Minggu, 14 Juni 2015

Masalah Pendidikan Tidak Hanya Ijasah

Beberapa minggu terakhir ini masalah ijasah palsu Perguruan Tinggi sangat intens diberitakan, baik di media cetak maupun media elektronik. Memang masalah ini amat sangat memprihatinkan. Lembaga, yang seharusnya memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, justru malah menciptakan kebohongan. Karena itu, tuntutan penanganan yang segera menjadi suatu keharusan.
Yang patut disayangkan adalah kenapa baru sekarang kita merasa heboh dengan masalah ini. Padahal fenomena ijasah palsu sudah ada sekitar tiga – empat tahun lalu. Apakah karena menteri pendidikan yang sekarang tidak mau kongkalikong atau karena adanya persaingan, entah itu di internal atau juga di eksternal kementerian. Tapi, kita patut apresiasi atas keputusan beberapa menteri (menteri pendidikan tinggi dan menteri PAN) menyikapi kasus ijasah palsu ini.
Sebenarnya masalah pendidikan, terkait dengan soal kejujuran dan kebenaran, tidak hanya mengenai ijasah palsu. Masih ada masalah lain yang terkait, yang juga menuntut peran aktif dari kementerian, khususnya menteri pendidikan. Setidaknya ada dua kasus.
Pertama, jual beli skripsi. Dewasa ini banyak mahasiswa mendapatkan skripsinya dengan cara membeli atau meminta orang lain yang membuatnya. Sama seperti ijasah palsu, masalah ini pun sebenarnya bukanlah masalah baru. Praktek jual beli skripsi ini disinyalir sudah ada sejak 5 – 10 tahun lalu. Hal ini dapat dilihat dari layanan iklan jasa pembuatan atau pengetikan skripsi.
Lebih parah lagi, skripsi yang dijual merupakan skripsi dari mahasiswa lama. Misalnya skripsi mahasiswa tahun 1999. Karena kebetulan mahasiswa tahun 2015 membuat skripsi dengan tema yang sama, maka terjadilah transaksi jual beli skripsi. Penjual tinggal ganti nama dan nomor mahasiswanya, ubah sedikit judul dan ganti tahun pada cover skripsi.
Umumnya, yang menjual skripsi ini adalah pemilik layanan fotocopy, karena biasanya mereka memiliki arsip skripsi. Terjadinya seperti ini, ketika mahasiswa minta print dan jilidkan skripsi, mahasiswa datang dengan membawa flashdisk. Petugas fotocopy mengcopy file skripsi dari flashdisk ke komputernya; dan itu menjadi arsipnya. Hal ini dilakukan dengan mahasiswa lainnya. Jadi, jika dalam setahun ia melayani 10 mahasiswa, maka ia memiliki 10 file skripsi. Mungkin dia sudah punya aturan bahwa file skripsi yang boleh dijual adalah file skripsi yang sudah berusia di atas 5 tahun.
Menjamurnya praktek jual beli skripsi ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dosen penguji yang malas membaca dengan teliti dan mengkritisi skripsi mahasiswanya, sistem kontrol skripsi dari lembaga pendidikan yang lemah, dan mental instan di kalangan mahasiswa saat ini.
Kedua, mudahnya perizinan kampus. Dewasa ini ada begitu banyak sekolah tinggi, akademi dan perguruan tinggi. Ada kesan bahwa izin untuk menyelenggarakan perguruan tinggi ini sangat mudah. Dinas terkait tidak memperhatikan kelayakan suatu lembaga menjadi sekolah tinggi atau akademi. Misalnya, soal tenaga ahli atau dosen dan sarana prasarananya. Di suatu tempat ada banyak sekolah tinggi, tapi gedungnya masih sewa di ruko atau memakai/meminjam gedung SMA dan dosennya pun ala kadar.
Karena begitu mudahnya mendapatkan izin menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, maka kampus-kampus ini mulai berlomba-lomba menjaring mahasiswa. Dan dalam usaha menjaring mahasiswa ini, berbagai cara ditempuh. Salah satunya adalah kemudahan mendapatkan ijasah.
Menjamurnya sekolah-sekolah tinggi ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti lemahnya pengawasan dari dinas terkait dan banyaknya calon mahasiswa akibat tuntutan siswa SMA wajib lulus. Pengawasan yang lemah dari dinas terkait bukan hanya dalam urusan perizinan pendirian saja, melainkan juga jalannya proses perkuliahan.
Itulah dua kasus lain dari dunia pendidikan tinggi kita dewasa kini. Sama seperti kasus ijasah palsu, dua kasus ini pun membutuhkan penanganan yang serius oleh dinas pendidikan tinggi.
Pangkalpinang, 26 Mei 2015
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar