Sabtu, 02 Februari 2013

Hitungan Hari

SABTU SORE = HARI MINGGU

Di beberapa paroki perayaan ekaristi hari Minggu diadakan pada hari Sabtu sore. Ada yang memulainya jam 18.00 ada juga yang 18.30. Hal ini dibuat untuk menjawab kebutuhan umat akan ekaristi yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Untuk mengadakan ekaristi hanya pada hari Minggu saja rasanya tidak memungkinkan lagi mengingat kapasitas gedung gereja yang tidak bisa menampung semua umat. Hal ini juga berguna bagi imamnya, karena dengan demikian akan banyak waktu untuk istirahat.

Akan tetapi ada juga umat yang merasa kurang sreg dengan misa hari Sabtu sore/malam Minggu. Bagi mereka Sabtu sore itu tetap saja hari Sabtu. Hari Tuhan itu adalah hari Minggu. Apalagi dalam Doa Syukur Agung II, dikatakan, “Oleh sebab itu, pada hari Minggu ini kami menghadapi Dikau sehati-sejiwa dengan jemaat-jemaat separoki dan keuskupan dalam kesatuan dengan seluruh Gereja.” Akan terasa ganjil bila pada Sabtu sore imamnya mengatakan, “...., pada hari Minggu ini....”

Sabtu Sore Adalah Hari Minggu
Umat kiranya belum menyadari bahwa hitungan hari itu dimulai saat matahari terbenam. Umumnya matahari tenggelam itu mulai sekitar jam 18.00. Karena itu, saat jam 18.00 hitungan harinya adalah hari berikutnya. Jadi, Sabtu sore/malam jam 18.00 adalah hari Minggu.

Hal ini bisa terjadi karena Gereja Katolik mengambil tradisi Yahudi. Hitungan hari baru orang Yahudi dimulai saat matahari terbenam.

Oleh karena itu, jika diadakan misa/perayaan ekaristi pada hari Sabtu sore, hal itu sama nilainya dengan perayaan misa hari Minggu. Kesulitan orang menerima tradisi ini disebabkan karena sudah terbiasa dengan hitungan matahari. Dalam hitungan matahari hari baru itu dimulai saat matahari terbit, bukan terbenam. Atau persisnya lewat jam 12 malam (24.00).

Namun tetap harus disadari bahwa penyelenggaraan misa hari Sabtu sore mengandaikan padatnya acara misa pada hari Minggunya dan tenaga imamnya pun terbatas. Misalnya, misa hari Minggu sebanyak empat kali. Rasanya berat jika ditempatkan pada hari Minggu itu sendiri karena keterbatasan imam. Maka dibuatlah pembagian: Sabtu sore sekali, Minggu pagi dua kali dan Minggu sore sekali (ini pun dengan cacatan Minggu sore tidak boleh lebih dari jam 18.00).

Seandainya memungkinkan untuk diadakan pada hari Minggu itu sendiri, maka mau tidak mau harus diadakan pada hari Minggu. Umat tidak boleh menggunakan argumen tradisi Yahudi ini untuk menghindari Minggu pagi atau biar Minggu pagi bisa santai-santai. Misalnya, di suatu daerah umatnya sepakat untuk mengadakan ibadat pada Sabtu Sore supaya mereka bisa santai di hari Minggunya atau mereka bisa melakukan rutinitas lainnya. Atau ada imam, yang karena ingin menonton sepak bola di hari Minggu pagi, terpaksa mengadakan misa hari Minggu pada Sabtu sore.

Misa Sabtu Sore Bukan Misa Minggu
Akan tetapi, bisa juga perayaan ekaristi pada Sabtu sore tidak termasuk dalam kategori misa hari Minggu. Artinya, bacaan dan doa-doa liturginya tidak diambil dari perayaan ekaristi hari Minggu. Hal ini terjadi jika misa Sabtu sore itu diintensikan untuk ujud tertentu. Misalnya pada hari Sabtu itu ada pesta ulang tahun sekolah atau pesta pelindung kelompok kategorial.

Jadi, misa Sabtu sore dengan intensi khusus itu tidak menggantikan misa hari Minggu. Dan perayaan ekaristi ini pun dapat dilaksanakan bila memang dijadwal paroki hari Sabtu sore tidak ada misa hari Minggu, atau tenaga imamnya mencukupi. Kepada umat yang hadir pun harus diingatkan bahwa misa tersebut tidak menggantikan misa hari Minggu, sehingga tidak ada alasan bagi umat untuk tidak datang misa besok.

Ada beberapa perayaan ekaristi dalam tahun liturgi di mana perayaan ekaristi Sabtu sore/malam atau hari sebelumnya bukanlah misa hari berikutnya (Minggu). Sebagai contoh, misa malam natal tidak sama dengan misa natal itu sendiri; atau perayaan ekaristi malam paskah bukanlah perayaan ekaristi paskah. Yang disebut misa paskah itu adalah misa pada hari Minggu pagi, bukan Sabtu sore atau malam.

Namun seringkali terjadi umat menyangka itu sama saja sehingga ketika ia sudah ikut misa malam paskah, ia mengira sudah ikut misa paskah. Oleh karena itu, di beberapa tempat jumlah umat pada paskah pagi sangat sedikit; demikian pula pada misa natal pagi. Pemikiran demikian adalah keliru. Kalau umat memang mau merayakan misa natal, ya datangnya pada natal pagi (25 Desember), bukan malam natal (24 Desember).

by. adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar