SABTU SORE = HARI MINGGU
Di beberapa paroki
perayaan ekaristi hari Minggu diadakan pada hari Sabtu sore. Ada yang
memulainya jam 18.00 ada juga yang 18.30. Hal ini dibuat untuk menjawab
kebutuhan umat akan ekaristi yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Untuk
mengadakan ekaristi hanya pada hari Minggu saja rasanya tidak memungkinkan lagi
mengingat kapasitas gedung gereja yang tidak bisa menampung semua umat. Hal ini
juga berguna bagi imamnya, karena dengan demikian akan banyak waktu untuk
istirahat.
Akan tetapi ada juga umat
yang merasa kurang sreg dengan misa
hari Sabtu sore/malam Minggu. Bagi mereka Sabtu sore itu tetap saja hari Sabtu.
Hari Tuhan itu adalah hari Minggu. Apalagi dalam Doa Syukur Agung II,
dikatakan, “Oleh sebab itu, pada hari Minggu
ini kami menghadapi Dikau sehati-sejiwa dengan jemaat-jemaat separoki dan
keuskupan dalam kesatuan dengan seluruh Gereja.” Akan terasa ganjil bila pada
Sabtu sore imamnya mengatakan, “...., pada hari Minggu ini....”
Sabtu
Sore Adalah Hari Minggu
Umat kiranya belum
menyadari bahwa hitungan hari itu dimulai saat matahari terbenam. Umumnya
matahari tenggelam itu mulai sekitar jam 18.00. Karena itu, saat jam 18.00
hitungan harinya adalah hari berikutnya. Jadi, Sabtu sore/malam jam 18.00
adalah hari Minggu.
Hal ini bisa terjadi
karena Gereja Katolik mengambil tradisi Yahudi. Hitungan hari baru orang Yahudi
dimulai saat matahari terbenam.
Oleh karena itu, jika
diadakan misa/perayaan ekaristi pada hari Sabtu sore, hal itu sama nilainya
dengan perayaan misa hari Minggu. Kesulitan orang menerima tradisi ini
disebabkan karena sudah terbiasa dengan hitungan matahari. Dalam hitungan
matahari hari baru itu dimulai saat matahari terbit, bukan terbenam. Atau
persisnya lewat jam 12 malam (24.00).
Namun tetap harus
disadari bahwa penyelenggaraan misa hari Sabtu sore mengandaikan padatnya acara
misa pada hari Minggunya dan tenaga imamnya pun terbatas. Misalnya, misa hari
Minggu sebanyak empat kali. Rasanya berat jika ditempatkan pada hari Minggu itu
sendiri karena keterbatasan imam. Maka dibuatlah pembagian: Sabtu sore sekali,
Minggu pagi dua kali dan Minggu sore sekali (ini pun dengan cacatan Minggu sore
tidak boleh lebih dari jam 18.00).
Seandainya memungkinkan
untuk diadakan pada hari Minggu itu sendiri, maka mau tidak mau harus diadakan
pada hari Minggu. Umat tidak boleh menggunakan argumen tradisi Yahudi ini untuk
menghindari Minggu pagi atau biar Minggu pagi bisa santai-santai. Misalnya, di
suatu daerah umatnya sepakat untuk mengadakan ibadat pada Sabtu Sore supaya
mereka bisa santai di hari Minggunya atau mereka bisa melakukan rutinitas
lainnya. Atau ada imam, yang karena ingin menonton sepak bola di hari Minggu
pagi, terpaksa mengadakan misa hari Minggu pada Sabtu sore.
Misa
Sabtu Sore Bukan Misa Minggu
Akan tetapi, bisa juga perayaan
ekaristi pada Sabtu sore tidak termasuk dalam kategori misa hari Minggu.
Artinya, bacaan dan doa-doa liturginya tidak diambil dari perayaan ekaristi
hari Minggu. Hal ini terjadi jika misa Sabtu sore itu diintensikan untuk ujud
tertentu. Misalnya pada hari Sabtu itu ada pesta ulang tahun sekolah atau pesta
pelindung kelompok kategorial.
Jadi, misa Sabtu sore
dengan intensi khusus itu tidak menggantikan misa hari Minggu. Dan perayaan
ekaristi ini pun dapat dilaksanakan bila memang dijadwal paroki hari Sabtu sore
tidak ada misa hari Minggu, atau tenaga imamnya mencukupi. Kepada umat yang
hadir pun harus diingatkan bahwa misa tersebut tidak menggantikan misa hari
Minggu, sehingga tidak ada alasan bagi umat untuk tidak datang misa besok.
Ada beberapa perayaan
ekaristi dalam tahun liturgi di mana perayaan ekaristi Sabtu sore/malam atau
hari sebelumnya bukanlah misa hari berikutnya (Minggu). Sebagai contoh, misa
malam natal tidak sama dengan misa natal itu sendiri; atau perayaan ekaristi
malam paskah bukanlah perayaan ekaristi paskah. Yang disebut misa paskah itu
adalah misa pada hari Minggu pagi, bukan Sabtu sore atau malam.
Namun seringkali
terjadi umat menyangka itu sama saja sehingga ketika ia sudah ikut misa malam
paskah, ia mengira sudah ikut misa paskah. Oleh karena itu, di beberapa tempat
jumlah umat pada paskah pagi sangat sedikit; demikian pula pada misa natal
pagi. Pemikiran demikian adalah keliru. Kalau umat memang mau merayakan misa
natal, ya datangnya pada natal pagi (25 Desember), bukan malam natal (24
Desember).
by. adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar