Jumat, 28 Juni 2013

Sinode II Keuskupan Pangkalpinang: Mari Bercermin

Harimau yang Berubah

Seekor anak harimau ditinggal mati induknya. Dia berjalan dalam kedukaan tanpa arah dan tiba di sebuah peternakan seorang petani. Di peternakan itu ada induk kambing. Melihat nasib anak harimau itu, timbullah naluri keibuan induk kambing itu. Maka, induk kambing itu mengadopsi anak harimau itu dan membesarkannya bersama anaknya yang lain.

Karena dibesarkan dan hidup dalam lingkungan kambing, anak harimau itu menyadari dirinya sebagai seekor kambing. Maka dia berjalan dan mengembik seperti kambing. Dia juga makan daun-daunan seperti kambing. Waktu demi waktu berlalu. Sang anak harimau itu pun tumbuh menjadi besar. Dan dia tetap menyadari kalau dirinya adalah kambing. Sekalipun saudara-saudaranya mengatakan bahwa dirinya adalah harimau, karena wajahnya lain dari mereka, dia tetap setia pada pendapatnya.

Pada suatu hari dia bersama saudara-saudaranya berjalan di padang yang luas. Mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam. Tiba-tiba datang beberapa ekor harimau menyergap. Anak harimau yang telah menjadi besar berlari menyelamatkan diri bersama saudara-saudaranya. Seekor harimau besar merasa aneh ketika melihat hal itu. Bersama temannya, dia berusaha mengejar anak harimau yang telah besar.

Harimau besar itu berhasil menangkapnya. Dalam ketakutannya, anak harimau yang telah besar itu memohon belas kasihan.

Harimau besar, “Kami tidak akan memakanmu. Kami cuma mau bertanya kenapa kamu lari ketakutan sama seperti kambing-kambing itu?”

Anak harimau, “Aku kambing.”
Harimau besar, “Kamu harimau! Kamu sama seperti kami.”
Anak harimau, “Bukan! Aku kambing.”

Harimau besar itu, bersama temannya, mengajak anak harimau yang telah besar itu ke tepi danau. Air danau itu tenang dan sangat bening. Harimau besar itu menyuruh anak harimau yang telah besar itu untuk melihat wajahnya di permukaan danau.

Ketika anak harimau yang telah besar itu melihat dirinya di permukaan air danau yang bening dan tenang, dia langsung menyadari siapa dirinya. Spontan dia pun mengaum. Dan dia menjadi harimau.

Tiga Cermin
Tgl 2-8 Agustus Gereja Keuskupan Pangkalpinang menyelenggarakan sinodenya yang kedua. Dalam sinode ini peserta sinode mencoba untuk menemukan apa yang akan dilakukan bersama ke depan dalam kurun waktu satu dekade. Sinode mau mengajak kita untuk bergerak bersama dalam satu kata dan satu tindakan dengan tetap menghargai kekhasan paroki masing-masing.

Sinode sebenarnya bisa dijadikan ajang untuk berefleksi, melihat diri sendiri untuk memperbaiki diri. Berefleksi merupakan suatu tindakan seperti bercermin/berkaca untuk melihat diri sendiri, yang dengannya orang bisa membenahi dirinya (yang baik dipertahankan, yang kurang diperbaiki). Ibarat orang bercermin, orang akan melihat dirinya sendiri lalu membenahi dirinya. Pembenahan berdampak pada kesempurnaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan sikap rendah hati agar jangan sampai buruk rupa cermin dibelah.

Dalam sinode ini, peserta sinode banyak ditawarkan cermin. Dalam kesempatan ini saya mengambil tiga cermin yang menjadi tema pertemuan di hari kedua. Tiga cermin ini adalah Politik, Ekologi dan Hubungan Antar Agama. Saya mengambil 3 tema ini menjadi cermin untuk kita berefleksi karena waktu sinode kemarin ketiga tema tersebut tidak dijadikan cermin agar kita bisa melihat wajah Gereja Keuskupan Pangkalpinang. Tiga tema itu hanya sebatas resume. Dia cuma menjadi realitas di luar kita. Ada kesan bahwa menampilkan 3 tema itu sebagai resume membuat Gereja seakan-akan hanya bias mengadili realitas di luar dirinya. Padahal realitas itu tak jauh berbeda dengan realitas di dalam Gereja Keuskupan Pangkalpinang sendiri. Untuk itulah sebenarnya sinode ini seharusnya menjadi ajang bersih-bersih diri dengan refleksi diri. Kita perlu merefleksikan 3 tema itu untuk konteks keuskupan. Dalam hal ini refleksi berarti otokritik.

Cermin I: Tema Politik
Dalam dunia politik, khususnya gambaran perpolitikan di Indonesia, terungkap beberapa realitas. Pertama, uang menjadi dominan. Adanya transaksi kekuasaan dan jabatan, semua karena uang. Hal ini telah menghilangkan nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Dan ini terjadi di tingkat elite. Kedua, pimpinan yang tidak tegas. Ketidaktegasan ini mengakibatkan banyaknya kebijaksanaan yang tidak berjalan dan memperparah situasi. Ketiga, ketidaktegasan pemimpin ini mungkin disebabkan oleh adanya politik saling sandera. Yang satu memegang kartu truf yang lain, demikian pula sebaliknya. Keempat, mental melodramatik. Mental ini terlihat dari sikap mudah lupa, cepat iba dan gampang sekali bosan.

Kelima, menghadapi realitas politik di atas, muncullah berbagai sikap dalam masyarakat. Ada masyarakat yang mengambil sikap apatis, tidak mau peduli dengan masalah yang terjadi: yang penting urusan pribadi saya aman-aman saja. Ada juga masyarakat yang bersikap pragmatis: selagi menguntungkan saya akan terlibat. Dan ada pula masyarakat yang memiliki sikap kritis demi tegaknya nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bersama.

Nah, uraian di atas merupakan gambaran realitas perpolitikan di negara kita. Realitas ini dipaparkan dalam sinode, sudah seharusnya gambaran ini menjadi cermin bagi kita untuk melihat wajah keuskupan. Dengan berani melihat wajah kita melalui cermin politik, kita tidak hanya bisa mengkritik/mengecam elite politik negara ini dan menuntut adanya perubahan, melainkan juga kita bisa mengkritik diri kita sendiri dan menuntut terjadinya perubahan di keuskupan kita. Dan kalau ini benar-benar dijadikan cermin, marilah kita sama-sama melihat:
     1)      Apakah pengaruh uang sangat dominan dalam kehidupan kita, baik sebagai imam maupun sebagai awam? Apakah ambisi-ambisi jabatan kekuasaan, yang semuanya demi uang, sampai-sampai nilai-nilai moral dan kejujuran dilangkahi, ada dalam realitas kita?
     2)      Apakah pemimpin kita sudah bertindak tegas?
     3)      Kalau di negara ada politik saling sandera, apakah di keuskupan ada politik saling sandera antara hirarki gereja?
     4)      Apakah ada mental melodramatik di kalangan umat dalam menyikapi persoalan di level hirarki?
     5)      Bagaimana sikap umat dan kaum pinggiran? Apakah ada yang apatis, kritis atau pragmatis?

Inilah pertanyaan panduan untuk dapat melihat wajah keuskupan. Kita masih bisa menambah lagi dengan pertanyaan lain, misalnya soal kebohongan publik. Seperti dalam dunia politik kita saat ini dimana rakyat dibingungkan dengan kebohongan-kebohongan para elite. Kita bisa bertanya bagaimana dengan kita? Bukankah umat sempat dibingungkan dengan pernyataan para imam soal adanya imam yang bergaji? Ada yang berkata bahwa ada imam yang menerima gaji di atas uang saku dan tidak menyerahkan ke keuskupan, tapi ada imam yang mengelak dengan mengeluarkan argumen hukum (aturan). Umat bingung siapa yang benar dan siapa yang berbohong?

Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat. Ibarat kalau kita bercermin. Jika ternyata rambut belum tertata atau masih ada sisa bedak yang belum rata atau kancing baju yang kurang pas, maka kita segera menata rambut atau merapikan bedak atau mengatur kancingnya.

BERANIKAH KITA???

Tema II: Tema Ekologi

Dalam uraian tema ekologi ini terungkap beberapa realitas negatif yang terjadi di Indonesia atau secara khusus di provinsi Bangka-Belitung dan Kepulauan Riau, yang termasuk wilayah Keuskupan Pangkalpinang. Realitas itu adalah pertama, keserakahan segelintir orang yang menguasai sebagian besar lahan yang ada, yang mana lahan itu merupakan salah satu aset kekayaan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Keserakahan ini berdampak pada kerusakan alam.  Kedua, egoisme orang yang hanya memperhatikan kepentingan sesaat untuk diri sendiri (keluarga/kelompok) tanpa memperhitungkan anak cucu manusia.

Sikap serakah membuat orang mengeksploitasi alam dan lingkungan secara tak bertanggung jawab. Segala cara dilakukan, entah legal atau tidak legal, demi pemenuhan nafsunya. Demikian pula sikap egois. Sikap ini menyebabkan orang mencari keuntungan pribadi tanpa peduli akan nasib sesama baik di masa kini maupun di masa depan.

Di sini kita bisa bercermin untuk melihat diri kita, umat Allah Keuskupan Pangkalpinang. Dengan menjawab pertanyaan berikut ini, kita bisa melihat wajah itu:
     1)      Apakah keserakahan ada pada diri imam dan/atau umat sehingga sebagian besar aset kekayaan keuskupan dikuasainya?
      2)      Apakah keserakahan yang berdampak pada eksploitasi lingkungan ada dalam diri imam dan/atau umat?
      3)      Apakah egoisme dalam semangat memanfaatkan aset kekayaan keuskupan, sama seperti egoisme memanfaatkan kekayaan alam di negara ini, untuk kepentingan pribadi dan keluarga ada pada diri imam dan/atau umat?
   
   Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat.

BERANIKAH  KITA???

Tema III: Tema Hubungan Antar Agama
Dalam penjelasan tentang tema hubungan antar agama, terlihat adanya beberapa realitas negatif yang terjadi di Indonesia. Realitas itu adalah pertama, adanya fanatisme agama yang berdampak mulai dari kebencian dan penolakan kelompok lain sampai kepada kekerasan yang mengatas-namakan agama. Kedua, adanya pemaksaan kehendak kepada orang lain. Pemaksaan ini bukan saja terarah kepada orang yang berbeda agama melainkan juga yang seagama dengan dirinya. Di sini seakan ada kesan bahwa sayalah yang benar sedangkan yang lain salah. Tiga, adanya politik pembiaran. Ini bisa terjadi karena tidak adanya ketegasan dari elite politik (pimpinan negara) dan juga elite agama sehingga agama sering dipolitisasi. Keempat, cara beragama hanya berhenti di tempat ibadah, bersifat ritual dan tidak memiliki dampak sosial yang membangun peradaban. Kelima, rusaknya pendidikan agama, bukan saja di tingkat formal (sekolah) tetapi juga pada tingkat informal (keluarga).
Dari sini kita diajak untuk bercermin sehingga bisa mengenal wajah keuskupan Pangkalpinang. Untuk itu mari kita lihat wajah keuskupan kita dengan berkaca pada tema hubungan antara agama:
      1)      Apakah sifat fanatisme akan iman dan/atau Gereja Katolik ada pada diri umat dan/atau umat?
      2)      Apakah sifat merasa diri benar ada pada diri imam dan/atau umat sehingga terjadinya pemaksaan kehendak? Imam memaksakan kehendaknya karena merasa dirinya benar dan pintar sementara umat salah dan bodoh.
     3)      Apakah ada rasa benci dan sikap menolak orang dari kelompok lain dalam diri imam dan/atau umat?
   4)      Apakah ada umat dan/atau imam yang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan menggunakan dasar agama?
      5)      Apakah ada politik pembiaran di Gereja kita saat terjadi tindak kekerasan?
    6)      Bagaimana cara beragama kita? Apakah masih bersifat ritual dan hanya mengejar kesalehan pribadi atau sudah memiliki dampak sosial yang membangun peradaban?
    7)      Apakah imam dan/atau umat (keluarga) sudah menanamkan benih-benih cinta kasih, saling menghormati dan menghargai dalam diri anak-anak kita?
   
   Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat.

BERANIKAH KITA???

Akhir Kata
Seorang ibu peserta sinode mengungkapkan kerisihannya pada kemewahan para imamnya. Kemewahan yang dimaksudkannya adalah kalung emas dan kamera. Spontan saya teringat akan realitas politik negeri ini: Senayan menjadi showroom mobil. Jadi, kalau di senayan dijadikan ajang pamer kekayaan elite politik, sinode kemarin pun tak kurang menjadi ajang pameran kekayaan para imam.

Tulisan ini tidak memiliki maksud lain selain mau mengajak kita untuk bercermin, melihat kelemahan-kelemahan kita. Dan dari aksi bercermin ini akan muncullah perubahan. Akan tetapi perubahan mengandaikan adanya KEMAUAN dari SEMUA umat Keuskupan Pangkalpinang, baik dari kalangan hirarki (uskup dan para imam), kelompok hidup bakti serta kaum awam. Kalau hanya kaum awam atau kelompok hidup bakti saja yang bercermin dan mau melakukan perubahan, maka tidak akan ada perubahan yang sesungguhnya. Jadi, perubahan akan terjadi bila ada aksi bersama. Untuk itulah sangat bagus tema ini dijadikan cermin saat sinode. Bukankah sinode itu berarti berjalan bersama?

Perubahan adalah langkah akhir; atau buah dari refleksi. Langkah awal yang musti dilakukan adalah pertobatan dan rekonsiliasi. Pertobatan adalah aksi individu. Masing-masing kita melihat diri kita, apakah masih ada kekurangan dalam diri saya berkaitan dengan 3 cermin di atas. Setelah menemukan kekurangan itu, kita masing-masing segera berbenah diri. Pertobatan ini bukan hanya terjadi pada diri umat, melainkan juga, dan malahan yang utama, para imamnya. Sedangkan rekonsiliasi merupakan aksi kolektif. Kita harus menumbuhkan rekonsiliasi dimulai dari kelompok kaum religius, kelompok kaum lembaga hidup bakti, kelompok kaum awam dan antar kelompok.

Serrata Terrace Hotel, 8 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar