Istilah
pelakor atau perebut laki orang masih menggema di kalangan pasangan suami
istri. Tentu saja hal ini memicu retaknya rumah tangga seseorang dan menjadi
perhatian masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh psikolog, Sri Juwita
Kusumawardhani, MPsi, seorang wanita yang menjadi perebut suami orang biasanya dilatar-belakangi
oleh tekanan menikah yang tinggi dari pihak keluarga wanita tersebut.
“Bisa
jadi tekanan buat menikah itu tinggi, tapi pasar yang single-nya nggak ketemu. Nah, akhirnya memilih untuk ‘nakal’ atau
ganjen sama suami orang,” ungkap Juwita. Selain itu, perlu juga dilihat faktor
pendidikan dalam keluarga. Banyak orangtua menekankan kepada anaknya supaya
mendapatkan pasangan yang kaya. Demikian jelas Juwita. Kendati demikian,
menurut Juwita, hanya sedikit wanita yang menjalin hubungan di luar pernikahan,
masih banyak pula wanita yang masih berpikiran waras dan enggan melakukan
perselingkuhan.
Ada dua
akar penyebab semuanya ini. Pertama, paham
perkawinan. Orang melihat perkawinan itu sebagai suatu kewajiban. Hal ini
membuat orang menilai bahwa menginjak umur tertentu, seseorang HARUS menikah. Ketika
tidak juga kunjung datang calon, maka ‘terpaksa’lah suami orang diembat. Kedua, faktor ekonomi. Adanya tuntutan jaminan
ekonomi membuat wanita berusaha merebut suami orang.
Dapat
disimpulkan di sini bahwa kontrol diri seorang wanita perebut suami orang
sangat rendah sehingga ia akhirnya tidak memahami norma. Rendahnya kontrol diri
atau empati inilah yang membuat wanita merasa tega menjadi orang ketiga dalam
perkawinan orang lain. Setiap orang butuh empati yang tinggi dan juga olah rasa
untuk memperkuat kepedulian antar sesama agar kasus-kasus seperti ini tak makin
bertambah.
by: adrian dari sumber:
Detik Health
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar