SINDROM PETER PAN
Peter Pan adalah nama
tokoh pada sebuah dongeng anak-anak. Tokoh ini digambarkan tidak pernah mau
menjadi dewasa. Dia selalu ingin berpetualang dalam dunia kekanak-kanakannya
yang tidak menuntut pertanggungjawaban. Dari dongeng ini, seorang doktor psikologi,
Dan Kiley, mempelajari bahwa ternyata ada banyak pria yang tidak berhasil atau
tidak mau menjadi dewasa karena takut dituntut tanggung jawab. Gejala ini dikenal dengan istilah sindrom Peter Pan.
Dan Kiley menyatakan,
orang-orang yang terkena sindrom ini memiliki enam ciri khas yaitu: selalu
cemas, mengalami kebingungan peran, merasa kesepian, hanya menyayangi diri
sendiri, tidak bisa memahami orang lain dan tidak bertanggung jawab. Akibatnya,
orang-orang ini tidak sanggup bersosialisasi dengan baik.
Kecemasan orang-orang yang
mengalami sindrom Peter Pan berasal dari ketidakjelasan
perlakukan orang tua saat mendidik mereka. Sering orang tua memberi
peraturan dan ancaman-ancaman kepada anak-anak, tetapi saat anak-anak
melanggar, mereka tidak dilarang tetapi justru dibanggakan atau juga dibiarkan.
Di satu sisi, saat anak
melakukan hal-hal yang baik justru tidak mendapat penghargaan dari orang tua. Contohnya, saat mandi anak dilarang keluar dari kamar mandi dalam keadaan
telanjang. Saat anak melakukan itu, orang tua tidak menegur tetapi malah
tertawa terbahak-bahak karena menganggap lucu kejadian tersebut.
Di sisi lain, orang
tua menganjurkan anak untuk rajin ikut misa di gereja, minimal pada hari
Minggu. Pada saat anak mengajak orang tua untuk ke gereja, orang tua justru
marah-marah karena merasa sibuk dengan pekerjaan mereka.
Dengan ketidakjelasan
perlakukan orang tua, anak menjadi bingung dan cemas. Sebenarnya anak-anak
sensitif dengan aturan-aturan orang tua, dan mereka akan mudah memahami
perilaku mana yang boleh dan tidak boleh bila orang tua konsisten.
Dengan kebingungan aturan
tersebut, anak akan mengalami kebingungan dalam peran sosial. Anak tidak
percaya diri untuk menjadi pemimpin dalam kelompoknya. Tetapi, dia juga merasa
tidak nyaman saat menjadi anggota yang harus mengikuti aturan-aturan yang
dibuat pemimpinnya. Saat anak tersebut bertambah tua, kondisi psikologinya
tidak berkembang, dia menjadi bingung peran apa yang harus dijalani, termasuk
peran sebagai suami atau bapak keluarga.
Orang yang mengalami
sindrom Peter Pan sebenarnya mengalami kesepian karena mereka merasa orang lain
tidak bisa memahami dirinya. Sementara orang-orang di sekitarnya memang tidak
bisa memahami orang-orang yang mengalami sindrom Peter Pan. Orang-orang
menganggap mereka aneh.
Mereka juga tidak memahami
peran sosialnya dan tidak mampu memahami orang lain, dan akan sangat mencintai
dirinya sendiri. Mereka merasa orang lain harus memenuhi
keinginan-keinginannya karena mereka tidak mampu memenuhi keinginan-keinginannya
sendiri. Mereka sangat mudah menyakiti hati orang lain karena mereka tidak
mampu untuk memahami perasaan yang dialami orang lain dan tidak peduli dengan
perasaan-perasaan orang lain. Standar kebahagiaan mereka adalah mereka merasa
senang atau tidak. Dengan kondisi tersebut, mereka sulit bersosialisasi.
Bagaimana mengatasinya? Menurut Dan Kiley,
orang tua memiliki peran yang sangat besar untuk mencegah terjadinya sindrom
Peter Pan. Pencegahan ini bisa dilakukan
dengan cara selalu konsisten dalam membuat
peraturan-peraturan dan memberikan contoh nyata. Peraturan-peraturan dalam
keluarga harus berlaku untuk seluruh anggota keluarga, bila ada pengecualian
harus ada penjelasan yang benar dan jelas. Mengapa sindrom Peter Pan terjadi
pada anak-anak pria, karena banyak orang tua memberi perlakukan istimewa kepada
putranya. Contohnya, ada aturan jam pulang dalam keluarga. Saat anak perempuan
pulang ke rumah terlambat, dimarahi. Tetapi, saat anak prianya pulang sampai larut
malam, orang tua membiarkan karena menganggap hal itu “normal”. Seharusnya bila
ada kebijakan dalam jam pulang, bukan didasarkan pada jenis kelamin tetapi
lebih didasarkan pada tingkat kepentingan kegiatan yang dilakukan di luar
rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar