SANTO SARBEL MAKLOUF,
PENGAKU IMAN
Seorang gadis dan seorang biarawati dengan mata terbelalak
memandang ke arah dinding batu karang yang terletak di hadapan mereka. Mereka
heran karena melihat bahwa batu (nisan) itu mengeluarkan peluh. Tetesan-tetesan
air keluar dari permukaannya. Seperti kena hipnose, gadis itu mengulurkan dan
menempelkan tangannya yang lumpuh itu pada batu itu. Sementara itu biarawati
itu pun merasa tegang seluruh tubuhnya. Gadis lumpuh yang gemetaran itu, lalu
terjatuh di pangkuan biarawati yang sedang tegang itu. Ketika gadis itu siuman
lagi, ia merasa sudah terbebas dari penyakit lumpuh yang telah dideritanya
selama 14 tahun. Bekas-bekas kelumpuhan pun tidak kelihatan lagi. Sekarang ia
telah bersuami dan tinggal di Libanon.
Batu (nisan) yang bertuliskan huruf-huruf Arab itu mengingatkan penduduk
setempat akan suatu peristiwa penyembuhan yang terjadi di situ pada tahun 1951.
Batu itu adalah batu kubur Sarbel Maklouf, seorang rahib Gereja Maronit
Libanon, yang dijuluki "Bapa Kami" oleh orang-orang Libanon, baik
Kristen maupun Islam.
Pada tahun 1822, para rahib Maronit di Libanon membangun
biara Maron d'Annaya, yang terletak di pegunungan Libanon. Tigapuluh tahun
setelah biara itu berdiri, datanglah ke biara itu seorang pemuda sederhana dan
miskin dengan pakaian yang tak teratur. Pemuda itulah Sarbel Maklouf. Semula
Sarbel adalah petani dan gembala miskin di pegunungan Libanon. Menginjak usia
23 tahun, ia meninggalkan desanya, lalu melangkahkan kakinya ke daerah
pegunungan Annaya menuju sebuah biara yang ada di sana. Ia diterima masuk biara
itu untuk selamanya. Di sana ia belajar teologi dan giat membantu di paroki.
Dalam waktu relatif singkat Sarbel segera terkenal di antara kaum Badui,
petani-petani miskin di pegunungan, orang-orang Kristen dan kaum Muslim. Ia
selalu menolong mereka yang menderita dan menghibur orang-orang yang bersusah.
Pengetahuannya sangat luas tentang rempah-rempah dan aneka jenis tumbuhan yang
dapat digunakan sebagai obat. Sesuatu yang luar biasa tidak tampak pada
dirinya. Demikian juga setelah ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1859, ia
tetap seorang rahib yang rendah hati, sederhana dan rajin membantu siapa saja
yang meminta bantuannya.
Duapuluh tiga tahun terakhir hidupnya, ia bertapa di puncak
gunung Annaya, dekat dengan biaranya. Dalam biliknya yang sempit, Pastor Sarbel
kusuk berdoa sampai larut malam. Pada waktu subuh ia sudah bangun untuk berdoa
sebelum merayakan Misa Kudus. Ia selalu sendirian dan bekerja keras di kebun.
Ia hanya makan sekali sehari dan itu pun tidak sampai kenyang. Sehari-harinya
pertapa ini tidak banyak bicara. Dengan selembar kain yang membelit tubuhnya ia
melawan panas dan dinginnya udara yang tidak kenal kompromi. Suatu hari
halilintar menyambar kapelnya dan mengoyakkan jubah yang sedang dikenakannya.
Namun aneh bahwa Sarbel yang sedang berdoa itu tidak terkena sedikit pun dan
terus berdoa dengan tenang. Di tempat pertapaannya itu, Pastor Sarbel
menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 16 Desember 1898. Jenazahnya
diletakkan di atas dua lembar papan dan dimasukkan ke dalam lobang yang dipahat
pada batu karang.
Sehabis penguburan Pastor Sarbel, orang-orang Badui
menyaksikan suatu peristiwa ajaib yang membingungkan mereka: dari makam Sarbel
itu terpancarlah berkas-berkas cahaya biru selama 45 hari penuh setelah
penguburannya. Hal ini pun dilihat oleh rekan imamnya yang lain: Pastor Elie
Abi-Ramia yang berusia 97 tahun dan satu-satunya imam Maronit yang masih hidup
di antara biarawan-biarawan yang tinggal bersama Sarbel dibiara Santo Maron
d'Annaya. Ia juga hadir pada upacara penguburan Sarbel Maklouf rekannya pada
tahun 1898. Tentang Sarbel, ia berkomentar: "Sarbel Maklouf semasa hidupnya
dikenal sangat sederhana, rajin dan menaruh perhatian besar kepada orang-orang
miskin dan bersusah. Tidak ada sesuatu keistimewaan yang luar biasa pada
dirinya. Yang tampak menonjol ialah bahwa ia rajin berdoa dan tekun
memperhatikan orang-orang miskin."
Tahun-tahun berikutnya makam itu menjadi tempat ziarah yang
ramai dikunjungi. Di sana terjadi mujizat penyembuhan berbagai jenis penyakit.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, setelah menyaksikan berbagai mujizat penyembuhan
di makam itu, makam Sarbel menarik perhatian Vatikan untuk turun tangan
menyelidikinya.
Atas perintah Vatikan, jenazah rahib saleh itu dikeluarkan
kembali dari makamnya untuk diselidiki kebenaranriya. Vatikan mengirim
dokter-dokter ahli dan para sarjana dari berbagai disiplin ilmu untuk menyelidiki
makam dan jenazah Sarbel dan berbagai penyembuhan yang terjadi di makamnya.
Makam itu, yang berbentuk sebuah lobang pahatan di dalam batu karang dan
ditutup dengan batu itu, disegel dan dipasangi pintu besi yang berjeruji. Kunci
pintu makam itu disimpan oleh ketua panitia internasional yang beranggotakan
dokter-dokter ahli dan para sarjana itu. Mereka, bersama rekan-rekan Sarbel
yang tinggal di biara Maron d'Annaya, heran menyaksikan bahwa meskipun sudah 68
tahun wafat dan dikuburkan, jenazah Sarbel masih dalam keadaan utuh.
Mereka terus menyelidiki kalau-kalau batu makam tersebut
mengandung zat-zat kimia yang mempunyai daya pengawet. Tetapi penyelidikan itu
tidak menemukan hal itu. Maka selama 6 tahun, jenazah Sarbel Maklouf dimasukkan
kembali ke dalam sebuah lobang dalam batu karang untuk melihat apakah jenazah
itu masih tetap mengeluarkan peluh keringat. Karena peluh itu tetap mengalir,
jenazah Sarbel dikeluarkan lagi dan dijemur selama tujuh bulan. Akibat
penjemuran itu, warna kulit Sarbel menjadi sawo matang dan kulitnya mengerut,
sambil tetap mengeluarkan peluh sampai tahun 1927.
Dalam penyelidikan selanjutnya terjadi hal-hal baru yang
mengherankan para dokter: ketika jenazah itu diiris sedikit dengan pisau
keluarlah darah. Memang warna darah itu hitam, namun anehnya bahwa darah itu
terus mengalir keluar seperti orang yang masih hidup. Contoh darah ini dengan
bukti-bukti lain yang tak terhitung jumlahnya disimpan di dalam sebuah lemari
kaca yang disegel. Sementara itu lembaga-lembaga di Italia, Prancis dan Jerman
terus menyelidiki darah itu di laboratorium-laboratorium terkenal. Hasil
analisa-analisa itu dikirim ke Vatikan.
Setelah melewati berbagai penyelidikan yang mutakhir,
akhirnya Sarbel dinyatakan sebagai 'kudus' oleh Paus Paulus VI (1963-1978) pada tanggal 5 Desember 1965 di basilik Santo Petrus Roma. Hingga
sekarang bekas tempat tinggal dan makam Sarbel Maklouf menjadi tempat ziarah
terkenal di Libanon, yang dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru dunia,
baik Kristen maupun Islam dan Yahudi, terlebih orang-orang Badui setempat.
Tentang mujizat penyembuhan di makam Sarbel Maklouf, Pater
Joseph Ejail, seorang imam dari biara Maron d'Annaya yang menguasai tiga bahasa
asing dan mengajar di sekolah-sekolah Libanon, memberikan kesaksian pandangan
mata berikut: "Di muka makam itu duduk sepasang suami-isteri dari Syria.
Mereka orang Islam. Di samping mereka, berbaring anak lelaki mereka berumur 6
tahun di atas sebuah usungan. Oleh dokter-dokter, anak lelaki itu dikatakan
tidak bisa sembuh lagi dari kelumpuhannya. Kira-kira setelah sejam mereka
berdoa di makam itu, Bapa anak itu menyaksikan peristiwa ajaib kesembuhan
anaknya. Anaknya yang lumpuh sejak kecil itu sekonyong-konyong bangkit dan
berjalan tegak. Bapa itu langsung jatuh pingsan melihat peristiwa ajaib itu.
Demikian juga isterinya; ia tak berdaya karena lemas seluruh badannya. Setelah
siuman dan kuat kembali, ia membimbing keluar anak dan isterinya yang lemas
itu", demikian kisah pandangan mata Pater Joseph Ejail untuk menguatkan
mujizat-mujizat penyembuhan yang terjadi di makam Santo Sarbel Maklouf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar