Sabtu, 09 Agustus 2014

Refleksi Atas 3 Tahun Sinode Keuskupan II

Kata ‘sinode’ berasal dari bahasa Yunani, dari kata sun (=bersama-sama) dan kata hodos (=jalan), yang berarti jalan bersama-sama. Sinode juga bisa dimengerti sebagai pertemuan atau sidang yang menekankan aspek kebersamaan. Kata sinode memiliki sinonim dengan kata Latin concilium (konsili). Istilah sinode dan konsili ini lebih populer di dalam Gereja Katolik. Pada mulanya kata sinode dipakai untuk pertemuan yang dihadiri para uskup. Kemudian berkembang luas sehingga muncul sinode keuskupan.

Dalam kan. 460 dikatakan bahwa sinode keuskupan adalah kumpulan imam-imam dan umat beriman kristiani yang terpilih dari Gereja Partikulir (diosesan) untuk membantu uskup diosesan demi kesejahteraan seluruh umat diosesan. Dengan dasar inilah (kesejahteraan umat), Keuskupan Pangkalpinang menyelenggarakan sinode yang kedua 2 – 8 Agustus 2011 di Hotel Seratta Terrace, Pantai Pasir Padi, Pangkalpinang.

Kesejahteraan, yang menjadi tujuan dasar sinode, bukan hanya sebatas kesejahteraan ekonomi melainkan juga menyentuh aspek lainnya. Untuk menjawab tantangan itu, Keuskupan Pangkalpinang menentukan visi sinodenya: Menjadi Gereja Partisipatif. Semua anggota Gereja Keuskupan Pangkalpinang, baik klerus, Lembaga Hidup Bakti maupun awamnya, diajak untuk berpartisipasi aktif mewujudkan tujuan dasar sinode. Untuk bisa mencapai itu, satu kata kuncinya adalah pertobatan.

Karena itulah, selesai sinode yang kedua, saya menulis sebuah artikel di Tabloit Berkat dengan judul “Sinode II Keuskupan Pangkalpinang: Mari Becermin untuk Berbenah”. Aktivitas becermin selalu menuntut adanya pertobatan, jika menemukan ada sesuatu yang tidak beres pada diri. Pertobatan menghasilkan perubahan yang lebih baik. Karena itulah, pertanyaan dasar kita sekarang, yang sudah tiga tahun berjalan, adalah sudahkan kita berubah?

Pertanyaan ini bukanlah untuk satu dua orang saja, melainkan untuk semua umat Keuskupan Pangkalpinang, dari uskupnya, imamnya hingga awamnya. Waktu itu (tulisan awal), kami mengajak becermin dengan menggunakan tiga cermin yang ditawarkan dalam sinode kedua itu. Sekarang mari lihat kembali apakah kita sudah berbenah.

Tiga Cermin Sinode II
Pada sinode kedua, di hari kedua, para peserta ditawarkan tiga tema pertemuan, yaitu Politik, Ekologi dan Hubungan Antar Agama. Tiga tema itu hendaknya menjadi cermin untuk berefleksi, karena lewatnya kita bisa melihat wajah keuskupan kita.

Dalam tulisan tiga tahun lalu, kami sangat menyayangkan bahwa tiga tema itu hanya sebatas resume; bukan sebagai cermin. Dia cuma menjadi realitas di luar kita. Hal ini membuat Gereja seakan-akan hanya bisa mengadili realitas di luar dirinya. Padahal sebenarnya sinode bisa menjadi ajang bersih-bersih diri dengan refleksi diri. Refleksi berarti otokritik.

Dengan hanya menjadi resume dan tidak menjadikannya sebagai cermin untuk refleksi, kita ibarat kaum munafik yang dikecam Yesus dalam kotbah-Nya di bukit (Mat 7: 3 - 5). Kita dapat melihat selumbar di mata orang lain, sementara balok di mata kita sendiri tidak diketahui. Padahal, balok itu jauh lebih besar daripada selumbar. Sungguh ironis; dan itulah yang terjadi.

     a)     Cermin I: Tema Politik
Dalam cermin politik, terlihat wajah keuskupan mirip dengan wajah politik bangsa:
     1)     Pengaruh uang sangat dominan dalam kehidupan kita, baik sebagai imam maupun sebagai awam. Ada ambisi-ambisi jabatan kekuasaan, yang semuanya demi uang, sampai-sampai nilai-nilai moral dan kejujuran dilangkahi.
      2)     Pemimpin tidak bertindak tegas.
      3)     Ada kesan politik saling sandera.
      4)     Ada mental melodramatik di kalangan umat dalam menyikapi persoalan di level hirarki.
      5)     Sikap umat: ada yang apatis, kritis atau pragmatis.
      6)     Ada asas: asal uskup senang (padanan politik: Asal Bapak Senang)

     b)    Cermin II: Tema Ekologi
Dalam cermin ekologi, wajah keuskupan tak jauh berbeda dengan wajah ekologi bangsa:
      1)     Ada keserakahan sehingga sebagian besar aset kekayaan keuskupan dikuasai.
      2)     Ada keserakahan yang berdampak pada eksploitasi.
    3)     Sepertinya ada egoisme dalam semangat memanfaatkan aset kekayaan keuskupan atau paroki untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

     c)     Tema III: Tema Hubungan Antar Agama
Dalam cermin hubungan antar agama, wajah keuskupan agak mirip dengan wajah hubungan antar agama di negeri ini:
      1)     Ada sifat fanatisme.
      2)     Sifat merasa diri benar ada pada diri imam dan/atau umat sehingga terjadinya pemaksaan kehendak. Imam memaksakan kehendaknya karena merasa dirinya benar dan pintar sementara umat salah dan bodoh.
      3)     Ada rasa benci dan sikap menolak orang dari kelompok lain.
   4)     Ada umat dan/atau imam yang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan menggunakan dasar agama.
      5)     Ada politik pembiaran di Gereja kita saat terjadi tindak kekerasan.
     6)     Cara beragama kita masih bersifat ritual dan hanya mengejar kesalehan pribadi, belum memiliki dampak sosial yang membangun peradaban.
   7)     Imam dan/atau umat (keluarga) belum menanamkan benih-benih cinta kasih, saling menghormati dan menghargai dalam diri anak-anak kita.

Ternyata Kita Belum Berubah
Sinode menuntut adanya pertobatan dan perubahan. Tentulah perubahan selalu terarah kepada yang baik dan benar. Tuntutan akan pertobatan atau perubahan ini sudah dicanangkan buku sinode kedua (MGP, bab V), dan ditegaskan Bapak Uskup dalam kesempatan promulgasi buku sinode kedua. Ditegaskan agar umat berubah agar nilai-nilai sinode dapat berjalan. Membandingkan dengan proses pembusukan ikan yang diawali dari kepala, Bapak Uskup meminta supaya perubahan itu diawali dari kepala (redaksi awal pesan uskup). Tentulah yang dimaksud di sini adalah pimpinan hirarki, mulai dari uskup, para imam, khususnya Kepala Paroki dan instansi lainnya.

Dalam kaca mata kami, gerak sinode harusnya berawal dari pertobatan yang diikuti perubahan. Pertobatan merupakan fundasinya. Tanpa pertobatan dan perubahan, sinode itu ibarat rumah yang didirikan di atas pasir. Ketika angin dan hujan lebat serta badai melanda, robohlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya. Sia-sialah pekerjaan itu. Jadi, jangan melaksanakan hasil sinode tanpa adanya pertobatan dan perubahan.

Bagaimana dengan sinode kedua Keuskupan Pangkalpinang? Ada kesan bahwa kita mengabaikan fundasi tadi. Kita langsung disibukkan dengan bangunan dan ornamennya. Tidak ada pertobatan dan perubahan atau pembenahan diri, baik itu di kalangan hirarki maupun umat. Refleksi atas tiga cermin di atas menunjukkan adanya ketidakberubahan itu. Mentalitas kita masih mentalitas lama yang penuh dengan keegoisan dan ketidakpedulian. Bagaimana kita bisa membangun partisipasi?

Jadi, ternyata kita belum berubah. Bentuk lain dari ketidakberubahan itu dapat dilihat dari realitas yang sudah direkam dalam sinode kedua. Survei membuktikan bahwa di kalangan para imam ada kelemahan dalam membangun komunitas. Yang menjadi titik lemahnya adalah kurangnya komunikasi, tidak ada kepercayaan kepada rekan imam dan semangat single fighter dalam diri imam (lih. MGP no. 76).

Karena itu, dalam pertemuan imam Mei 2013, ada satu pernyataan keprihatinan, yaitu para imam belum berkomunitas. Ini benar-benar sebuah ironisme. Bagaimana mungkin imam, yang merupakan ujung tombak pesan sinode, selalu berteriak agar umat ber-KBG, sementara dirinya tidak menampakkan komunitas itu. Dengan kata lain, dirinya tidak bisa berkomunitas.

Akhir Kata
Tulisan ini tidak memiliki maksud lain selain mau mengajak kita untuk becermin, melihat kelemahan-kelemahan kita. Dan dari aksi becermin ini akan muncullah perubahan. Akan tetapi perubahan mengandaikan adanya KEMAUAN dari SEMUA umat Keuskupan Pangkalpinang, baik dari kalangan hirarki (uskup dan para imam), kelompok hidup bakti serta kaum awam. Kalau hanya kaum awam atau kelompok hidup bakti saja yang becermin dan mau melakukan perubahan, maka tidak akan ada perubahan yang sesungguhnya. Jadi, perubahan akan terjadi bila ada aksi bersama. Untuk itulah sangat bagus tema ini dijadikan cermin saat sinode.

Perubahan adalah langkah akhir; atau buah dari refleksi. Langkah awal yang musti dilakukan adalah pertobatan dan rekonsiliasi. Pertobatan adalah aksi individu. Masing-masing kita melihat diri kita, apakah masih ada kekurangan dalam diri saya. Setelah menemukan kekurangan itu, kita masing-masing segera berbenah diri. Pertobatan ini bukan hanya terjadi pada diri umat, melainkan juga, dan malahan yang utama, para imamnya. Sedangkan rekonsiliasi merupakan aksi kolektif. Kita harus menumbuhkan rekonsiliasi dimulai dari kelompok kaum religius, kelompok kaum lembaga hidup bakti, kelompok kaum awam dan antar kelompok.

Memang saat ini ada kesan bahwa kita belum berubah. Namun bulan lantas berarti sinode kita gagal. Kita gagal kalau kita memang tidak mau berubah. Masih ada harapan. Kita dapat mewujudkan amanat sinode hingga menghasilkan buah jika kita mulai berbenah diri. Kita awali dengan pertobatan.
Pangkalpinang, 1 Agustus 2014
by: adrian
Baca juga:
3.      Korupsi di Gereja
4.      Tentang Kewenangan

4 komentar:

  1. apa maksud politik saling sandra?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya. Kami hanya bisa menjawab lewat contoh.

      Misalnya, si Anu, sebagai pemimpin, punya kasus dan diketahui oleh si Ona, anak buahnya. Si Ona, karena melihat bossnya ada kasus, juga bikin kasus. Kasus si Ona bukan hanya diketahui oleh bossnya, tetapi juga si Oni. Melihat Ona bikin kasus dan tak ada reaksi dari pimpinan, Oni juga buat kasus.

      Nah, ketika Oni bikin kasus, bossnya tak berani tegur karena Oni akan mengancam membuka kasus Ona, dan Ona mengancam akan membuka kasus Anu jika si boss marah ke Oni.

      Demikian jawaban kami, semoga puas. Tuhan Yesus memberkati

      Hapus
  2. rmo sya masih bingung kaitan penguasaan aset dengan tema ekologi. Bukankah ekologi itu soal lingkungan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terma kasih atas pertanyaannya. Yang mau ditekankan dalam kaitan antara penguasaan aset dan tema ekologi adalah nafsu serakah. Ada segelintir orang berusaha menguasai aset yang mendatangkan uang. Misalnya, jabatan di sebuah yayasan tidak mau diserahkan ke orang lain, tetapi ke orang-orangnya. Sekalipun sudah ada jabatan tertentu, terpaksa posisi itu diembatnya juga. Seolah-olah menjadi miliknya atau gengnya.

      Hapus