Minggu, 28 Juli 2013

Membentuk Manusia

Dalam penilaian kinerja, mulai dari tingkat supervisor sampai manajer senior, aspek “developing others” bisa dipastikan selalu ada di antara penilaian kompetensi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kita meyakini kegiatan pengembangan anak buah ini sangat penting. Kita sadar bahwa apapun bisnis dan organisasinya, manusia adalah aset “intangible” terpenting, bahkan juga aset terbesar. Pertanyaannya, dalam organisasi kita, berapa banyak dari jajaran pimpinan yang sudah mendapat nilai “baik” atau “memuaskan” pada aspek developing others ini? Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa di banyak perusahaan, bahkan perusahaan yang dinilai memiliki sistem talent management yang sudah mumpuni, skor developing others ini mayoritas rendah dibandingkan dengan skor-skor lainnya. Apakah ini disebabkan masing-masing individu cenderung semata memikirkan karier pribadinya daripada masa depan anak buah atau masa depan perusahaan?

Kita bisa merasa sedikit lega karena penelitian menunjukkan bahwa kesadaran bahwa manusia itu penting tetap ada. Tantangannya adalah karena pengembangan manusia ini memakan waktu yang panjang dan membutuhkan keseriusan serta pendalaman mengenai sifat manusia. Kesulitan menguasai aset bisnis paling berharga ini kadang menyebabkan aktivitas pengembangan manusia menjadi seperti lingkaran setan. Semakin tidak bisa mendalaminya, semakin kita merasakan kesenjangannya. Semakin merasakan kesenjangan, semakin kita merasa kesal terhadap kondisi sumber daya manusia yang tidak akomodatif. Pada akhirnya, kita lebih sering mengeluh dan memiliki anggapan  bahwa memang manusianya yang payah dan tidak mau dikembangkan.

Mentalitas Perajin
Kita pasti setuju bahwa bila akan “membuat” sesuatu dengan kualitas baik, kita perlu menanganinya secara telaten, mendetail, mengikuti SOP dalam setiap langkahnya. Kita tahu, pengembangan manusia tidak sepenuhnya bisa dibandingkan dengan proses produksi massal, misalnya produksi mobil. Dalam memproduksi mobil, kita bisa mengotomatisasi banyak hal tanpa perlu banyak human touch. Memproduksi orang mungkin lebih bisa kita analogikan dengan seniman perajin produk yang harus menggunakan hati dalam menghasilkan sebuah karya, memperhatikan detail serta menunjukkan kesabaran dan ketelatenan dalam setiap karyanya.

Para perajin produk sadar bahwa setiap material mempunyai karakter yang berbeda. Serat kayu dari satu batang pohon saja bisa berbeda karakter, warna dan ukuran. Saat kekurangan bahan dengan ukuran tertentu, akankah mereka berhenti berproduksi? Tentu tidak. Karya akan dibentuk menyesuaikan dari bahan yang ada. Karya itu tidak jadi kehilangan nilai tambah, malahan bisa menjadi barang yang unik dan artistik. Para perajin juga tidak bisa “semau gue”, tetapi tetap harus punya standar “compliance”. Selain harus memperhatikan cara menjemur dan kemiringan material saat dijemur, mereka perlu memastikan tingkat kekeringan bahan dan berapa lama harus menunggu sebelum bahan diproses lebih lanjut. Ini jelas membutuhkan kesabaran dan persistensi. Satu hal lagi, ketrampilan tangan pun harus terlatih. Tidak ada artis perajin yang tiba-tiba piawai membuat karya yang halus dan bermutu. Dia harus belajar dari yang mudah-mudah, kasar-kasar, sampai yang canggih dan halus.

Kita bisa mengadaptasi mentalitas perajin karya dalam mengelola dan memproduksi manusia. Kita tahu setiap individu unik., “bahan”nya tidak sama sehingga kitalah yang harus mengerti dan mendalaminya. Bila di sini saja sudah mentok karena merasa bahwa bawahan adalah makhluk yang sulit dimengerti, kita tidak punya jalan untuk maju. Kita akan terjebak pada realitas seperti kekurangan orang, tidak ada ahli, dan yang paling parah tidak adanya suksesi. Seperti halnya para perajin, sebagai atasan, kita pun perlu telaten, jeli, dan terus mengasah minat bahkan “passion” kita untuk menelaah dan mencetak bawahan yang hebat dan berkualitas dengan seksama.

Seni “Mencetak” Manusia
Gejala “Turnover” karyawan yang dulu dipandang sebagai hilangnya loyalitas sekarang dianggap sebagai fakta yang tidak mengejutkan, tetapi harus diperhitungkan. Maraknya orang keluar masuk tentu menjadikan arus perekrutan “special hires” semakin marak. Kondisi ini bagi “orang dalam” kerap dilihat sebagai ancaman dan menimbulkan perasaan dinomorduakan. Kita perlu juga mewaspadai bahwa bila karyawan mulai merasa meaningless, tetapi tetap bercokol di perusahaan. Dalam mengelola manusia pun kita perlu memastikan bahwa mobilitas manusia senantiasa dijaga dan digalakkan. Hal ini karena mobilitas ibarat denyut jantung perusahaan, bila melemah, badan tidak sehat. Begitu juga kalau jantung berdegup terlalu kencang.

Kita memang perlu selalu mengevaluasi berbagai aspek people management. Pertama, kompensasi atau imbalan hasil kerja haruslah menarik, semenarik tantangan kerjanya. Seorang ahli mengatakan, “Your top talent wants to work with other talented people, and their networks may be better than yours.” Artinya kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa “pasaran gaji” perlu kompetitif. Karyawan akan membandingkan dan akan berkata “baik” bila paket remunerasi kita baik atau juga sebaliknya. Pada saat kita mengincar orang bagus dari luar perusahaan, orang luar pun di saat yang sama mengincar orang potensial yang ada di tempat kita. Sekali kita teledor mengembangkan kompetensi individu dan menjaga orang dalam tim, akan “kecolongan”lah kita. Mengingat generasi sekarang adalah generasi yang gemar hal instan, kita tidak lagi bisa menyuguhkan jenjang karier yang bersusun dari tahun ke tahun. Individu semakin tidak sabar menunggu untuk “dinaikkan pangkatnya”. Untuk itu, perusahaan perlu menciptakan chemistry yang tepat untuk tim kerja, sambil menyakinkan “right mix of people”, menyesuaikan kompetensi dan ekspertisnya agar kinerja optimal, mencocokkan aspirasi individu dengan kebutuhan pasar, sehingga kita bisa menghasilkan kemesraan dalam tim dan sekaligus karyawan yang betah bertahan bekerja di perusahaan dengan tantangan yang tak kunjung habis.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS, 28 Juli 2012, hlm 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar