Sabda
Bahagia Yesus di bukit pertama-tama ditujukan kepada orang miskin.
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5: 3). Pada masa Yesus dan sebelumnya, orang
miskin masuk ke dalam kelompok orang yang terpinggirkan, baik secara sosial
maupun secara religius. Secara keagamaan, orang miskin dilihat sebagai orang
yang tidak mendapatkan berkat dari Allah, yang biasanya disebabkan karena dosa.
Jadi, ada kaitan antara dosa dan kemiskinan. Dan dosa selalu dikaitkan dengan
neraka (syeol).
Akan
tetapi, dalam ucapan bahagia-Nya, Yesus justru mengatakan bahwa mereka yang
miskin itu bahagia sebab memiliki Kerajaan Sorga. Suatu pernyataan yang
kontradiktif. Lewat pernyataan-Nya itu, Yesus mau mematahkan pendapat lama
sekaligus menanamkan hal baru bahwa orang miskin juga berhak atas Kerajaan
Sorga.
Untuk
membuktikan hal ini, selama hidup-Nya, Yesus hidup miskin dan hidup bersama
orang miskin. Yesus menerapkan hidup miskin kepada para rasul-Nya ketika Ia
mengutus mereka (Mat 10: 5 – 15). “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma,
karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10: 8). Di sini Yesus
menghendaki agar para rasul melaksanakan tugas perutusan tersebut dengan tanpa
pamrih, bukan mencari uang atau imbalan. Lebih lanjut Yesus mengajak mereka
untuk “menyingkirkan” harta benda (ay. 9 – 10).
Sekalipun
beberapa kali Yesus bergaul dengan orang kaya, misalnya seperti Matius pemungut
cukai (Mat 9: 9 – 13), pemuda yang kaya (Mat 19: 16 – 26), Zakheus (Luk 19: 1 –
10) dan Nikodemus (Yoh 3: 1 – 21), Yesus tidak serta merta menjadi kaya dan
melupakan orang miskin. Malahan dalam perjumpaan-Nya dengan orang-orang kaya
itu Yesus mengajak mereka untuk “melepaskan” kelebihan harta kekayaan mereka dan
tidak menganggap sesuatu sebagai milik mereka sendiri. “Juallah segala milikmu
dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
sorga…” (Mat 19: 21). Yesus tidak memanfaatkan orang kaya itu untuk kepentingan
Diri-Nya sendiri, tetapi tetap pada jalan hidup-Nya, yaitu miskin.
Ajaran
kemiskinan yang mau diajarkan Yesus kepada pengikut-Nya adalah suatu sikap
lepas bebas terhadap kekayaan (uang dan harta benda lainnya) dan sikap berbagi
atau memberi. Dalam ajaran-Nya tentang kemiskinan, Yesus mau menyingkirkan
semangat egois yang hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri dan
memanfaatkan orang lain untuk kepentingan diri sendiri, dan menggantikannya
dengan semangat sosial: memberi dan berbagi dengan sesama.
Pada
masa awal-awal kekristenan, para pengikut Yesus, yang dikenal dengan sebutan
Kristen, sungguh melaksanakan ajaran kemiskinan ini. Hal ini dapat dilihat dari
cara hidup jemaat perdana, di mana “tidak seorang pun yang berkata, bahwa
sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah
milik mereka bersama.” (Kis 4: 32). Semangat yang ada adalah semangat berbagi
dan lepas bebas dari semangat memiliki sendiri, sehingga “tidak ada seorang pun
yang berkekurangan di antara mereka.” (Kis 4: 34). Semangat tidak mencari dan
mengejar harta juga dihayati oleh Rasul Paulus. “Upahku ialah ini: bahwa aku
boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku
sebagai pemberita Injil.” (1 Kor 9: 18).
Kemiskinan religius yang diajarkan Yesus
menjadi salah satu semangat (spiritualitas) kristianitas, di mana Yesus
mengajak kita untuk tidak diperbudak oleh harta, uang dan kekayaan. “Karena di
mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat 6: 21). Karena itu Santo
Paulus berkata, “Akar segala kejahatan ialah cinta uang.” (1 Tim 6: 10). Uang
di sini bukan hanya dalam arti hurufia melainkan sebagai
simbol kekayaan.
Ajaran Yesus tentang kemiskinan religius ini
pernah menjadi semangat hidup para kudus. Mereka menghidupi hidup Yesus dengan
menjadi miskin dan mencintai orang miskin. Dari kelompok ordo, kita kenal ada
St. Fransiskus Asisi (4 Oktober), St. Klara dari Asisi (11 Agustus), St. Feliks dari Valois (20 November), dll. Dari kalangan imam ada St. Feliks dari Nola (14
Januari). Dari kelompok abbas ada St. Antonius (17 Januari) dan St. Germanus
dari Paris (28 Mei). Dari kalangan awam kita kenal St. Marius (19 Januari), St. Marcella (31 Januari), St. Fransiska Romana (9 Maret) dan St. Elisabeth dari Hungaria (17 November). Sebenarnya masih ada banyak lagi orang kudus yang
menghayati kemiskinan religius sebagaimana yang diajarkan Yesus. Di sini tampak
jelas bahwa mereka mencintai orang miskin dengan menjual kekayaannya untuk
orang miskin dan hidup seperti orang miskin.
Salah satu ciri kemiskinan kristiani adalah
menjual kekayaan (uang dan harta) demi Kristus. Menjual kekayaan sebagai
ungkapan ketidakterikatan dengan harta milik. Demi Kristus itu sebagai sikap
berbagi kepada orang-orang miskin. Keberadaan Kristus dalam orang-orang miskin
sudah dinyatakan Yesus dalam Injil-Nya. “Yang melakukan sesuatu kepada orang
yang paling hina ini, sudah melakukannya untuk Aku.” Karena itu, membagi
kekayaan kepada orang miskin sama arti dan nilainya dengan membagi kekayaan
kepada Kristus.
Zaman sekarang kemiskinan kristiani menjadi
suatu momok bagi manusia, terlebih para pengikut Kristus. Manusia zaman
sekarang sudah dirasuki budaya hedonis-konsumtivistik, di mana sesuatu itu
diukur dari materi. Ajaran Yesus soal kemiskinan religius mendapat tantangan
dari berbagai bentuk iklan yang menggoda setiap orang yang melihat dan
mendengarkannya. Karena itu, sudahkah ajaran Yesus tentang kemiskinan religius
merasuki sanubari umat Kristen? Apakah orang Kristen dewasa kini, baik dari
kalangan hirarki maupun awam, berani menjual kekayaannya demi Kristus atau
malah menjual Kristus demi uang dan harta?
Pangkalpinang, pada peringat St. Clara, 11 Agustus 2013
by: adrian
Baca
juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar