Jumat, 21 Agustus 2020

TAK ADA TOLERANSI DALAM ISLAM

Manusia adalah makhluk sosial. Kesosialan itu membuat manusia hidup berdampingan dengan orang lain. Satu fakta tak bisa ditolak adalah tak ada manusia hidup seorang diri di suatu tempat. Kesosialan itu juga mau menunjukkan bahwa manusia itu beragam, baik dari segi jenis kelamin, warna kulit, suku, status sosial maupun agama. Setiap manusia berbeda.
Perbedaan antar manusia hanya sebatas membedakan, bukan memisahkan. Manusia tetap sebagai makhluk sosial; dan kesosialan itu membuat dia tetap hidup berteman dengan perbedaan tadi. Pertemanan dalam perbedaan dapat terwujud jika tiap-tiap orang memiliki sikap hormat satu sama lain. Menghormati seseorang berarti juga menghormati totalitas dirinya, yang karena totalitas itu dia berbeda dari kita. Jadi, menghormati seseorang sekaligus juga menghormati perbedaan. Dengan menghormati perbedaan bukan lantas berarti kita sama dengan dia.
Apakah islam mempunyai tradisi menghormati perbedaan dengan orang lain? Perbedaan di sini hanya sebatas perbedaan agama, bukan lainnya. Karena jika antar sesama islam, umat islam sungguh memiliki sikap menghormati. Suku, warna kulit, ras, antar golongan telah disatukan oleh islam. KH Zainuddin MZ pernah berkata bahwa umat islam itu seperti lebah. Jika salah satu bagian sarang lebah diganggu, maka semua lebah akan ngamuk. Hal senada diungkapkan Sayyid Mahmoud al-Qimni, “Jika identitas Mesir berdasarkan pada Arabia dan persekutuan islamiah, maka orang muslim Mesir lebih merasa bersaudara dengan muslim Bosnia dibandingkan dengan orang Mesir Kristen Koptik. Dengan begitu, mencurahkan darah orang Mesir Koptik dianggap halal, dan orang Mesir Kristen ini dibunuh karena apa yang terjadi terhadap Muslim di Bosnia dan Hursik.”

Akan tetapi, tidaklah demikian terhadap manusia dari agama lain. Dalam banyak kasus umat islam tidak bisa menerima perbedaan dengannya. Sebagai contoh soal mengkafirkan orang lain. Sepertinya hanya islam yang mengkafirkan agama lain lantaran tidak mengakui Al-Qur’an sebagai kitab suci dan Muhammad sebagai rasul/nabi. Di sini terlihat bahwa islam tidak mau menghormati dan menghargai perbedaan; bahwa ada orang dari agama lain yang berbeda pendapat dengannya. Islam mau memaksakan kehendaknya, yaitu agar orang lain mau mengakui Al-Qur’an sebagai kitab suci dan Muhammad sebagai rasul/nabi.
Umat islam umumnya dapat dilihat sebagai orang yang kaku. Mereka selalu melihat positif ke dalam tapi negatif ke luar. Kehidupan dilihat seperti hitam dan putih, dan merekalah yang putih. Kalau tidak sejalan dengan mereka, maka itu bisa dipastikan hitam alias buruk, dan harus dimusnahkan. Mungkin hal ini didasarkan pada pendapat bahwa dunia ini hanya dibedakan islam dan kafir, dimana kekafiran harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya (bdk. QS al-Anfal: 7) sehingga hanya tinggal islam saja (bdk. QS Ali Imran: 17).
Sering islam moderat menyangkal kalau Allah SWT hanya menghendaki islam saja. Biasanya mereka mendasarkan argumennya pada surah an-Nahl: 93, yang sayangnya hanya dikutip sebagian saja, alias tidak utuh. Mereka mengatakan, “Jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja).” Dengan dasar ini umat islam menyatakan bahwa mereka mengakui adanya perbedaan, dan terhadap perbedaan itu islam selalu mengedepankan toleransi.
Argumentasi di atas sangatlah lemah. Setidaknya ada 2 alasan. Pertama, kalimat di atas tidak utuh dikutip. Kalimat tersebut belum diakhiri dengan titik, tetapi masih koma. Artinya, masih ada kelanjutannya. Kalimat utuhnya, sebagai wahyu Allah SWT, adalah sebagai berikut: “Jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” Dalam kalimat utuh ini terlihat jelas bahwa Allah memang menghendaki perbedaan, akan tetapi Allah juga yang menentukan mana yang disesatkan dan mana yang diselamatkan. Hal ini kemudian ditafsirkan bahwa yang disesatkan adalah golongan kafir, dan yang diberi petunjuk adalah umat islam. Karena itulah, sejalan dengan surah al-Anfal, orang kafir akan dimusnahkan sampai ke akar-akarnya, dan tempat mereka adalah neraka (bdk. QS al-Baqarah: 24 dan QS al-Maidah: 10).
Alasan kedua adalah prinsip pembatalan yang berlaku. Beberapa ahli Al-Qur’an mengatakan bahwa ada prinsip pembatalan wahyu Allah jika terjadi perbedaan atau pertentangan. Ayat yang turun kemudian membatalkan ayat terdahulu. Berdasarkan prinsip ini, kita dapat menilai nasib surah an-Nahl di atas, yang biasa dijadikan dasar argumentasi islam moderat. Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an dapat dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu surah Makkiyah dan surah Madaniah. Yang pertama adalah wahyu yang turun lebih dahulu. Surah an-Nahl masuk ke dalam kelompok surah Makkiyah.
Jadi, tak bisa disangkal lagi kalau umat islam memang selalu memandang hitam – putih kehidupan ini. Mereka putih, sedangkan lainnya adalah hitam. Putih selalu dikonotasikan dengan baik, dan hitam dimaknai dengan buruk. Karena itu, hitam harus disingkirkan, atau bila perlu dimusnahkan. Putih tidak bisa bercampur dengan hitam. Dengan kata lain, umat islam sudah diajarkan untuk tidak bisa menerima perbedaan. Karena itu, tidak ada sikap toleransi, sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Contoh paling mudah ditemui adalah saat pesta hajatan. Jika tuan pestanya non muslim, pasti akan ada dua hidangan menu, yaitu menu “nasional” dan menu islam. Dua menu ini harus tersaji pada dua meja terpisah. Di sini terlihat bahwa tuan pesta mau menghormati dan menghargai tamunya yang islam, sehingga menghidangkan hidangan khusus. Berbeda jika tuan pestanya orang islam. Yang ada hanya satu meja saja. Siapa pun mengambil hidangan dari meja yang satu dan sama. Hal ini sepertinya bahwa tuan pesta memaksakan kemauannya agar yang non islam harus ikuti kemauannya. Jika tuan pesta mau menghormati dan menghargai tamu yang non islam, bisa saja ia menghidangkan menu lain.
Lagi pula, kenapa harus ada perbedaan? Semestinya, sekalipun ada dua menu hidangan bisa saja disajikan pada satu meja. Biarkan saja orang mengambil sesuai selera dan kebutuhannya. Kalau yang islam merasa suatu hidangan itu haram, ya jangan diambil. Ambil saja yang halal. Akan tetapi, bisa dipastikan hal ini akan sangat sulit diterapkan, karena umat islam akan merasa tersinggung. Tidaklah demikian dengan yang non islam. Sekalipun tidak ada hidangan khusus buatnya, ia tidak merasa tersinggung. Ini sekali lagi bukti bahwa islam tidak bisa toleran.
Contoh lain bisa kita temui pada saat bulan ramadhan. Banyak rumah makan, warung atau kedai yang menyajikan makanan harus ditutup dengan kain; tempat-tempat hiburan harus ditutup pada jam-jam tertentu. Tujuannya supaya umat non islam menghormati dan menghargai umat islam yang sedang menjalani ibadah puasa. Tak pernah terpikirkan bahwa umat non islam butuh makan dan juga hiburan. Ada kesan bahwa umat non islam yang tidak berpuasa “dipaksa” untuk berpuasa juga. Dimana letak toleransinya? Dimana letak menghormati dan menghargai perbedaan?
Masih banyak contoh yang bisa diungkapkan. Terlihat jelas bahwa islam suka memaksakan kehendaknya, tidak mau menerima perbedaan. Padahal inti dari toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai perbedaan. Memang umat islam akan membantah hal ini dengan dalil QS al-Kafirun: 6. Akan tetapi, tak jarang dalil ini tinggal dalil sehingga muncul sarkasme berikut ini: “Untukmu, agamamu; Untukku, agamaku. Tapi kamu harus ikut peraturan agamaku.”
Dabo Singkep, 5 Juli 2020
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar