kaki no. 35, kembali dipertegas dalam catatan kaki no. 36, yang mengatakan bahwa sebenarnya dalam Kitab Taurat sudah dinubuatkan soal kedatangan Muhammad sebagai nabi terakhir, namun orang Yahudi menyembunyikannya, karena takut akan menjadi bumerang bagi mereka.

Tafsiran ini memang masuk akal. Dan kebetulan kata “mereka” dalam ayat-ayat sesudahnya pun sangat pas bila dimaknai dengan orang Yahudi. Apalagi orang Yahudi ada di Madinah. Sekalipun masuk akal, pemaknaan kata “mereka” sebagai orang Yahudi masih terasa janggal. Jika ayat 75 ini merupakan awal wahyu baru, yang terpisah dan berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya, kenapa Allah tidak langsung memakai kata “orang Yahudi”, sehingga bisa menjelaskan kata ganti “mereka” pada ayat-ayat berikutnya?

Kita tinggalkan dulu kekacauan logika bahasa wahyu Allah ini. Sekarang kita lihat maksud dan pesan dari wahyu Allah ini. Seperti yang sudah dikatakan, kutipan ayat di atas terdiri dari 3 kalimat, yang menjadi 1 kalimat majemuk. Kalimat pertama berisi pertanyaan retoris, dimana kaum muslimin sangat mengharapkan orang Yahudi akan percaya kepada kaum muslimin. Dua kalimat berikutnya bisa dilihat sebagai jawaban dari pertayaan retoris tadi. Intinya adalah ada orang Yahudi yang telah mendengar firman Allah, sehingga mereka tahu dan paham, akan tetapi mereka mengubahnya. Jika dua kalimat terakhir dikaitkan dengan kalimat pertama, maka kita bisa mengetahui maknanya, yaitu orang islam jangan berharap bahwa orang Yahudi akan percaya pada islam, karena mereka telah mengubah isi firman Allah.

Jika membaca kutipan teks di atas, yang diubah orang Yahudi adalah firman Allah. Menjadi pertanyaan, firman Allah yang mana dan yang dimana telah diubah? Berhubung ayat 75 ini sama sekali tidak ada kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, maka jawaban atas pertanyaan itu tidak ada di sana. Dan ternyata pada ayat-ayat berikutnya juga tidak jelas dan tegas dikatakan. Memang pada ayat 78 ada kata “Kitab” yang diberi keterangan sebagai Taurat, namun kata itu sama sekali tidak menjelaskan, baik langsung maupun tidak langsung, soal pengubahan firman Allah itu. Kitab Taurat yang ada dalam ayat 78 sama sekali tidak punya korelasi dengan firman Allah yang telah diubah, yang terdapat dalam ayat 75.

Sekali lagi terdapat ketidak-jelasan wahyu Allah, sekalipun Allah telah mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang jelas. Kejelasan wahyu Allah ini baru ditemukan pada tafsiran umat islam kemudian. Artinya, wahyu Allah di atas, pada dirinya sendiri, adalah tidak jelas; baru menjadi jelas setelah ada tafsiran. Yang menarik adalah bahwa tafsiran itu bukan atas kata-kata yang ada, tetapi langsung mengarah pada isinya. “Firman Allah” yang dimaksud adalah Kitab Taurat, dan yang diubah adalah ramalan kedatangan Muhammad. Bagaimana tafsiran atas wahyu Allah tersebut?

Jadi, umumnya umat islam menafsirkan bahwa kehadiran nabi Muhammad sudah tertulis dalam Kitab Taurat. Ada kesan bahwa orang islam mau mengikuti tradisi orang Yahudi dan Kristen tentang kedatangan tokoh penting yang telah diramalkan. Namun sayangnya, nubuat tentang Muhammad itu telah diubah, oleh orang Yahudi. Hal inilah yang kemudian membuat Allah meminta umat islam tak usah berharap orang Yahudi akan percaya pada islam. Tafsiran atas ayat 75 ini tampak dalam catatan kaki no. 35 “Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006”. Lantas, apakah tafsiran demikiran sudah jelas, dan apakah benar?

Jika menggunakan akal sehat, maka sangat terasa bahwa tafsiran tersebut tidak masuk akal. Dan jika menggunakan studi banding, maka dapat dikatakan tafsiran tersebut tidak benar.

Yang pertama-tama membuat tafsiran tersebut jadi kacau adalah tidak adanya jawaban atas pertanyaan firman Allah yang dimana telah diubah. Jika mengacu pada Kitab Taurat, kitab yang mana? Umumnya orang Yahudi dan Nasrani memahami Kitab Taurat itu terdiri dari Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Akan tetapi, tak ada satu orang islam pun yang bisa menyebutkan di kitab mana telah dikatakan tentang kehadiran Muhammad, yang kemudian diubah. Menghadapai pertanyaan ini biasanya umat islam akan mengatakan, tentulah sekarang tidak bisa menemukan lagi karena kitab tersebut sudah diubah. Pertanyaan lanjut adalah, jika memang telah diubah, dan Allah tahu hal itu, kenapa Allah tidak langsung menyebutnya dalam wahyu-Nya? Hal ini hanya akan menimbulkan kesan Allah hanya bisa menuduh tanpa bisa membuktikan.

Satu hal yang menarik untuk dicermati dari wahyu di atas adalah tafsiran umat islam bahwa alasan orang Yahudi mengubah firman Allah itu. Sebagaimana yang tertulis dalam catatan kaki no. 36, dikatakan bahwa alasan orang Yahudi mengubah firman Allah itu adalah karena takut akan menjadi bumerang bagi mereka. Apa yang dimaksud jadi “bumerang”? Apakah kehadiran Muhammad berarti mengubah iman dan sejarah keselamatan? Nyatanya, tak ada satu orang Yahudi pun yang masuk islam hanya karena soal kebenaran nubuat kehadiran Muhammad dalam Kitab Taurat. Malah, jika memang tafsiran inilah yang dimaksud Allah dalam wahyu-Nya itu, orang Yahudi langsung menolak kenabian Muhammad, bukan lantaran telah mengetahui firman Allah. Orang Yahudi, seperti juga orang Nasrani, sudah punya standar kriteria untuk menilai seseorang sebagai nabi, dimana kriteria itu tidak sesuai dengan Muhammad. Jadi, tudingan umat islam soal “bumerang” sama sekali tidak beralasan dan tak masuk akal. Justru wahyu di atas dapat menjadi “bumerang” bagi umat islam sendiri.

Dewasa ini, ada sekelompok umat islam tidak lagi menggunakan “Kitab Taurat” sebagai yang dimaksud firman Allah dalam kutipan di atas. Mungkin karena mereka tidak menemukannya setelah melakukan penelitian panjang. Untuk menjawab firman Allah yang mana dan dimana yang telah diubah, mereka akhirnya menafsirkan “firman Allah” itu pada janji Yesus akan kedatangan Roh Kudus yang ada dalam Yohanes 14: 15 – 31. Tentulah, dengan tafsiran ini kata “mereka” juga dimaknai sebagai orang Nasrani di Madinah. Tafsiran ini seakan diperkuat lewat temuan injil Barnabas. Akan tetapi, tafsiran ini masih menyisakan persoalan. Menafsirkan Roh Kudus sebagai Muhammad tentulah tidak sejalan dengan perkataan Yesus lainnya yang masih terkait dengan Roh Kudus itu. Sementara itu, injil Barnabas sendiri sudah terbukti tidak asli, dan mengakui injil ini berarti melawan Al-Qur’an, karena beberapa ayat dalam injil ini tidak sesuai dengan wahyu Allah.

Perlu diketahui juga bahwa kitab suci orang Yahudi dan Nasrani, selain berisi pengajaran moral kebaikan, juga merupakan kisah perjalanan keselamatan yang berawal dari bangsa Israel. Sudah dari awal ditetapkan bahwa bangsa Israel adalah pilihan Allah. Sekalipun ada bangsa-bangsa lain dikisahkan dalam kitab suci ini, semua itu dalam kaitan dengan bangsa Israel. Dan bagi umat Nasrani, kitab sucinya itu merupakan kisah sejarah keselamatan Allah bagi umat manusia yang berpuncak pada Yesus Kristus. Karena itu, menampilkan Muhammad, yang adalah orang Arab, jelas-jelas jauh api dari panggang.

Dari uraian-uraian di atas, kita dapat menemukan beberapa poin penting sebagai kesimpulan. Dapat dikatakan bahwa kesimpulan ini seakan menjelaskan makna “bumerang” bagi umat islam.

1.    Kutipan di atas merupakan bentuk fitnah Allah terhadap orang Yahudi atau juga orang Nasrani. Fitnah bisa dimaknai sebagai menuduh tanpa bukti. Menjadi menarik, kata “fitnah” ini mempunyai konotasi negatif sehingga harus dihindari. Tapi, kenapa Allah justru melakukannya? Pada QS al-Baqarah: 193, Allah ingin agar tidak ada lagi fitnah, namun fitnah yang hanya ditujukan pada kaum muslim (dan juga Allah) saja. Untuk fitnah kepada orang non muslim diperbolehkan. Allah macam apa ini?

2.    Dari kutipan wahyu di atas, bisa dikatakan kalau Allah itu pembohong. Kata “bohong” bisa dimaknai sebagai mengatakan yang tidak benar. Sama seperti kata “fitnah”, berbohong juga selalu dinilai sebagai perbuatan yang tidak baik sehingga harus dihindari. Tapi, kenapa Allah justru melakukannya? Jika menelaah ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan ini, satu kesimpulan didapat adalah bahwa memang Allah itu pembohong. Allah sendiri mengakui hal tersebut. QS an-Nisa ayat 142 berisi pengakuan Allah bahwa diri-Nya adalah penipu. Sungguh menyedihkan Allah yang demikian.

3.    Kutipan wahyu di atas hendak menunjukkan superioritas dan arogansi islam atas agama lain. Umat islam menggunakan wahyu Allah ini, sekalipun itu fitnah, sebagai dasar untuk mengatakan kitab suci agama lain sudah palsu atau tidak asli lagi. Coba seandainya fitnah itu ditujukan kepada Al-Qur’an. Sudah dapat dipastikan umat islam akan marah. Ini mau memperlihatkan tidak adanya toleransi dalam islam. Superioritas dan arogansi saja sudah bertentangan dengan spirit toleransi. Karena itu, bila ada umat islam mengatakan agamanya adalah toleran, itu hanyalah retorika belaka.

4.    Tafsiran atas wahyu di atas mau menunjukkan bahwa Allah memerlukan dukungan dari agama lain atas kenabian Muhammad. Sepertinya Allah kurang percaya diri dengan wahyu-Nya sendiri untuk menjelaskan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Allah masih membutuhkan pengakuan dari agama lain, entah itu lewat kitab sucinya maupun dari mulut umatnya. Dan ketika itu tidak didapat, Allah kecewa dan melontarkan fitnah. Hal ini menimbulkan kesan Allah sibuk mencampuri urusan orang lain, dan ini seakan menjadi spirit umat islam.

Lingga, 1 Juni 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar