Kamis, 12 November 2020

PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN: DULU DAN SEKARANG


Kaul kemiskinan merupakan satu dari tiga kaul yang diucapkan oleh mereka yang ditahbiskan menjadi imam serta mereka yang mengikatkan dirinya pada suatu Lembaga Hidup Bakti. Umumnya istilah “kaul” lebih sering digunakan untuk biarawan dan biarawati, yang masuk dalam Lembaga Hidup Bakti, sedangkan istilah janji dipakai untuk imam non Lembaga Hidup Bakti atau imam diosesan. Dalam tulisan permenungan ini istilah yang dipakai cuma “kaul” saja. Dengan penyebutan atau penulisan kata “kaul” berarti termaksud juga istilah “janji”.

Di atas sudah dikatakan bahwa kaul kemiskinan ini merupakan salah satu dari tiga kaul. Ketiga kaul itu adalah kemiskinan, kemurnian (selibat) dan ketaatan. Ketiga kaul ini termasuk tiga nasehat Injil, dengan catatan dilakukan demi kerajaan Allah. Tiga nasehat Injil ini didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan dan dianjurkan oleh para Rasul, para Bapa-bapa Gereja. Maka nasehat-nasehat itu merupakan kurnia ilahi, yang oleh Gereja diterima dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat-Nya demi tercapainya cinta kasih sempurna. (Lumen Gentium no 43, Perfectae Caritatis no 1).

Memang dewasa ini tiga nasehat Injil ini identik dengan kaum religius dan para imam (klerikus). Namun bukan berarti bahwa ketiga nasehat Injil ini hanya khusus untuk mereka. Umat beriman kristiani juga wajib menghayatinya (bdk. LG, no 44). Malah bisa dikatakan bahwa penghayatan nasehat-nasehat Injil sebagai wujud mengikuti Kristus muncul pertama kali dalam diri kaum awam (bdk. PC no 1). Namun, baik awam maupun bukan, Lumen Gentium menasehati agar “setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasehat-nasehat Injil sungguh-sungguh berusaha, supaya ia bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah, demi makin suburnya kesudian Gereja, supaya makin dimuliakanlah Tritunggal yang satu tak terbagi, yang dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus menjadi sumber dan asal segala kesucian.” (no. 47).

Dalam permenungan ini kita hanya fokus melihat kaul kemiskinan. Di sini saya ingin membagikan sedikit permenungan tentang “perjalanan” kaul kemiskinan itu. Dikatakan “perjalanan” karena ada perubahan dalam penghayatan kaul tersebut dulu dan kini. Uraian ini murni sebuah permenungan, bukan ulasan sejarah. Bukanlah maksud saya untuk mencela atau menyalahkan penghayatan kaul kemiskinan dewasa ini. Dan bukan juga tujuan saya untuk mencari pembenaran atas penghayatan kaul kemiskinan ini. Benar salahnya penghayatan kaul ini berpulang pada masing-masing individu.

Kaul Kemiskinan: Dulu dan Kini

Dulu, ketika pertama kali diterapkan, orang yang mengucapkan atau menghayati kaul kemiskinan benar-benar miskin. Kita bisa lihat dalam sosok Petrus Valdus, Fransiskus Asisi yang diikuti kelompok Fraticelli, salah satu cabang Ordo Fransiskan (lih. Eddy Kristiyanto, OFM, Selilit Sang Nabi, 2007: 12, 109). Mereka menggantungkan hidupnya pada belas kasih Allah, baik langsung maupun dalam diri sesamanya. Karena itu, mereka yang berkaul kemiskinan umumnya tidak memiliki apa-apa.

Dalam perkembangan berikutnya, kaul kemiskinan ini berubah makna menjadi kaul kesederhanaan. Kaul yang diucapkan atau diikrarkan adalah kemiskinan, namun penghayatannya adalah kesederhanaan. Orang yang mengikrarkan kaul kemiskinan ini masih diperkenankan memiliki barang atau harta kekayaan asal jangan sampai menyamai atau melebihi umat awam yang dilayaninya.  Misalnya, kalau umat di wilayah paroki banyak yang mempunyai mobil, maka imam atau biarawan dan biarawati yang ada di wilayah paroki itu cukuplah dengan memiliki motor dengan nilai yang tidak mengalahkan nilai nominal mobil umat. Kalau umat umumnya punya parabola, maka kaum klerikus dan biarawan/wati cukup dengan antena biasa saja. Di situlah letak penghayatan kaul kemiskinannnya.

Dalam perjalanan sejarah kemudian kaul kemiskinan (kesederhanaan) ini mengalami pergeseran nilai. Orang yang mengucapkan kaul kemiskinan ini tidak lagi menekankan “miskin” atau “sederhana”-nya, melainkan pada “ketidakbergantungan”. Artinya, orang boleh saja punya mobil, HP super canggih dan barang-barang elektronik lainnya yang super canggih dan super mahal, yang penting hatinya tidak bergantung pada benda/materi itu. Tak peduli apakah umat sudah memilikinya atau belum. Jadi, pada titik ini seorang imam, bruder dan suster sah-sah saja memiliki Blackberry canggih dan mahal meski umatnya masih pakai HP biasa; wajar-wajar saja kalau melihat seorang imam memegang sebuah tablet meski umatnya masih memakai komputer PC. Kalau ditanya kenapa punya barang-barang itu padahal mengikrarkan kaul kemiskinan, dengan santai pasti dijawab, “Yang penting tidak bergantung dan tergantung pada barang tersebut.” Dan inilah yang terjadi dewasa kini.

Penutup

Dalam dokumen resmi Gereja dikatakan bahwa sejak awal mula Gereja mengamalkan nasehat-nasehat Injil dengan maksud mengikuti Kristus secara lebih bebas, dan meneladan-Nya dengan lebih setia. Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah. Di antara mereka banyaklah yang atas dorongan Roh Kudus hidup menyendiri atau mendirikan biara (bdk PC no 1). Artinya, tiga nasehat Injil itu merupakan bagian dari hidup Yesus yang memesona orang sehingga mereka pun menerapkannya dalam hidupnya.

Dalam perjalanan sejarah manusia muncullah manusia-manusia dengan tingkat peniruan yang nyaris sempurna. Mereka benar-benar menghayati nasehat Injil itu. Dan waktu itu giliran mereka yang menjadi contoh. Pada mereka orang menemukan teladan Kristus. Karena itu banyak orang menjadi tertarik dengan gaya hidup mereka. Kita kenal Santo Norbertus, yang diperingati tiap 6 Juni. Hidupnya yang miskin, saleh dan bersemangat rasul itu menarik banyak murid kepadanya (Mgr. Nicolaas M Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, 2008: 282).

Bagaimana dengan masa kini? Apakah anak-anak muda merasa tertarik menjadi imam, suster dan bruder karena “kemiskinan”-nya atau “gaya” hidup miskinnya?

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar