Kamis, 07 Februari 2013

Umroh Politik Sang Presiden



Hukum Adalah Panglima
Siapa yang tidak kenal dengan presiden kita yang selalu dinilai orang tidak mempunyai ketegasan? Dialah Susilo Bambang Yudhoyono. Banyak orang menggambarkan ketidaktegasan SBY dengan berbagai macam istilah. Ada yang mengatakan “memble” dan ada juga yang bilang “penakut”. Ada banyak istilah yang dipakai untuk menggambarkan ketidaktegasan beliau.

Akan tetapi, bila dicermati dengan teliti, sebenarnya SBY mau menunjukkan ketegasannya. Namun ketegasan itu bukan lahir dari dalam dirinya sendiri (wisdom), melainkan dari luar dirinya, yaitu hukum atau aturan. Bagi Presiden SBY hukum atau aturan adalah panglima. Siapa saja harus taat, termasuk dirinya. Berangkat dari pemikiran inilah maka Pak Beye selalu melihat segala sesuatu itu harus sesuai dengan konstitusi. Konstitusi wajib dijunjung tinggi. Inilah yang menjadi prinsip SBY.

Nah, pada titik inilah bisa dikatakan bahwa SBY tegas. Ia tegas menjalankan prinsipnya berkaitan dengan konstitusi. Namun, bila ditelusuri baik-baik, semua itu hanyalah pencitraan saja. Dengan tegas pada prinsip orang akan menilai SBY sebagai orang yang taat pada hukum.

Tersandera Prinsip Sendiri
Ada dua kasus saat ini yang sedang dihadapi oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Dua kasus ini benar-benar menguji dirinya. Dua kasus ini juga menyangkut dirinya sebagai pimpinan bangsa dan pimpinan partai penguasa.

Kasus pertama adalah soal pemakzulan Bupati Garut, Aceng. Sebagaimana sudah diketahui umum bahwa DPRD Garut sudah mengajukan pemakzulan atas diri Aceng sebagai Bupati Garut kepada presiden. Keputusan final ada di tangan presiden. SBY sadar bahwa jika mengikuti konstitusi, tidak ada alasan tepat untuk memberhentikan Aceng. Dan kalaupun Aceng diberhentikan, maka efeknya kena kepada pegawai-pegawai lainnya.

Terhadap kasus pertama ini SBY menghadapi dilema: menjalankan prinsip atau mengikuti kemauan rakyat. Jika ia mengikuti prinsipnya, ia akan dikecam oleh rakyat, karena begitu banyak rakyat menuntut Bupati Aceng mundur. Tentulah hal ini akan merusak citranya. Dan hal ini tidak sejalan dengan hobi SBY. Bukankah SBY suka akan pencitraan? Namun jika ia ikuti kemauan rakyat, ia menyalahi prinsipnya. Dan itupun akan merusak citranya sebagai orang yang selalu menjunjungi tinggi konstitusi. Maju kena, mundur juga kena.

Kasus kedua menyangkut diri SBY sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat. Tentulah ini dikaitkan dengan masalah internal partai. Kasus ini mencuat setelah muncul survei dari lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting yang mengatakan bahwa elaktibilitas Partai Demokrat menurun drastis. Faktor penyebabnya adalah ketidakjelasan status Ketua Umumnya, Anas Ubraningrum. Ada begitu banyak suara yang mendesak agar Anas mundur dari jabatan Ketua Umum demi penyelamatan partai. Tak kurang beberapa anggota dewan pembina pun turut bersuara. Menghadapi tuntutan ini, Anas tetap ngotot tidak mau mundur. Malah ia balik menantang. “Siapa yang meminta (saya mundur)? Saya enggak dengar apa-apa itu,” kata Anas saat ditemui di Jakarta Convention Center, Selasa (5/2/2013) malam. Karena itulah beberapa petinggi Partai Demokrat menyerukan agar SBY “turun gunung” menyelesaikan konflik internal partai.

Sama seperti kasus pertama di atas, pada kasus kedua ini pun SBY menghadapi dilema: menjalankan prinsip atau mengikuti kemauan kader partai. Jika ia mengikuti prinsipnya, ia akan dikecam oleh kader dan berdampak buruk bagi keberadaan partainya. Tentulah hal ini akan merusak citranya. Bukankah SBY suka akan pencitraan? Namun jika ia ikuti kemauan kader, ia menyalahi prinsipnya. Dan itupun akan merusak citranya sebagai orang yang selalu menjunjungi tinggi konstitusi. Bukankah SBY selalu mengatakan bahwa segala masalah dalam partai diselesaikan sesuai dengan mekanismenya. Ada konstitusinya. Ada ADRT-nya. Maju kena, mundur juga kena.

Terhadap dua kasus tersebut, jelas SBY tidak bisa langsung mengambil kebijaksanaan. Ia bingung. Dan karena itulah, SBY akhirnya tersandera oleh prinsipnya sendiri. Ia terlalu kaku menafsirkan soal konstitusi. Apa yang harus ditempuh oleh SBY?

Umroh Politik
Saat ini dikabarkan bahwa SBY sedang menjalankan Umroh. Ada yang mengatakan bahwa Pak Presiden berangkat Umroh dengan membawa masalah ini. Ia hendak meminta petunjuk pada Allah. Karena itulah, umroh kali ini merupakah umroh politik.

Umroh politik yang dipilih SBY adalah sangat cerdik. Di sini secara tidak langsung SBY mau lepas tangan terhadap masalah ini, karena keputusan yang akan dihasilkan nantinya bukanlah merupakan keputusannya pribadi, melainkan keputusan Allah.

Hal ini berkaitan dengan masalah yang dihadapi SBY. Kedua kasus itu kena kepada pribadi yang beragama islam. Aceng adalah sarjana agama, sedangkan Anas adalah mantan ketua HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kedua tokoh ini sangat lekat dengan keislamannya. Sebagai seorang muslim, tentulah mereka harus taat kepada Mekkah dan Tuhan. Bukankah dalam islam, Mekkah menjadi kiblatnya?

Karena itulah, SBY akan mengatakan bahwa masalah ini (kasus Aceng dan Anas) dibawa ke Mekkah, yang merupakan kota suci bagi umat islam. Di sana SBY minta petunjuk dari Tuhan. Sehingga apapun keputusannya harus dilihat ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Malah dapat dikatakan bahwa keputusan itu adalah keputusan Tuhan. SBY hanya membawa dan mendengarkannya saja.

Jadi, jika akhirnya ada keputusan bahwa Aceng dan Anas harus mundur dari jabatannya masing-masing, itu adalah keputusan Tuhan bukan keputusan SBY. Nah, siapa yang mau melawan Tuhan? Sebagai seorang muslim yang taat, ia harus ikuti keputusan tersebut. Melawan keputusan itu berarti bukan saja melawan Tuhan, melainkan juga melawan umat islam lainnya. Di sinilah kecerdikan SBY. Aceng dan Anas bukan saja berhadapan dengan dirinya, melainkan dengan rakyat islam.

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar