Hukum
Adalah Panglima
Siapa yang tidak kenal dengan presiden kita yang
selalu dinilai orang tidak mempunyai ketegasan? Dialah Susilo Bambang
Yudhoyono. Banyak orang menggambarkan ketidaktegasan SBY dengan berbagai macam
istilah. Ada yang mengatakan “memble” dan ada juga yang bilang “penakut”. Ada
banyak istilah yang dipakai untuk menggambarkan ketidaktegasan beliau.
Akan tetapi, bila dicermati dengan teliti, sebenarnya
SBY mau menunjukkan ketegasannya. Namun ketegasan itu bukan lahir dari dalam
dirinya sendiri (wisdom), melainkan dari luar dirinya, yaitu hukum atau
aturan. Bagi Presiden SBY hukum atau aturan adalah panglima. Siapa saja harus
taat, termasuk dirinya. Berangkat dari pemikiran inilah maka Pak Beye selalu
melihat segala sesuatu itu harus sesuai dengan konstitusi. Konstitusi wajib
dijunjung tinggi. Inilah yang menjadi prinsip SBY.
Nah, pada titik inilah bisa dikatakan bahwa SBY tegas.
Ia tegas menjalankan prinsipnya berkaitan dengan konstitusi. Namun, bila
ditelusuri baik-baik, semua itu hanyalah pencitraan saja. Dengan tegas pada
prinsip orang akan menilai SBY sebagai orang yang taat pada hukum.
Tersandera
Prinsip Sendiri
Ada dua kasus saat ini yang sedang dihadapi oleh
Susilo Bambang Yudhoyono. Dua kasus ini benar-benar menguji dirinya. Dua kasus
ini juga menyangkut dirinya sebagai pimpinan bangsa dan pimpinan partai
penguasa.
Kasus pertama adalah soal pemakzulan Bupati Garut, Aceng.
Sebagaimana sudah diketahui umum bahwa DPRD Garut sudah mengajukan pemakzulan
atas diri Aceng sebagai Bupati Garut kepada presiden. Keputusan final ada di
tangan presiden. SBY sadar bahwa jika mengikuti konstitusi, tidak ada alasan
tepat untuk memberhentikan Aceng. Dan kalaupun Aceng diberhentikan, maka
efeknya kena kepada pegawai-pegawai lainnya.
Terhadap kasus pertama ini SBY menghadapi dilema:
menjalankan prinsip atau mengikuti kemauan rakyat. Jika ia mengikuti
prinsipnya, ia akan dikecam oleh rakyat, karena begitu banyak rakyat menuntut
Bupati Aceng mundur. Tentulah hal ini akan merusak citranya. Dan hal ini tidak
sejalan dengan hobi SBY. Bukankah SBY suka akan pencitraan? Namun jika ia ikuti
kemauan rakyat, ia menyalahi prinsipnya. Dan itupun akan merusak citranya
sebagai orang yang selalu menjunjungi tinggi konstitusi. Maju kena, mundur juga
kena.
Kasus kedua menyangkut diri SBY sebagai Dewan Pembina Partai
Demokrat. Tentulah ini dikaitkan dengan masalah internal partai. Kasus ini
mencuat setelah muncul survei dari lembaga survei Saiful Mujani Research and
Consulting yang mengatakan bahwa elaktibilitas Partai Demokrat menurun
drastis. Faktor penyebabnya adalah ketidakjelasan status Ketua Umumnya, Anas
Ubraningrum. Ada begitu banyak suara yang mendesak agar Anas mundur dari
jabatan Ketua Umum demi penyelamatan partai. Tak kurang beberapa anggota dewan
pembina pun turut bersuara. Menghadapi tuntutan ini, Anas tetap ngotot tidak
mau mundur. Malah ia balik menantang. “Siapa yang meminta (saya mundur)? Saya
enggak dengar apa-apa itu,” kata Anas saat ditemui di Jakarta Convention
Center, Selasa (5/2/2013) malam. Karena itulah beberapa petinggi Partai
Demokrat menyerukan agar SBY “turun gunung” menyelesaikan konflik internal
partai.
Sama seperti kasus pertama di atas, pada kasus kedua
ini pun SBY menghadapi dilema: menjalankan prinsip atau mengikuti kemauan kader
partai. Jika ia mengikuti prinsipnya, ia akan dikecam oleh kader dan berdampak
buruk bagi keberadaan partainya. Tentulah hal ini akan merusak citranya.
Bukankah SBY suka akan pencitraan? Namun jika ia ikuti kemauan kader, ia
menyalahi prinsipnya. Dan itupun akan merusak citranya sebagai orang yang
selalu menjunjungi tinggi konstitusi. Bukankah SBY selalu mengatakan bahwa
segala masalah dalam partai diselesaikan sesuai dengan mekanismenya. Ada
konstitusinya. Ada ADRT-nya. Maju kena, mundur juga kena.
Terhadap dua kasus tersebut, jelas SBY tidak bisa
langsung mengambil kebijaksanaan. Ia bingung. Dan karena itulah, SBY akhirnya
tersandera oleh prinsipnya sendiri. Ia terlalu kaku menafsirkan soal
konstitusi. Apa yang harus ditempuh oleh SBY?
Umroh
Politik
Saat ini dikabarkan bahwa SBY sedang menjalankan
Umroh. Ada yang mengatakan bahwa Pak Presiden berangkat Umroh dengan membawa
masalah ini. Ia hendak meminta petunjuk pada Allah. Karena itulah, umroh kali
ini merupakah umroh politik.
Umroh politik yang dipilih SBY adalah sangat cerdik.
Di sini secara tidak langsung SBY mau lepas tangan terhadap masalah ini, karena
keputusan yang akan dihasilkan nantinya bukanlah merupakan keputusannya
pribadi, melainkan keputusan Allah.
Hal ini berkaitan dengan masalah yang dihadapi SBY.
Kedua kasus itu kena kepada pribadi yang beragama islam. Aceng adalah sarjana
agama, sedangkan Anas adalah mantan ketua HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kedua
tokoh ini sangat lekat dengan keislamannya. Sebagai seorang muslim, tentulah
mereka harus taat kepada Mekkah dan Tuhan. Bukankah dalam islam, Mekkah menjadi
kiblatnya?
Karena itulah, SBY akan mengatakan bahwa masalah ini
(kasus Aceng dan Anas) dibawa ke Mekkah, yang merupakan kota suci bagi umat
islam. Di sana SBY minta petunjuk dari Tuhan. Sehingga apapun keputusannya
harus dilihat ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Malah dapat dikatakan bahwa
keputusan itu adalah keputusan Tuhan. SBY hanya membawa dan mendengarkannya
saja.
Jadi, jika akhirnya ada keputusan bahwa Aceng dan Anas
harus mundur dari jabatannya masing-masing, itu adalah keputusan Tuhan bukan
keputusan SBY. Nah, siapa yang mau melawan Tuhan? Sebagai seorang muslim yang
taat, ia harus ikuti keputusan tersebut. Melawan keputusan itu berarti bukan
saja melawan Tuhan, melainkan juga melawan umat islam lainnya. Di sinilah
kecerdikan SBY. Aceng dan Anas bukan saja berhadapan dengan dirinya, melainkan
dengan rakyat islam.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar