Minggu, 19 April 2020

CARA LAYAK MEMUSNAHKAN BENDA-BENDA ROHANI


Setiap orang katolik tentu mempunyai benda rohani. Yang dimaksud dengan benda rohani adalah benda yang mempunyai nilai rohani, yang telah diberkati oleh imam. Yang termasuk benda-benda rohani adalah Alkitab, Rosario, Salib, patung orang kudus, peralatan ibadat dan ekaristi, dan masih banyak lagi.
Sekalipun disebut benda rohani, bukan lantas berarti benda-benda tersebut bersifat kekal. Ia masihlah tetap barang duniawi. Dan karena termasuk barang duniawi, maka ada saatnya ia rusak. Menjadi persoalan, bagaimana menyikapi benda rohani yang sudah rusak. Apakah dibiarkan begitu saja sehingga menjadi “semak” di rumah?
Seorang OMK pernah bertanya soal Alkitabnya yang sudah kusam (pernah terendam karena banjir melanda). Dia merasa risih membawa dan menggunakan Alkitab tersebut dalam pertemuan kelompok. Memang dia sudah membeli Alkitab yang baru, namun Alkitab yang lama itu terasa menggangu “pemandangan”. Dia bingung mau diapakan Alkitab itu, karena dia sadar itu adalah Kitab Suci.
Seorang ibu rumah tangga juga pengalaman yang serupa terkait benda rohani. Kali ini masalahnya dengan Rosario. Ada begitu banyak Rosario rusak di kamarnya. Semua itu ulah anaknya yang masih balita. Anaknya sering memainkan-mainkan benda itu hingga putus dan rusak. Ibu ini juga mengalami kebingungan mau diapakan Rosario rusak itu. Dia takut membuangnya ke tempat sampah.

Demikian pula halnya dengan patung-patung orang kudus. Karena terbuat dari bahan yang mudah pecah, maka tak sedikit benda-benda tersebut rusak. Sebagai benda yang rusak, tentulah tidak akan dipakai lagi. Memperlakukannya sebagai sampah pun tak tega; tapi tak baik juga membiarkannya menumpuk di rumah.
Bagaimana cara memusnahkannya tanpa merasa bersalah?
Prinsip dasarnya adalah jika benda-benda rohani yang sudah diberkati ini rusak, maka cara yang layak untuk membuangnya adalah dengan dibakar atau dikuburkan. Sebab menurut Kitab Hukum Kanonik, benda-benda religius yang telah diberkati ini adalah untuk didedikasikan bagi penghormatan kepada Tuhan, sehingga harus diperlakukan dengan hormat dan tidak digunakan untuk kepentingan profan lainnya yang tidak layak (Kan. 1171).
Di sekitar tahun 1800-an, Kongregasi Suci untuk Ritus dan Tahta suci (sekarang dikenal dengan nama Kongregasi Suci untuk Sakramen dan Penyembahan ilahi) dan Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, mengeluarkan ketentuan yang beragam untuk urusan ini. Contohnya: Piala/sibori (yang dipakai untuk tempat tubuh dan darah Kristus) yang sudah tidak digunakan lagi, tidak untuk dijual, tetapi untuk digunakan untuk fungsi sakral lainnya atau untuk dilelehkan. Pakaian imam/ pakaian pelayan liturgi, taplak altar atau kain linen yang digunakan dalam kurban Ekaristi dihancurkan dengan dibakar, dan abunya dibuang di tanah. Air suci yang terkena kotoran/polusi ataupun kelebihan air suci dibuang di tanah. Daun palma dibakar, dan abunya dibagikan sebagai tanda pertobatan di hari Rabu Abu, atau sisanya dikembalikan ke tanah. Rosario yang putus/rusak, atau patung religius yang sudah rusak, umumnya dikuburkan. Di atas semua itu, idea dasarnya adalah, apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Allah, harus dikembalikan kepada Allah. Tidak sepantasnya kita membuang begitu saja, apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Tuhan.
diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar