Jumat, 17 Maret 2017

POST POWER SYNDROME

Beberapa kenalan menceritakan cerita sedihnya ketika “tidak menjabat lagi”. Salah seorang direktur di perusahaan multinasional ternama dihampiri petugas keamanan ketika memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Petugas menyatakan bahwa tempat parkir tersebut diperuntukkan direktur yang baru, dan beliau dipersilahkan menggunakan tempat parkir umum.
Teman lain, yang merasa sudah menyiapkan suksesor dan rajin mementornya, terkejut ketika anak didiknya menolak diawasi setelah menduduki jabatannya. Hal-hal ini tentu menyakitkan hati, apalagi bila kita tidak bersiap mengantisipasinya. Di situasi lain, ada orang yang sudah diperlakukan baik-baik, dengan program pensiun yang jelas, tetap uring-uringan dan merasa tidak nyaman secara berkepanjangan. Kita, yang tidak merasakan situasi ini bisa dengan mudah menertawakan sang individu dan tidak bisa mengerti mengapa yang bersangkutan seolah-olah tidak rela melepas jabatannya itu. Jelas ini adalah gejala psikologis karena dalam hal ini kita tidak mengaitkannya dengan berkurangnya penghasilan.
Beberapa orang tampak sangat siap untuk menjalani kehidupan barunya selepas menjabat. Seperti halnya mantan wakil presiden AS, Joe Biden, yang naik kereta umum kembali ke kotanya, dengan sikap relaks. Orang-orang seperti ini tampak tidak menderita secara fisik, mental dan sosial. Sementara beberapa lainnya tampak berusaha menggapai-gapai status sosial yang dulu pernah ditempatinya.
Situasinya menjadi lebih buruk bila mereka mulai bersikap reaktif terhadap situasi sekitar. Kita tahu bahwa di Indonesia jabatan atau atau kedudukan berakhir di kisaran usia 60 tahun. Pada usia yang demikian, fisik manusia pada umumnya masih sehat. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh para senior ini? Apakah betul rasa tidak nyaman ini lazim dan tidak perlu kita tanggulangi. Bukankah kita semua akan menghadapi situasi seperti ini? Sudah siapkah kita?
Sudah Selesaikah Anda?
Orang yang mengalami kecemasan seusai jabatannya, lalu tidak bisa move on, seolah berpegang pada kejayaan masa lampau dan bereaksi menggangu, seperti marah-marah, tidak bisa mengukur situasi, cepat tersinggung, tidak bisa beradaptasi dengan situasi terkini, dan menyerang pendapat maupun kebijakan pengganti-penggantinya. Ada rasa tidak “selesai” ketika meninggalkan jabatannya.
Tidak selesai karena berarti ada proyek yang belum rampung, alias mangkrak, atau secara emosional, individu tidak bersiap untuk bergerak dari keadaan full power menjadi, mungkin, no power. Untuk orang-orang tertentu, hal ini bukanlah masalah besar. Namun, ada individu-individu yang tetap berpegang pada masa lalunya dan tidak bisa melepaskannya dengan legowo. Mengapa?
Individu yang pada masa jabatannya tidak pernah melakukan refleksi diri, terfokus pada prestasi, dan menggunakan banyak power untuk mencapainya, bisa-bisa lupa membuat langkah mundur. Amatlah penting untuk menghitung kapan masa jabatan selesai, apa yang sudah dipersiapkan ketika fasilitas dan kuasa tidak ada lagi, dan bagaimana meninggalkan legacy yang baik.
Power memang sering memabukkan dan rangkulannya susah dilepaskan. Individu seperti ini biasanya akan mengupayakan agar ia tetap memegang kendali di luar jabatannya, dan menyiapkan pengganti-penggantinya yang bisa ia kendalikan dari luar. Hal ini sering kita lihat pada dunia politik. Bila upaya ini dilakukan untuk meneruskan misi tertentu, tidak seharusnya individu berfokus pada power, tetapi ia sebaiknya berfokus pada misi organisasi, lembaga atau negaranya, dan mengupayakan agar para penerus bisa mengemban misi yang sama.
Menjalankan Misi
Sangatlah manusiawi bila kita merasa sedih apabila sebelumnya kita dielu-elukan lalu sekarang harus survive sendiri di lingkungan sosial. Selayaknya kita senantiasa mengingat bahwa jabatan dan pekerjaan hanyalah tugas yang dibebankan pada kita. Kita perlu menjaga nama baik dan meninggalkan karya-karya yang bisa dimanfaatkan penerus kita.
Prof.Sedyatmo, penemu fondasi cakar ayam, merupakan salah satu contoh individu yang tidak perlu berkoar-koar mengenai karyanya. Cukup dipakai saja. Mantan CEO Mandiri, Agus Martowardojo, mungkin tidak pernah menciptakan produk yang khas. Namun, keyakinan beliau bahwa yang beliau tinggalkan akan berjalan lancar, baik tim maupun daam bentuk sistem kerja, membuat beliau tidak perlu sering-sering menengok ke belakang dan mengulang-ulang apa yang terjadi di masa lalu.
Bagaimana bila kita memang tidak mempunyai kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang signifikan di pekerjaan kita? Kita bisa mengkaji dan menantang diri untuk menguatkan daya adaptasi kita karena setiap manusia dibekali akal budi untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan baru.
Kuatkan “Self Esteem”
Salah satu cara menguatkan diri kita dalam situasi yang tidak kondusif juga adalah menguatkan penghargaan kepada diri sendiri, alias self esteem. Berdasarkan teori Abraham Maslow, manusia yang semula mencari kepuasan fisik, rasa aman dan sosial pada saatnya akan mengarahkan dirinya kepada kebutuhan menghargai prestasi diri sendiri dan menikmatinya. Hal ini dikenal dengan istilah aktualisasi diri.
Orang-orang yang tidak sempat memikirkan penghargaan dirinya sendiri ini dan tetap berkutat pada materi serta kuasa, akan merasa lebih sakit bila situasi berubah. Upaya menguatkan esteem dapat dilakukan dengan memulai hobi baru atau bergerak di lembaga-lembaga sosial, atau keagamaan. Yang paling penting, individu bisa menemukan kebahagiaan lebih dari dalam dirinya. “The highest mode of corruption is the abuse of power,” kata Auliq Ice
Kompas, 11 Februari 2017, hlm 13
rewrited by: adrian
Baca juga tulisan lain:
Menghadapi Atasan yang Lebih Muda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar