Minggu, 24 Mei 2020

BELAJAR KASIH DARI MARTIN LUTHER KING JR

Bukan menjadi rahasia lagi kalau Amerika Serikat dulu pernah dilanda semangat rasialis. Pengagung-agungan ras kulit putih melahirkan diskriminasi terhadap ras lain, secara khusus orang-orang dari ras Afrika. Sekalipun mengaku beragama kristiani, namun spirit kekristenan luntur oleh kebencian rasial. Kebencian mengalahkan cinta kasih yang menjadi identitas pengikut Kristus. Yesus telah menegaskan bahwa orang yang melaksanakan kasih, yang merupakan hukum utama (Mat 22: 34 – 40), adalah murid-Nya (bdk. Yoh 13: 35).
Di tengah kekerasan rasialis pada pertengahan abad 20, muncullah seorang murid Kristus, yang tidak hanya melaksanakan kasih tetapi juga mengingatkan saudara-saudarinya untuk menyadari identitas kristiani mereka. Orang itu bernama Martin Luther King Jr. Dia ibarat pelita di tengah kegelapan kebencian dan kejahatan. Martin telah menampilkan dirinya sebagai terang dunia, sebagaimana yang pernah diminta Yesus kepada para murid-Nya (bdk. Mat 5: 14). Dengan menyadarkan orang akan identitasnya sebagai orang kristen, Martin berusaha untuk menyalakan api kasih di dalam hati mereka. Martin berupaya agar mereka juga menjadi terang dan berusaha agar terang yang ada pada mereka itu “jangan menjadi kegelapan.” (Luk 11: 35).
Martin Luther King Jr dilahirkan di Atlanta, Amerika Serikat, pada 15 Januari 1929. Dia adalah seorang pendeta dari Gereja baptis. Pada masa kekacauan rasial (tahun 1954 – 1968), Martin tampil sebagai juru bicara dan pemimpin gerakan hak sipil. Terinspirasi gerakan “perlawanan tanpa kekerasan” dari Mahatma Gandhi, Martin berusaha mengajak orang untuk kembali kepada ajaran Kristus, yaitu kasih. Karena perjuangannya, Martin akhirnya dibunuh. Dia meninggal pada 4 April 1968 di Memphis.
Berikut ini adalah kutipan kotbah Martin Luther King Jr, yang disampaikan di Dexter Avenue Baptist Church, Montgomery, Alabama pada 17 November 1957. Kutipan ini diambil dari Seruan Apostolik Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, no. 118.
“Orang yang paling membencimu memiliki sejumlah kebaikan di dalam dirinya; dan juga bangsa yang paling membencimu mempunyai sejumlah kebaikan di dalamnya; juga ras yang paling membencimu memiliki sejumlah kebaikan di dalamnya. dan manakala engkau sampai pada titik memandang wajah setiap orang dan melihat jauh ke dalam dirinya apa yang oleh agama disebut sebagai ‘gambar Allah’, engkau mulai mengasihinya tanpa memandang segala hal. Tidak peduli apa yang ia lakukan, engkau melihat gambar Allah di sana. Ada unsur kebaikan yang tidak akan pernah dapat dihilangkan.
Cara lain mengasihi musuhmu adalah demikian: manakala muncul kesempatan untuk mengalahkan lawanmu, itulah waktunya engkau memutuskan untuk tidak melakukannya... Manakala engkau naik ke tingkat kasih, ke tingkat keindahan dan kekuatannya yang besar, satu-satunya hal yang engkau upayakan adalah mengalahkan sistem yang jahat. Engkau mengasihi orang-orang yang terperangkap dalam sistem itu, tetapi engkau berupaya untuk mengalahkan sistem itu...
Kebencian ganti kebencian hanya meningkatkan kehadiran kebencian dan kejahatan di alam ini. Bila saya memukulmu dan engkau memukul saya, dan saya membalas memukulmu dan engkau membalas memukul saya, dan demikian seterusnya, tentu hal ini akan berlangsung terus menerus. Hal ini tidak akan pernah berakhir. Di suatu tempat seseorang harus mempunyai sedikit kesadaran, dan itulah dia orang yang kuat. Orang yang kuat adalah orang yang dapat memotong rantai kebencian, rantai kejahatan... orang harus memiliki iman dan moralitas yang cukup untuk memotongnya dan menyuntikkan ke dalam struktur alam unsur kasih yang kuat dan berkuasa.”
Dabo Singkep, 1 April 2020
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar