90 TAHUN PERJALANAN SEJARAH KWI
Dalam buku Sejarah
Gereja Katolik Indonesia, jilid 3b, yang diterbitkan oleh Bagian Dokumentasi
Penerangan Kantor Waligereja Indonesia dan dicetak oleh Percetakan Arnoldus
Ende-Flores, 1974, Dr. M.P.M. Muskens Pr menulis tentang “Setengah Abad Majelis
Agung Waligereja Indonesia (MAWI) 1924-1974” (halaman 1431-1524).
Berdasarkan data
dan tanggal yang tercantum dalam buku tersebut, maka diambillah sebagai pijakan
penentuan tanggal dan tahun kelahiran MAWI (yang sekarang menjadi KWI). Merunut
tahun sidang pertama para Waligereja, yaitu tanggal 15-16 Mei 1924 di Jakarta,
maka tahun itulah disebut sebagai awal berdirinya MAWI yang hingga tahun 2014
ini genap berusia 90 tahun.
Paparan singkat
sejarah MAWI-KWI berikut ini lebih untuk menggambarkan perkembangan tahun-tahun
persidangan dan beberapa isu pokok yang dibahas, yang dengan sendirinya
membentuk sejarah Gereja Katolik Indonesia hingga saat ini. Periodisasi yang
terurai di dalam sejarah ini bukan masa yang baku, tetapi sekedar untuk
memperlihatkan masa seiring dengan peristiwa dinamis sejarah bangsa Indonesia
guna memudahkan untuk mengingat-ingat saja. Semoga catatan yang merupakan
ringkasan dan beberapa cuplikan sejarah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Tahun 1913
lahirlah Nadere Regeling yang berisi pengakuan oleh Pemerintah Belanda
terhadap semua Vikaris Apostolik dan semua Prefek Apostolik sebagai
kepala/pemimpin jemaat Katolik di dalam wilayah Vikariat dan Prefektur
masing-masing di Nusantara ini. Pengakuan itu merupakan hasil perundingan
antara Internunsius dengan Menteri Urusan Koloni Pemerintah Belanda yang
dilakukan di Den Haag.
Setelah keluar
pengakuan itu, semua Vikaris dan Prefek Apostolik merasa perlu untuk berunding
bersama guna mencapai kesatuan sikap terhadap Pemerintah dalam banyak
persoalan, terutama tentang kebebasan bagi misi untuk memasuki semua wilayah
dan juga berhubungan dengan pendidikan Katolik.
Cita-cita itu baru
terwujud beberapa tahun kemudian dengan memanfaatkan momentum penahbisan Uskup
Mgr. A. van Velsen SJ, yang oleh Paus diangkat menjadi Vikaris Apostolik
Jakarta menggantikan Mgr. Luypen yang meninggal 1 Mei 1923. Peristiwa
penahbisan pada tanggal 13 Mei 1924 digunakan oleh para Waligereja waktu itu
untuk berkumpul dan meneruskannya dengan sidang pertama yang diselenggarakan
tanggal 15-16 Mei 1924 di pastoran Katedral Jakarta. Sidang pertama ini
diketuai oleh Mgr. A. van Velsen SJ. Itulah cikal bakal tanggal dan tahun yang
hingga sekarang dijadikan rujukan untuk berdirinya MAWI-KWI.
Beberapa persoalan
pokok yang menjadi bahasan dalam sidang pertama itu dapat diringkas sebagai
berikut: penentuan sikap Gereja terhadap politik Pemerintah dan soal-soal
Gereja yang meliputi persoalan sekitar imam-imam dan pendidikan imam,
pengajaran agama dan penyebarluasan semangat Katolik, serta perwakilan
sekretariat tetap para Waligereja di Jakarta.
Sidang kedua
berlangsung tanggal 1- 8 September 1925 di pastoran Katedral Jakarta dipimpin
oleh Mgr. B.Y. Gijlswijk. Selain membahas masalah keuangan sebagai unsur
penting penopang karya misi yang akan dimintakan ke Roma, sidang berbicara juga
tentang masalah penyebaran iman yang diyakini memerlukan kesediaan para imam
untuk terus menerus menyelaraskan pewartaannya dengan tradisi dan kesenian
setempat. Guna menopang pewartaan iman ini dirasa perlu menyusun katekismus
Katolik yang disesuaikan. Masalah pendidikan imam dibicarakan semakin intensif,
di samping masalah ko-edukasi di sekolah-sekolah Katolik. Pada sidang ini juga
dibicarakan tentang organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Katolik
serta disepakatinya waktu sidang Waligereja selanjutnya sekurang-kurangnya lima
tahun sekali untuk semua Waligereja.
Sidang ketiga,
keempat, dan kelima diselenggarakan masing-masing pada tanggal 4-11 Juni 1929
di Muntilan (Jawa Tengah), tanggal 19-27 September 1934 di Girisonta (Jawa
Tengah) dan tanggal 16-22 Agustus 1939 juga di Girisonta. Dalam tiga periode
persidangan itu dibicarakan secara sangat intensif pokok-pokok persoalan yang
menyangkut masalah hubungan Gereja dan Negara, pendidikan dan katekese,
Undang-undang Perkawinan, pers dan radio, organisasi-organisasi sosial Katolik,
kolonisasi Pulau Laut dan Rawaseneng, Gereja pribumi dan pengurus dana papa,
upacara-upacara Tionghoa, pendidikan calon-calon imam, penyesuaian kesenian,
dan status Gereja di Nusantara adalah Gereja Misi.
Periode
sesudah Kemerdekaan RI hingga akhir ORLA (1945-1965)
Sidang para
Waligereja pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan diselenggarakan di Bruderan
Jalan Raya Dr. Sutomo, Surabaya, pada tanggal 25 Oktober sampai 2 November
1955. Walaupun pada sidang tahun 1925 sudah disepakati untuk menyelenggarakan
sidang semua Waligereja tiap lima tahun sekali dan pada sidang tahun 1939
diputuskan bahwa lima tahun kemudian akan dilaksanakan sidang, namun karena
kondisi politik yang tidak menentu maka sidang tidak terjadi. Tahun 1942-1945
Indonesia diduduki Jepang. Antara 1945-1949 situasi di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh revolusi dan penyerahan kedaulatan. Baru sesudah hapusnya
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950 keadaan menjadi
kian normal kembali, kendati masih ada persoalan Irian Barat yang menyulitkan
bagi kehidupan Gereja.
Keputusan
terpenting dalam sidang tahun 1955 ini adalah dibentuknya beberapa Panitia
tetap dan bahwa di samping sidang lengkap semua Waligereja didirikan suatu
Dewan kecil yang tetap, yang disebut DEWAN WALIGEREJA PUSAT (DEWAP). Dan dalam
sidang Waligereja tahun ini pula disepakati nama baru: Majelis Agung Waligereja
Indonesia (MAWI). Selain pembentukan DEWAP, keputusan lain yang penting yaitu
mendukung adanya Partai Katolik dan pengakuan resmi terhadap Organisasi Pemuda
Katolik Pandu Putera, pengembangan panitia pers dan propaganda, masalah
pendidikan seminari, keputusan penerjemahan dan penerbitan Kitab Suci
Perjanjian Lama secara bertahap (jilid demi jilid), penerjemahan Rituale
Romanum dan dikeluarkannya sebuah surat edaran mengenai soal-soal di
bidang politik, sosial dan kebudayaan di Asia untuk mendukung resolusi-resolusi
dari Pan-Pasific Action Conference yang baru diselenggarakan di
Melbourne.
Sidang MAWI
berikut adalah tanggal 9-16 Mei 1960 di Girisonta (Jawa Tengah). Sebelum sidang
ini, DEWAP menyelenggarakan rapat sebanyak dua kali, yaitu 5-9 November 1956
dan tanggal 25-28 Mei 1959, keduanya di Girisonta. Pada sidang ini dibahas
masalah-masalah penting seputar kesatuan dalam Gereja (sensus catholicus),
tentang semangat nasionalisme, pentingnya pengadaan Katekismus Indonesia dan
penyediaan buku-buku pelajaran agama Katolik yang pembuatannya diserahkan
kepada Kateketis Sentrum, pemeliharaan rohani tentara, dan dalam bidang liturgi
ditegaskan pentingnya pendidikan liturgi bagi umat.
Tanggal 3 Januari
1961 Sri Paus Yohanes XXIII mengeluarkan sebuah dekrit “Quod Christus
Adorandus” yang menjadi tanda resmi berdirinya hirarki di Indonesia. Dalam
suratnya tertanggal 20 Maret 1961 yang ditujukan kepada para Waligereja
se-Indonesia, Paus Yohanes XXIII menekankan pentingnya peristiwa bersejarah
yang besar ini ditulis dengan huruf-huruf emas dalam sejarah Gereja Katolik
Indonesia. Paus mengajak umat Katolik Indonesia meneladan Fransiskus Xaverius.
Juga diingatkan bahwa sekalipun hirarki sudah berdiri, hal itu tidak berarti
bahwa misionaris-misionaris asing tidak diperlukan lagi. Para misionaris asing
tetap harus menyumbangkan pengabdiannya kepada Gereja Indonesia di pelbagai
bidang.
Sidang para
Waligereja selanjutnya terlaksana di sela-sela penyelenggaraan Konsili Vatikan
II (1962-1965). Selama berada di Roma, para Waligereja Indonesia
menyelenggarakan rapat tersendiri. Pokok bahasan menyangkut hal-hal penting
yang menjadi bahan bahasan dalam Konsili. Rapat-rapat para Waligereja Indonesia
selama di Roma dilaksanakan di Feyor Unitas.
Rapat-rapat para
Uskup Indonesia di Roma pada tahun 1962 diketuai oleh Mgr. A. Soegijapranata.
Namun pada tanggal 22 Juli 1963 Mgr. A. Soegijapranata meninggal dunia di
Steyl, Nederland, pada perjalanannya ke sidang kedua Konsili Vatikan.
Rapat-rapat para Uskup Indonesia di Roma tahun 1963 diketuai oleh Mgr. A.
Djajasepoetra (Uskup Agung Jakarta), sedangkan tahun 1964 dan 1965 diketuai
oleh Mgr. Y. Darmojuwana (Uskup Agung Semarang yang baru). Selain membahas
masalah-masalah yang memang menjadi fokus pembicaraan dalam Konsili Vatikan II,
Uskup-uskup Indonesia dalam rapat-rapatnya juga berbicara masalah penting lain
misalnya masalah pendidikan Katolik dan pendirian universitas Katolik.
Di samping
rapat-rapat di Roma di sela-sela Konsili, MAWI juga menyelenggarakan sidangnya
di Indonesia. Tanggal 25-30 Mei 1964 sidang MAWI dilaksanakan di Girisonta dan
20-28 Agustus 1965 juga di tempat yang sama.
Periode
awal ORBA hingga Usia Emas (1966-1974)
Sidang MAWI tahun
1966 diselenggarakan di Girisonta tanggal 15-26 Oktober. Pada sidangnya kali ini,
para Uskup memberikan resolusi (seruan) kepada kaum awam, organisasi-organisasi
Katolik, dan para rohaniwan. Kepada kaum awam sidang mendorong agar awam
Katolik terlibat dalam karya kemasyarakatan sehingga dapat membangun masyarakat
sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Gereja, sehingga kerasulan awam semakin
nyata dan dirasakan terutama di bidang politik, sosial, ekonomi, dsb. Para awam
dalam keterlibatannya di bidang-bidang itu tidak atas nama Gereja, tetapi atas
nama organisasi atau atas nama perseorangan. Organisasi Katolik, khususnya
Wanita Katolik dan Pemuda Katolik diharapkan bekerjasama dengan baik dan
pertama-tama berjuang untuk kepentingan umum menurut norma-norma ajaran Gereja.
Sedangkan kepada para rohaniwan diserukan agar memerankan diri sebagai
moderator bagi organisasi-organisasi Katolik dengan tugas utamanya mendorong,
menasehati, dan membantu, tidak sebaliknya menguasai, memimpin dan mengambil alih
fungsi pengurus.
Diambil dari: http://indonesia.ucanews.com/2014/11/03/90-tahun-perjalanan-sejarah-konferensi-waligereja-indonesia-kwi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar