JALAN-JALAN KE PARANGTRITIS
Tanggal 29 Desember, sesuai janji saya kepada Yovan, saya
meninggalkan kontrakan Poldo menuju daerah Terban, belakang Mirota Kampus. Di
sana ada Yohanes Fortunatus Jawa, adik kelas di Hokeng dan STSP
Pematangsiantar. Saat itu, Yovan, demikian dia sering disapa, sedang kuliah di
UGM. Dia utusan pemda Nagekeo. Sekitar jam 09.00 saya tiba di tempat kosannya.
Kami ngobrol santai
soal masa lalu dan juga soal pekerjaannya. Tak lupa juga dia bertanya tentang
keuskupan, sebagai pengobat rindu. Saya sangat terkesan dengannya. Selama kami ngobrol, alat-alat komunikasi jauh dari
kami, seakan pembicaraan kami tak mau diganggu oleh media komunikasi tersebut.
Jam 12.30 kami keluar mencari makan. Setelah makan siang,
kami meluncur ke Pantai Parangtritis dengan mengendarai motor. Ternyata
jaraknya lumayan jauh dan sedikit melelahkan. Sebelum masuk Pantai
Parangtritis, Yovan mengajak saya menuju Pantai Depok. Sebenarnya pantai ini
masih satu pesisir. Malahan dengan Pantai Kukup dan Pantai Indrayanti juga
masih “sekeluarga”, sebagai rumpun pantai Selatan.
Di pantai sudah ada banyak pengunjung. Satu hal yang unik
dari pantai ini adalah pasirnya. Warna pasirnya hitam, tidak seperti saudara
mereka, Pantai Indrayanti yang berpasir putih. Ombak laut cukup kencang. Banyak
anak-anak dan orang tua mandi di bibir pantai, sesuai perintah yang tertulis di
pantai. Di tepi pantai ada beberapa perahu nelayan ditambatkan. Mereka tidak
melaut mungkin lantaran ombak.
Di pantai ada wahana rekreasi dengan menggunakan motor empat
roda. Dengan motor ini orang bisa sedikit bermain-main ketangkasan. Namun waktu
bermainnya dibatasi. Ruang bermainnya pun tidak luas.
Saya dan Yovan menghampiri sebuah warung. Kami memesan kelapa
muda. Kami duduk menikmati kelapa muda sambil melihat-lihat pantai dengan
segala macam aktivitasnya. Setelah merasa puas, kami pun beranjak menuju
Parangtritis. Kami memilih jalan menyusuri pantai, mengingat Pantai
Parangtritis masih satu jalur dengan Pantai Depok.
Suasana Pantai Parangtritis tidak jauh beda dengan
tetangganya. Ombaknya besar, pasirnya hitam dan banyak orang bermain dan
berenang di tepian pantai. Di sini pun ada wahana bermain motor empat roda.
Yang membuat pantai ini memiliki nilai plus adalah di pantai ini biasa
dijadikan tempat pendaratan atlet paralayang dan ada juga kereta kencana yang
siap membawa pengunjung menyusuri pantai. Waktu kami tiba, ada sekitar 5
paralayang sedang melayang-layang di atas pantai.
Setelah lama menikmati panorama pantai, saya dan Yovan
sependapat bahwa sebenarnya pantai Parangtritis dan Depok tak jauh beda dengan
pantai-pantai yang ada di Flores. Di Flores pun banyak memiliki pantai yang
eksotis. Akan tetapi, Flores kalah dalam promosi.
Dari Depok hingga Parangtritis, satu pertanyaan kami adalah
sebenarnya apa yang bisa dinikmati dari kedua pantai ini. Mau berenang tak bisa
puas, karena hanya sebatas bibir pantai saja. Paling datang hanya untuk
menikmati deburan ombak dan teriknya matahari. Namun, biar bagaimanapun, saya
akhirnya sudah menapakkan kakiku di pantai yang sering disebut-sebut orang.
Sekedar saran, kalau hendak mengunjungi Pantai Parangtritis
atau Depok, ada baiknya datang mulai dari pukul 16.30, di saat matahari mulai
redup teriknya. Alasannya, di sekitar pantai tidak ada pepohonan yang dapat
menjadi tempat untuk berteduh. Dan kalau kita datang di atas pukul 16.30, maka
tak lama kemudian kita akan menikmati sun
set.
Ketika sang surya nyaris tenggelam, kami pun berangkat
pulang. Malam itu saya menginap di kosan Yovan.
Bandung, 13 Januari 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar