Pernikahan katolik menjadi sah jika mengikuti tiga ketentuan,
yaitu (1) kedua calon mempelai bebas dari halangan; (2) adanya kesepakatan
nikah; dan (3) tata peneguhan nikah. Yang dimaksud tata peneguhan kanonik
adalah mereka yang akan menjadi saksi resmi, yaitu yang bertugas meneguhkan
pernikahan, dan saksi umum (dikenal dengan istilah saksi nikah). Jadi, orang
yang mau menikah secara katolik harus mengungkapkan kesepakatan nikahnya di
hadapan saksi resmi (uskup, imam, diakon) dan dua saksi.
Menyadari adanya kesulitan tertentu, terlebih pada pasangan
nikah beda agama dan beda Gereja, Gereja memberi keringanan. Orang bisa menikah
tanpa tata peneguhan kanonik. Artinya, orang katolik bisa menikahi orang
Hindu/Budha/Konghucu pakai cara Hindu/Budha/Konghucu, tanpa kehadiran
imam/diakon/uskup dan dua saksi. Dengan orang Protestan, selain bisa bebas dari
tata peneguhan kanonik, bisa juga dilangsungkan secara ekumenis, dimana petugas
katolik yang menanyai kesepakatannya.
Pembebasan dari tata peneguhan kanonik agak sulit diterapkan
bagi yang menikah dengan orang islam, karena orang yang menikah dengan orang
islam pakai cara islam harus masuk islam terlebih dahulu. Jadi, orang katolik
yang menikah dengan orang islam harus jadi mualaf dahulu baru bisa menikah sah.
Menjadi persoalan jika ia mau kembali lagi ke Gereja Katolik, karena di mata
orang islam dia telah murtad. Dan dalam hukum islam, orang murtad bisa dibunuh.
Agar bisa bebas dari tata peneguhan kanonik orang harus
meminta dispensasi pada Ordinaris Wilayah (uskup, vikjen dan vikep). Keringanan
ini diberikan Gereja demi membela iman pihak katolik dan menghormati iman pihak
lain. Ketidak-tahuan akan keringanan ini membuat banyak orang katolik “menjual”
imannya demi pernikahan. Karena itu, dengan mengetahui keringanan ini,
hendaknya umat katolik mau memanfaatkannya.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar