JALAN-JALAN KE WONOSARI
Tanggal 24 Desember 2013 pagi, sekitar pukul 05.50, saya tiba
di Yogya, tepatnya di Jombor. Ternyata tempat itu masih jauh dari kontrakan
Poldo dan Yudhi. Dengan menyewa ojek, aku menuju ke Kledokan. Untung waktu itu
tidak hujan, sehingga jalanan tidak becek. Setelah memberi Rp 35.000 untuk jasa
ojek, saya memasuki kontrakan Poldo.
Di kontrakan, saya disambut dengan hidangan sarapan pagi
istimewa: saksang dan kopi. Setelah sarapan dan bincang-bincang sejenak, saya
memilih untuk tidur. Maklum, sepanjang malam di bus Maju Lancar saya tak dapat
nyaman tidur dan lagi nanti malam hendak merayakan misa kudus Malam Natal.
Kebetulan waktu itu Yogya lagi diselimuti udara dingin, membuat saya langsung
terlelap. Saya terbangun pukul 15 lebih.
Tanggal 27 Desember Ibu Sulastri, yang juga berlibur di
Yogya, menelpon saya. Ia menginformasikan bahwa besok rombongannya (mbah, Dita
dan Tika) bersama keluarga adiknya akan jalan-jalan ke Wonosari. Ia menawarkan
kalau saya mau ikut. Kebetulan salah satu agenda wisata saya adalah Wonosari,
yaitu air terjun Sri Gethuk. Karena itu, saya langsung menyatakan ikut.
Tanggal 28, jam 05.15, saya menunggu jemputan di depan kampus
Atma Jaya. Sekitar 10 menit kemudian, rombongan Ibu Sulastri datang dengan
Avanza. Mobil penuh dengan penumpang: rombongan Ibu Sulastri ada 4, keluarga
adiknya juga ada 4 tambah saya dan keponakan Ibu Sulastri, Mbak Rara. Total
semua ada 10 orang. Segera kami melaju menuju Wonosari.
Memasuki Kabupaten Gudung Kidul hingga perhentian kami
pertama, Pantai Kukup, saya sungguh dibuat tercengang dengan indahnya
pemandangan. Satu hal yang membuat saya kagum adalah berubahnya persepsi saya
selama ini. Dari dulu, sejak SMA hingga saat ini (sebelum menginjakkan kaki di
wilayah Gunung Kidul), gambaran saya tentang Gunung Kidul adalah negatif:
kering, tandus dan terbelakang. Karena gambaran itu, Gunung Kidul identik
dengan daerah termiskin. Akan tetapi persepsi itu segera berubah total.
Sepanjang jalan, sama sekali saya tidak melihat adanya daerah kering dan
tandus. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah pemandangan hijau pepohonan.
Tempat wisata pertama yang kami kunjungi adalah Pantai Kukup.
Di sini rombongan mengisi perut, karena banyak yang belum sarapan pagi.
Sementara yang lain menikmati sarapannya, saya bersama Andre dan Ambro berjalan
menuju pantai. Di pantai ini ada banyak batu karang. Karena itu, tidak cocok
untuk berenang. Di sini selain menyajikan eksotisme pantai, juga ada kegiatan
menangkap ikan.
Saya melihat ada banyak anak-anak dan juga beberapa orang
dewasa asyik menangkap ikan. Bukan ikan besar, melainkan ikan kecil untuk
hiasan. Ada yang menggunakan serokan kecil yang dapat dibeli di warung-warung
dekat pantai, ada juga yang menggunakan gelas bekas minuman mineral. Andre dan
Ambro juga menggunakan alat itu.
Awalnya saya bersikap sinis terhadap mereka. Mana mungkin
menangkap ikan kecil yang lincah itu hanya menggunakan gelas bekas minuman
mineral? Saya melihat kedua saudara itu asyik dan tekun mencari dan
menguber-uber ikan. Saya memilih untuk berjalan menikmati daerah itu. Sekitar
10 menit kemudian saya kembali kepada mereka. Kali ini Dita sudah bersama
mereka. Saya iseng bertanya apakah mereka sudah dapat. Dengan bangga Andre
menjawab bahwa mereka sudah dapat dua ekor ikan. Mereka menunjukkan buktinya di
pantai, tempat kami meletakkan sendal. Di sana sudah duduk Mbah.
Saya tercengang! Mereka tidak main-main. Ada dua ekor ikan
kecil. Ternyata orang lain juga mendapatkan incaran mereka. Saya coba merenung:
bagaimana mungkin mereka bisa mendapatkan ikan kecil nan lincah itu? Akhirnya
saya menemukan jawaban: KETEKUNAN dan KESABARAN. Jika kita tekun dan sabar,
maka kita akan bisa menemukan apa yang kita impikan. Keberhasilan merupakan
buah dari ketekunan dan kesabaran.
Tak lama kemudian rombongan Ibu Sulastri datang ke pantai.
Setelah puas menikmati pantai, kami berangkat menuju Pantai Indrayanti. Di sini
pantainya berpasir sehingga cocok untuk mandi-mandi. Hanya ombaknya lumayan
besar. Maklum, masih satu barisan dengan Pantai Parangtritis, pantai Laut
Selatan. Keluarga adiknya Ibu Sulastri menikmati pantai dengan berenang di
tepian, sementara kami hanya menikmati keramaian dan beberapa jajanan kecil.
Dari Pantai Indrayanti, kami menuju Goa Maria Tritis. Di daerah parkiran kendaraan, ada banyak warung yang menjual benda-benda rohani. Ada juga yang menawarkan jasa payung. Sebelum mencapai goa, kami harus berjalan sejauh kira-kira 7 menit. Goa Maria ini merupaan goa alam. Cukup luas sehingga di dalam goa itu sendiri dapat menampung rombongan sebanyak sekitar 100 orang.
Setelah berdoa dan berfoto ria, kami menuju obyek wisata yang
merupakan target saya: Air Terjun Sri Gethuk. Namun sebelum menuju lokasi itu,
kami mencari warung makan untuk mengisi perut yang mulai keroncongan.
Sesudah menikmati masakan Padang, kami pun segera meluncur ke
lokasi air terjun Sri Gethuk. Sebelum menuju ke air terjun, kami mencoba
menikmati Goa Rancang Kencono. Jarak goa dan air terjun tidaklah terlalu jauh.
Hanya sekitar 1 km saja.
Goa Rancang Kencono berada di bawah naungan pohon Klimpit
besar. Goa ini, pada masa dulu, sering digunakan orang untuk bersemedi. Goa
Rancang Kencono memiliki dua ruangan. Bagian pertama yang cukup luas disebut
dengan istilah ruang pendopo. Di sini biasa digunakan untuk pertemuan, diskusi,
dll. Bagian kedua, yang lebih sempit dari ruang pertama (sekitar 3 x 3 meter),
disebut ruang semedi. Ruangan ini, sesuai dengan namanya, dipakai untuk
bersemedi. Di dalam ini cukup lembab. Antara ruang pendopo dan ruang semedi
dihubungi “pintu” kecil. Kalau kita mau masuk, maka kita harus merunduk.
Dari lokasi ini kami menuju ke air terjun. Sampai di parkiran
kami berjalan menuju lokasi. Mbah dan mbak Rara menunggu di parkiran. Untuk
menuju lokasi air terjun, dapat ditempuh dengan dua cara: jalan kaki dan naik
kapal. Kami memilih naik kapal. Di lokasi air terjun sudah banyak orang. Ada
yang mandi, ada juga yang hanya sekedar melihat-lihat.
Jarum jam sudah dekat menunjuk angka 3. Kami pun beranjak
dari lokasi. Tujuannya pulang. Namun sebelum kembali ke Yogya, kami menikmati
pemandangan alam di Bukit Bintang. Dari sini kita dapat melihat Gunung Merapi
dan kota Yogyakarta. Di sini kami menikmati kelapa dan jagung bakar.
Pukul 19 lewat saya sampai di kontrakan. Setelah mandi, saya
langsung baring dan tidur.
Bandung, 12 Januari 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar