Orang selalu bilang bahwa
tidak ada sekolah khusus yang mengajar atau mendidik orang untuk menjadi suami
istri atau ayah ibu. Hal ini disebabkan karena orang melihat sekolah secara
harafia, yaitu adanya gedung, kurikulum, guru dan proses belajar mengajar. Akan
tetapi, dalam pengertian umum, sebenarnya menikah itu sama artinya dengan
bersekolah. Keluarga adalah sekolahnya.
Memang pada sekolah khusus
ada guru yang mengajar, dan murid belajar. Namun ada kesamaan mendasar, yaitu
setiap pesertanya (murid di sekolah, dan suami istri di keluarga) dituntut
untuk BELAJAR. Dengan belajar orang akan mendapatkan tujuannya. Seorang murid
menjadi pintar dengan mendapat nilai bagus atau lulus ujian; suami istri
mendapatkan kesejahteraan bersama.
Proses belajar dalam
pernikahan dilakukan sendiri. Ini bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu membaca, baik buku-buku tentang
kehidupan keluarga, yang bisa ditemukan di toko buku, maupun kitab suci. Ada
banyak buku yang akan menuntun pada terciptanya kebahagiaan rumah tangga,
bagaimana merawat dan mendidik anak, bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga,
dan masih banyak lainnya. Kitab suci juga memuat pedoman bagi suami istri.
Semuanya tergantung pada kemauan untuk membaca.
Bisa juga ditempuh dengan bertanya kepada mereka yang sudah
berpengalaman. Pepatah mengatakan, ‘malu bertanya sesat di jalan’. Ketika
menikah orang hanya diliputi oleh romantisme pacaran dan idealisme. Masih ada
banyak hal yang belum diketahui. Karena itu, tidak salah jika bertanya kepada
yang berpengalaman. Hal ini bisa dilakukan secara gratis, bisa juga berbayar
(misalnya, konsultasi pada ahli keluarga).
Cara ketiga
adalah refleksi diri.
Refleksi itu ibarat bercermin. Ketika menemukan ada kekurangan dalam diri kita
di cermin, kita segera membenahinya. Kita sendirilah yang membenahinya.
Demikian pula dalam hidup keluarga. Jika ada yang kurang, langsung diberesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar