BOLEHKAN BAPTIS BAYI DARI KELUARGA
BERMASALAH?
Persoalan
Kasus pembaptisan
anak dalam keluarga perkawinan campur beda agama atau beda gereja, sering kali
menjadi persoalan keluarga yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apalagi jika
perkawinan dari orang tua yang bermasalah secara hukum kanonik. Misalnya
perkawinan yang diteguhkan tidak seturut norma gereja Katolik. Begitu banyak
masalah dalam keluarga kalau dikelompokkan ada bermacam-macam dengan
persoalannya masing-masing. Namun pada umumnya persoalan praktis pastoral
muncul seperti, mungkinkah pembaptisan anak yang lahir dari perkawinan campur
beda agama (beda gereja) dilakukan? Atau dapatkah pembaptisan anak dilakukan meskipun
perkawinan orang tuanya bermasalah? Lalu apa yang perlu dilakukan
keluarga-keluarga yang menemui persoalan ini? Begitu banyak persoalan muncul
jika orang tua dari anak yang akan dibaptis menemui persoalan bukan dari
dirinya melainkan dari orang tuanya.
Kita sadar bahwa keluarga kristiani memiliki kewajiban mengusahakan agar
anaknya dibaptis dalam minggu-minggu pertama setelah kelahirannya sesuai dengan
norma kanonik (bdk. Kan. 867). Apalagi jika orang tua anak beda agama atau beda
gereja maka akan muncul persoalan. Tugas itu merupakan bentuk tanggungjawab
asasi orang tua katolik yakni dengan menghadap pastor paroki, mempersiapkan
diri dan anak yang akan dibaptis dengan baik menjelang penerimaan sakramen
pembaptisan melalui kursus persiapan pembaptisan, dan kemudian mendidik anak
secara katolik hingga dewasa.
Norma-norma
Yuridis
Pembaptisan anak adalah hak asasi setiap orang tua terhadap iman anaknya. Apakah
mau dibaptis setelah anak dapat menggunakan akal budinya? Ataukah dibaptis pada
minggu pertama sesudah kelahiran anak? Gereja katolik tentunya memiliki
pegangan dasar mengapa orang tua hendaknya mengusahakan agar anaknya dibaptis
dalam minggu-minggu pertama setelah kelahirannya. Alasannya mendasar karena
anak-anak yang dilahirkan dalam kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal
maka mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam Pembaptisan, supaya
dibebaskan dari kekuasaan dan dimasukkan ke dalam kerajaan kebebasan anak-anak
Allah, kemana manusia dipanggil. Gereja dan orang tua dapat dikatakan
menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah,
kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran (bdk. KGK, 1250).
Lalu bagaimana keabsahannya jika orang tua mereka dalam masalah perkawinan
(perkawinan campur beda agama/gereja)? Kitab Hukum Kanonik 1983 memberikan
pernyataan demi sahnya pembaptisan itu meski orang tua mereka beda agama.
Kanon 868
berbicara tentang lecitasi pembaptisan anak (bayi). Apa yang dikatakan di dalam kanon
tersebut.
Dalam kanon 868, KHK 1983
menyatakan bahwa:
§1: ”agar bayi
dibaptis secara licit, haruslah: orang tuanya,
sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang menggantikan orang tuanya secara
legitim, menyetujuinya; ada harapan cukup
berdasarkan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu
tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan
memperingatkan orang tuanya mengenai alasan itu”,
§2: ”anak dari
orang tua Katolik, bahkan juga dari orang tua tidak Katolik, dalam bahaya maut
dibaptis secara licit, juga meskipun orang tuanya tidak menyetujuinya”.
Selain adanya unsur keabsahannya pembaptisan anak dituntut ada salah seorang pihak yang memberikan persetujuannya, perkawinan campur beda agama terdapat tuntutan janji bahwa pihak Katolik agar bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik (bdk. Kan 1125 no. 1). Bagaimana jika persoalan perkawinan mereka secara hukum belum beres. Pembaptisan tetap menjadi tanggungjawab orang tua meskipun perkawinan belum beres. Oleh karena itu, perlu ada perhatian pada pembaptisan anak sebagai nilai tertinggi penyelamatan jiwa-jiwa.
Persoalan kanonik bagi perkawinan akan juga berpengaruh bagi perkembangan
iman anak. Persoalan itu memang pelik apalagi jika dihadapkan dengan persoalan
kebebasan beragama. Kanon yang berhubungan dengan kebebasan beragama adalah
kanon 748 § 2. Kanon tersebut menyatakan bahwa: ”tidak seorangpun pernah boleh
memaksakan orang lain untuk memeluk iman Katolik, bila hal itu bertentangan
dengan suara hatinya”. Adakah pernyataan ini bertentangan dengan tugas dan
tanggungjawab orang tua anak dalam mendidik dan mengusahakan sekuat tenaga
untuk dibaptis dalam Gereja Katolik?
Para ahli hukum Gereja tidak melihat adanya kontradiksi antara kedua kanon
tersebut. Karena kan. 868 berbicara tentang lecitasi dari tindakan pembaptisan
dan kan 748§ 2 berbicara tentang kebebasan hati dalam memilih agama dan
aktualisasi dari keberimanan itu dijamin oleh hukum ilahi. Namun apa alasannya
seseorang membaptis bayi meskipun orang tuanya tidak beragama Katolik dan perkawinan
mereka bermasalah? Apa alasannya seseorang membaptis bayi atau anak dalam
keadaan demikian? Tentu ada prinsip-prinsip yang melatarbelakanginya.
Prinsip-prinsip
dasar pembaptisan anak
1. Persetujuan orang tua
Demi sahnya, tindakan pembaptisan pada bayi dibutuhkan persetujuan dari
salah satu atau kedua orang tuanya. Pernyataan ini berkaitan dengan kanon
sebelumnya yakni kan. 867 yang menyatakan bahwa para orang tua wajib
mengusahakan agar bayi dibaptis minggu-minggu pertama sesudah kelahirannya. Namun
pembaptisan anak yang orang tuanya bukan Katolik harus mendapat persetujuan
dari orang tua pihak bukan Katolik. Prinsip ini mau menghormati hak dari orang
tua yang bukan Katolik terhadap pembaptisan anak. Selain itu, nampak kanon ini
mau menekankan unsur kebebasan beragama. Hal seperti itu ditegaskan oleh ajaran
Konsili Vatikan II dalam Pernyataan tentang Kebebasan Beragama no. 2:
menyatakan bahwa ”pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu
berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang
perorangan maupun kelompok-kelompok sosial dan kuasa manusiawi manapun juga,
sedemikian rupa sehingga dalam hal keagamaan tak seorangpun dipaksa untuk
bertindak melawan suara hatinya…” (Dignitatis Humanae, no. 2). Maka pembaptisan
yang bertentangan dengan kehendak orang tuanya dilarang, namun hanya dalam
situasi bahaya maut anak dapat dibaptis meskipun tanpa persetujuan orang
tuanya.
2. Pendidikan iman anak tanggungjawab orang tua
Pendidikan iman anak merupakan tanggungjawab pertama dan utama dari orang
tua. Merekalah yang menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka mereka terikat
kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Terutama dalam keluarga kristen,
anak-anak sejak dini harus diajar mengenali Allah serta berbakti kepada-Nya dan
mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima di dalam sakramen
pembaptisan (bdk. Gravissimum Educationis, no. 3). Pernyataan ini berhubungan
erat dengan hak natural (kodrati) dari orang tua untuk mendidik anaknya dengan
sekuat tenaga agar mengikuti iman orang tuanya (bdk St. Thomas Aquinas hak
orang tua: Patria Potestas). Atas dasar itulah pembaptisan pada usia bayi dapat
dilakukan, karena dijamin oleh orang tua/walinya.
3. Salus animarum (Kan. 1752)
Dibalik pernyataan kanon 868 terdapat suatu prinsip yakni karya pelayanan
pastoral Gereja pertama dan utama demi keselamatan jiwa-jiwa, itulah hukum yang
tertinggi (bdk. Kan. 1752), Maka dalam pelayanan pastoral khususnya masalah
pembaptisan anak dari perkawinan yang bermasalah nilai keselamatan jiwa-jiwa
menjadi prinsip utama. Selain itu dalam kasus anak dalam bahaya mati (il pericolo di morte) melakukan
pembaptisan demi keselamatan jiwa anak itu hal yang penting dan pokok. Karena
itulah dalam keadaan bahaya mati meskipun orang tua tidak semua beragama
Katolik atau salah satunya beragama Katolik, tindakan pembaptisan bayi adalah
sah dan tidak bertentangan dengan kebebasan beragama.
Ada prinsip dasar yang sangat menarik, namun kurang mendapat perhatian dari pemimpin gereja, yaitu kanon 1752. Kanon ini bisa saja diterapkan pada hal yang, bukan cuma kasus baptisan saja.
BalasHapus