Dalam penilaian kinerja, mulai dari tingkat supervisor sampai
manajer senior, aspek “developing others”
bisa dipastikan selalu ada di antara penilaian kompetensi. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa kita meyakini kegiatan pengembangan anak buah ini sangat
penting. Kita sadar bahwa apapun bisnis dan organisasinya, manusia adalah aset “intangible” terpenting, bahkan juga aset
terbesar. Pertanyaannya, dalam organisasi kita, berapa banyak dari jajaran
pimpinan yang sudah mendapat nilai “baik” atau “memuaskan” pada aspek developing others ini? Sebuah hasil
penelitian menunjukkan bahwa di banyak perusahaan, bahkan perusahaan yang
dinilai memiliki sistem talent management
yang sudah mumpuni, skor developing
others ini mayoritas rendah dibandingkan dengan skor-skor lainnya. Apakah ini
disebabkan masing-masing individu cenderung semata memikirkan karier pribadinya
daripada masa depan anak buah atau masa depan perusahaan?
Kita bisa merasa sedikit lega karena penelitian menunjukkan
bahwa kesadaran bahwa manusia itu penting tetap ada. Tantangannya adalah karena
pengembangan manusia ini memakan waktu yang panjang dan membutuhkan keseriusan serta
pendalaman mengenai sifat manusia. Kesulitan menguasai aset bisnis paling
berharga ini kadang menyebabkan aktivitas pengembangan manusia menjadi seperti
lingkaran setan. Semakin tidak bisa mendalaminya, semakin kita merasakan
kesenjangannya. Semakin merasakan kesenjangan, semakin kita merasa kesal
terhadap kondisi sumber daya manusia yang tidak akomodatif. Pada akhirnya, kita
lebih sering mengeluh dan memiliki anggapan
bahwa memang manusianya yang payah dan tidak mau dikembangkan.
Mentalitas
Perajin
Kita pasti setuju bahwa bila akan “membuat” sesuatu dengan
kualitas baik, kita perlu menanganinya secara telaten, mendetail, mengikuti SOP
dalam setiap langkahnya. Kita tahu, pengembangan manusia tidak sepenuhnya bisa dibandingkan
dengan proses produksi massal, misalnya produksi mobil. Dalam memproduksi
mobil, kita bisa mengotomatisasi banyak hal tanpa perlu banyak human touch. Memproduksi orang mungkin
lebih bisa kita analogikan dengan seniman perajin produk yang harus menggunakan
hati dalam menghasilkan sebuah karya, memperhatikan detail serta menunjukkan
kesabaran dan ketelatenan dalam setiap karyanya.
Para perajin produk sadar bahwa setiap material mempunyai
karakter yang berbeda. Serat kayu dari satu batang pohon saja bisa berbeda
karakter, warna dan ukuran. Saat kekurangan bahan dengan ukuran tertentu,
akankah mereka berhenti berproduksi? Tentu tidak. Karya akan dibentuk
menyesuaikan dari bahan yang ada. Karya itu tidak jadi kehilangan nilai tambah,
malahan bisa menjadi barang yang unik dan artistik. Para perajin juga tidak bisa
“semau gue”, tetapi tetap harus punya standar “compliance”. Selain harus memperhatikan cara menjemur dan
kemiringan material saat dijemur, mereka perlu memastikan tingkat kekeringan bahan
dan berapa lama harus menunggu sebelum bahan diproses lebih lanjut. Ini jelas
membutuhkan kesabaran dan persistensi. Satu hal lagi, ketrampilan tangan pun
harus terlatih. Tidak ada artis perajin yang tiba-tiba piawai membuat karya
yang halus dan bermutu. Dia harus belajar dari yang mudah-mudah, kasar-kasar,
sampai yang canggih dan halus.
Kita bisa mengadaptasi mentalitas perajin karya dalam
mengelola dan memproduksi manusia. Kita tahu setiap individu unik., “bahan”nya
tidak sama sehingga kitalah yang harus mengerti dan mendalaminya. Bila di sini
saja sudah mentok karena merasa bahwa bawahan adalah makhluk yang sulit
dimengerti, kita tidak punya jalan untuk maju. Kita akan terjebak pada realitas
seperti kekurangan orang, tidak ada ahli, dan yang paling parah tidak adanya
suksesi. Seperti halnya para perajin, sebagai atasan, kita pun perlu telaten,
jeli, dan terus mengasah minat bahkan “passion”
kita untuk menelaah dan mencetak bawahan yang hebat dan berkualitas dengan
seksama.
Seni “Mencetak” Manusia
Gejala “Turnover”
karyawan yang dulu dipandang sebagai hilangnya loyalitas sekarang dianggap
sebagai fakta yang tidak mengejutkan, tetapi harus diperhitungkan. Maraknya orang
keluar masuk tentu menjadikan arus perekrutan “special hires” semakin marak. Kondisi ini bagi “orang dalam” kerap
dilihat sebagai ancaman dan menimbulkan perasaan dinomorduakan. Kita perlu juga
mewaspadai bahwa bila karyawan mulai merasa meaningless,
tetapi tetap bercokol di perusahaan. Dalam mengelola manusia pun kita perlu
memastikan bahwa mobilitas manusia senantiasa dijaga dan digalakkan. Hal ini
karena mobilitas ibarat denyut jantung perusahaan, bila melemah, badan tidak
sehat. Begitu juga kalau jantung berdegup terlalu kencang.
Kita memang perlu selalu mengevaluasi berbagai aspek people management. Pertama, kompensasi
atau imbalan hasil kerja haruslah menarik, semenarik tantangan kerjanya. Seorang
ahli mengatakan, “Your top talent wants
to work with other talented people, and their networks may be better than
yours.” Artinya kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa “pasaran gaji” perlu kompetitif. Karyawan akan membandingkan
dan akan berkata “baik” bila paket remunerasi kita baik atau juga sebaliknya. Pada
saat kita mengincar orang bagus dari luar perusahaan, orang luar pun di saat
yang sama mengincar orang potensial yang ada di tempat kita. Sekali kita
teledor mengembangkan kompetensi individu dan menjaga orang dalam tim, akan “kecolongan”lah
kita. Mengingat generasi sekarang adalah generasi yang gemar hal instan, kita
tidak lagi bisa menyuguhkan jenjang karier yang bersusun dari tahun ke tahun. Individu
semakin tidak sabar menunggu untuk “dinaikkan pangkatnya”. Untuk itu,
perusahaan perlu menciptakan chemistry
yang tepat untuk tim kerja, sambil menyakinkan “right mix of people”, menyesuaikan kompetensi dan ekspertisnya
agar kinerja optimal, mencocokkan aspirasi individu dengan kebutuhan pasar,
sehingga kita bisa menghasilkan kemesraan dalam tim dan sekaligus karyawan yang
betah bertahan bekerja di perusahaan dengan tantangan yang tak kunjung habis.
by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS, 28 Juli 2012, hlm 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar