MENJADI “TUAN” ATAS EMOSI SENDIRI
Emosi, yang dimengerti
sebagai perasaan marah yang meledak-ledak, biasanya muncul ketika kita mendapat
tekanan yang melampaui batas kesabaran. Misalnya, seorang ibu sedang sibuk
memasak di dapur pada jam 11.00, sementara jadwal makan siang jam 12.00.
Sebelumnya ia mendapat berita dari anaknya di kota untuk segera kirim uang
sekolah, sementara tagihan listrik belum bayar. Saat sibuk di dapur, anaknya
bungsu rewel terus menerus. Dapatlah dipastikan emosi ibu ini akan mudah atau
segera meledak.
Tentulah di antara kita
pernah mengalami situasi seperti ibu di atas, entah di rumah, tempat kerja
ataupun dalam kehidupan masyarakat. Kita menghadapi banyak tekanan, baik yang
berasal dari luar diri kita maupun dari dalam diri sendiri. Di saat kita tak bisa
lagi menahan tekanan itu, maka amarah akan terlihat. Amarah yang meledak-ledak
ini dapat hanya berupa umpatan kata-kata, bisa juga berwujud tindakan, baik
yang terarah kepada obyek kemarahan ataupun obyek pelampiasan.
Emosi yang tidak terkendali bisa
berbahaya bagi orang lain dan juga diri sendiri. Karena itu, sangat diharapkan
agar kita memiliki kemampuan mengendalikan emosi. Dibutuhkan tingkat kematangan
dan kecerdasan emosi. Jauh lebih baik bila kita mengendalikan emosi daripada
emosi yang mengendalikan kita.
Ada banyak buku menawarkan
cara mengendalikan emosi. Intinya adalah emosi itu penting namun musti dikelola
dengan baik dan benar. Kemampuan mengelola emosi dapat membantu kita
meningkatkan kecerdasan emosi. Ada dua aspek cara peningkatan kecerdasan emosi,
yaitu aspek personal dan aspek sosial.
A.
Aspek Personal
Peningkatan
kecerdasan emosi ini berpusat pada diri sendiri. Artinya, kita melatih
kecerdasan emosional dengan berangkat dari diri kita sendiri. Ada beberapa hal
yang dapat kita lakukan, seperti:
1. Kenali Munculnya Emosi
Langkah
awal untuk menjadi cerdas secara emosional adalah dengan mengenal diri kita
secara lebih baik. Sadari reaksi tubuh kita ketika kita mulai merasakan emosi
tersebut. Misalnya, jantung yang berdebar lebih keras atau tangan yang
berkeringat saat hendak marah. Selain itu, kita juga perlu mengenal kapan dan
hal-hal apa saja yang memicu rasa amarah, terutama emosi-emosi negatif yang
mungkin akan berpotensi merusak. Jika kita sudah mengenalnya, segeralah
mengendalikannya; jangan biarkan gejala-gejala itu bermuara pada amarah.
2. Beri Kesempatan Otak Berpikir
Bagaimana
otak memroses emosi? Informasi yang ditangkap oleh panca indera kita diterima
dan disalurkan ke dua channel, yaitu
ke bagian pengaturan emosi (amygdale)
dan bagian berpikir (neocortex).
Menariknya, proses penyampaian informasi ke amygdale
berlangsung lebih cepat daripada proses ke neocortex.
Ketika
kita merasakan emosi yang sangat kuat, amygdale
akan segera mengambil alih otak kita dan mengambil tindakan untuk kabur,
berkelahi atau mematung. Akibatnya, neocortex
tidak sempat bekerja dan kita dapat menilai informasi dengan rasional. Proses
ini, oleh Daniel Goleman, diberi istilah “pembajakan amygdale”. Inilah alasannya kenapa seringkali kita menyesal
melakukan tindakan atau mengambil keputusan di saat emosi kita sedang intens.
Karena
itu, ketika kita berada dalam kondisi yang mungkin memicu emosi yang intens,
berhentilah. Berilah waktu pada otak kita untuk berpikir. Salah satu teknik
manajemen emosi menyatakan bahwa berhenti melakukan apapun selama 6 detik
memberi waktu yang cukup untuk membuat amygdale
berhenti membajak otak berpikir kita.
3. Fokus pada Apa yang Dapat Kita Kontrol
Seringkali
hal-hal yang menganggu kita adalah hal-hal yang sebenarnya berada di luar kontrol
kita. Atasan yang pemarah, rekan kerja yang ceroboh, jalanan yang macet atau
anak yang rewel. Kita sering berpikir bahwa kita harus mengubah situasi supaya
kita bisa merasa lebih baik, nyatanya kita tidak bisa melakukannya.
Lantas
apa yang dapat kita buat? Fokuslah pada apa yang dapat kita lakukan. Alih-alih
menunggu atasan kita untuk berubah menjadi tidak pemarah lagi, kita bisa
memfokuskan diri untuk mengatur mood
kita atau mengerjakan pekerjaan kita sebaik mungkin. Jangan terbawa emosi
amarah atasan kita. Jadilah pengatur bagi emosi kita sendiri, jangan biarkan
pihak luar mengatur emosi kita.
B.
Aspek Sosial
Selain
mampu mengelola emosi diri sendiri, kita perlu juga mengelola emosi dengan
berangkat dari orang lain. Jadi, sumbernya ada di luar diri kita. Ada beberapa
cara yang dapat kita lakukan, seperti:
1. Dengarkan Emosi Orang Lain
Bila
selama ini kita hanya mendengarkan kata-kata, marilah kita coba untuk memahami
emosi di balik pesan yang ingin disampaikan. Memahami emosi ini dapat tertuju
langsung kepada orang yang sedang marah kepada kita atau tidak langsung, dengan
mendengar cerita dari orang lain. Memahami emosi secara langsung berarti kita
tidak melihat amarah orang terhadap kita hanya sebatas amarahnya saja,
melainkan berusaha memahami amarah tersebut. Memahami emosi secara tidak
langsung dapat kita lakukan dengan lebih memperhatikan bahsa tubuh, ekspresi
maupun nada suara orang yang bercerita pada kita.
2. Kembangkan Empati
Empati
adalah kemampuan kita untuk memahami apa yang diperkirakan, diinginkan dan
dirasakan oleh orang lain. Bagaimana cara untuk melatih empati? Cobalah untuk
mendengarkan orang lain dengan tujuan untuk memahaminya, bukan untuk sekedar
menunggu giliran berbicara. Ya, sesederhana mencoba memahami apa yang dirasakan
dan dipikirkan oleh rekan kita. Tanpa ada penilaian, anggapan-anggapan negatif
maupun nasehat-nasehat yang mengurui
3. Ingatlah untuk Terus Menabung di
Rekening Emosi
Dalam
bukunya 7 Habits for Highly Effective
People, Steven Covey mengenalkan konsep rekening emosi. Ketika kita
berinteraksi dengan orang lain, kita akan membuka rekening emosi kita padanya.
Kalau kita berbuat baik pada rekan kita tersebut, rekening kita akan bertambah.
Sebaliknya, jika kita melakukan hal-hal yang melukai hubungan kita, maka tabungan
kita akan berkurang. Tantangannya, tidak seperti tabungan kita di bank yang
ditentukan oleh kita kapan akan bertambah dan berkurang, jumlah tabungan emosi
kita pada orang lain ditentukan oleh orang tersebut. Jadi, ingatlah bahwa kita
memiliki tabungan emosi pada orang lain dan teruslah menabung karena kita tidak
tahu kapan dan seberapa banyak akan berkurang.
Memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi akan memberikan manfaat bagi diri kita sendiri maupun
orang lain yang berinteraksi dengan kita. Setiap orang mempunyai kecerdasan
emosional yang bervariasi. Kabar baiknya, karena kecerdasan emosional adalah sebuah
ketrampilan, ia dapat dilatih dan ditingkatkan. Kabar buruknya, butuh waktu
yang lama untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita.
Oleh karena itu, marilah
terus berlatih untuk bisa menjadi “tuan” bagi emosi kita sendiri. Jangan biarkan diri kita dikendalikan
emosi kita, karena dapat berbahaya bukan saja bagi diri kita sendiri melainkan
juga bagi orang lain.
edited
by: adrian
sumber: ruang psikologi
Baca juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar