Kamis, 04 Juni 2015

Mari Kendalikan Emosi

MENJADI “TUAN” ATAS EMOSI SENDIRI
Emosi, yang dimengerti sebagai perasaan marah yang meledak-ledak, biasanya muncul ketika kita mendapat tekanan yang melampaui batas kesabaran. Misalnya, seorang ibu sedang sibuk memasak di dapur pada jam 11.00, sementara jadwal makan siang jam 12.00. Sebelumnya ia mendapat berita dari anaknya di kota untuk segera kirim uang sekolah, sementara tagihan listrik belum bayar. Saat sibuk di dapur, anaknya bungsu rewel terus menerus. Dapatlah dipastikan emosi ibu ini akan mudah atau segera meledak.
Tentulah di antara kita pernah mengalami situasi seperti ibu di atas, entah di rumah, tempat kerja ataupun dalam kehidupan masyarakat. Kita menghadapi banyak tekanan, baik yang berasal dari luar diri kita maupun dari dalam diri sendiri. Di saat kita tak bisa lagi menahan tekanan itu, maka amarah akan terlihat. Amarah yang meledak-ledak ini dapat hanya berupa umpatan kata-kata, bisa juga berwujud tindakan, baik yang terarah kepada obyek kemarahan ataupun obyek pelampiasan.
Emosi yang tidak terkendali bisa berbahaya bagi orang lain dan juga diri sendiri. Karena itu, sangat diharapkan agar kita memiliki kemampuan mengendalikan emosi. Dibutuhkan tingkat kematangan dan kecerdasan emosi. Jauh lebih baik bila kita mengendalikan emosi daripada emosi yang mengendalikan kita.
Ada banyak buku menawarkan cara mengendalikan emosi. Intinya adalah emosi itu penting namun musti dikelola dengan baik dan benar. Kemampuan mengelola emosi dapat membantu kita meningkatkan kecerdasan emosi. Ada dua aspek cara peningkatan kecerdasan emosi, yaitu aspek personal dan aspek sosial.
A.   Aspek Personal
Peningkatan kecerdasan emosi ini berpusat pada diri sendiri. Artinya, kita melatih kecerdasan emosional dengan berangkat dari diri kita sendiri. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, seperti:
1.    Kenali Munculnya Emosi
Langkah awal untuk menjadi cerdas secara emosional adalah dengan mengenal diri kita secara lebih baik. Sadari reaksi tubuh kita ketika kita mulai merasakan emosi tersebut. Misalnya, jantung yang berdebar lebih keras atau tangan yang berkeringat saat hendak marah. Selain itu, kita juga perlu mengenal kapan dan hal-hal apa saja yang memicu rasa amarah, terutama emosi-emosi negatif yang mungkin akan berpotensi merusak. Jika kita sudah mengenalnya, segeralah mengendalikannya; jangan biarkan gejala-gejala itu bermuara pada amarah.
2.    Beri Kesempatan Otak Berpikir
Bagaimana otak memroses emosi? Informasi yang ditangkap oleh panca indera kita diterima dan disalurkan ke dua channel, yaitu ke bagian pengaturan emosi (amygdale) dan bagian berpikir (neocortex). Menariknya, proses penyampaian informasi ke amygdale berlangsung lebih cepat daripada proses ke neocortex.
Ketika kita merasakan emosi yang sangat kuat, amygdale akan segera mengambil alih otak kita dan mengambil tindakan untuk kabur, berkelahi atau mematung. Akibatnya, neocortex tidak sempat bekerja dan kita dapat menilai informasi dengan rasional. Proses ini, oleh Daniel Goleman, diberi istilah “pembajakan amygdale”. Inilah alasannya kenapa seringkali kita menyesal melakukan tindakan atau mengambil keputusan di saat emosi kita sedang intens.
Karena itu, ketika kita berada dalam kondisi yang mungkin memicu emosi yang intens, berhentilah. Berilah waktu pada otak kita untuk berpikir. Salah satu teknik manajemen emosi menyatakan bahwa berhenti melakukan apapun selama 6 detik memberi waktu yang cukup untuk membuat amygdale berhenti membajak otak berpikir kita.
3.    Fokus pada Apa yang Dapat Kita Kontrol
Seringkali hal-hal yang menganggu kita adalah hal-hal yang sebenarnya berada di luar kontrol kita. Atasan yang pemarah, rekan kerja yang ceroboh, jalanan yang macet atau anak yang rewel. Kita sering berpikir bahwa kita harus mengubah situasi supaya kita bisa merasa lebih baik, nyatanya kita tidak bisa melakukannya.
Lantas apa yang dapat kita buat? Fokuslah pada apa yang dapat kita lakukan. Alih-alih menunggu atasan kita untuk berubah menjadi tidak pemarah lagi, kita bisa memfokuskan diri untuk mengatur mood kita atau mengerjakan pekerjaan kita sebaik mungkin. Jangan terbawa emosi amarah atasan kita. Jadilah pengatur bagi emosi kita sendiri, jangan biarkan pihak luar mengatur emosi kita.
B.   Aspek Sosial
Selain mampu mengelola emosi diri sendiri, kita perlu juga mengelola emosi dengan berangkat dari orang lain. Jadi, sumbernya ada di luar diri kita. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan, seperti:
1.    Dengarkan Emosi Orang Lain
Bila selama ini kita hanya mendengarkan kata-kata, marilah kita coba untuk memahami emosi di balik pesan yang ingin disampaikan. Memahami emosi ini dapat tertuju langsung kepada orang yang sedang marah kepada kita atau tidak langsung, dengan mendengar cerita dari orang lain. Memahami emosi secara langsung berarti kita tidak melihat amarah orang terhadap kita hanya sebatas amarahnya saja, melainkan berusaha memahami amarah tersebut. Memahami emosi secara tidak langsung dapat kita lakukan dengan lebih memperhatikan bahsa tubuh, ekspresi maupun nada suara orang yang bercerita pada kita.
2.    Kembangkan Empati
Empati adalah kemampuan kita untuk memahami apa yang diperkirakan, diinginkan dan dirasakan oleh orang lain. Bagaimana cara untuk melatih empati? Cobalah untuk mendengarkan orang lain dengan tujuan untuk memahaminya, bukan untuk sekedar menunggu giliran berbicara. Ya, sesederhana mencoba memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh rekan kita. Tanpa ada penilaian, anggapan-anggapan negatif maupun nasehat-nasehat yang mengurui
3.    Ingatlah untuk Terus Menabung di Rekening Emosi
Dalam bukunya 7 Habits for Highly Effective People, Steven Covey mengenalkan konsep rekening emosi. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita akan membuka rekening emosi kita padanya. Kalau kita berbuat baik pada rekan kita tersebut, rekening kita akan bertambah. Sebaliknya, jika kita melakukan hal-hal yang melukai hubungan kita, maka tabungan kita akan berkurang. Tantangannya, tidak seperti tabungan kita di bank yang ditentukan oleh kita kapan akan bertambah dan berkurang, jumlah tabungan emosi kita pada orang lain ditentukan oleh orang tersebut. Jadi, ingatlah bahwa kita memiliki tabungan emosi pada orang lain dan teruslah menabung karena kita tidak tahu kapan dan seberapa banyak akan berkurang.
Memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan memberikan manfaat bagi diri kita sendiri maupun orang lain yang berinteraksi dengan kita. Setiap orang mempunyai kecerdasan emosional yang bervariasi. Kabar baiknya, karena kecerdasan emosional adalah sebuah ketrampilan, ia dapat dilatih dan ditingkatkan. Kabar buruknya, butuh waktu yang lama untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita.
Oleh karena itu, marilah terus berlatih untuk bisa menjadi “tuan” bagi emosi kita  sendiri. Jangan biarkan diri kita dikendalikan emosi kita, karena dapat berbahaya bukan saja bagi diri kita sendiri melainkan juga bagi orang lain.
edited by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar