Berubah untuk Menggapai Cita-Cita
Dalam satu pesta
tahbisan Uskup, seorang pemuka umat mengatas-namai
seluruh umat Keuskupan mengatakan kepada Uskup baru sbb: “ Orang mengatakan
bahwa yang berhasil dalam hidup adalah orang yang tahu masa depannya,
mengambarkannya dan membiarkan dirinya didorong olehnya…. Dengan sesungguhnya karena kedudukannya
yang strategis dan historis dan keragaman umat yang berada di dalamnya,
menuntut seorang gembala yang punya visi dan sanggup membawa domba-dombanya ke
padang rumput yang berlimpah makanannya. Gembala seperti itu harus memiliki
gambaran mengenai masa depan; dia harus tahu ke mana
kita harus pergi; dia harus memiliki satu peta yang membawa kepada tujuan
akhir…. Satu dioses tanpa program adalah dioses
tanpa visi; setiap pagi terbangun dengan suatu gagasaan baru dan menjadi
bingung sendiri. Sebagaimana rusa rindu akan air, (Mz.
42:2 ), demikian kami membutuhkan satu cetak biru untuk Dioses, master plan, di mana tertera ke mana kita harus pergi dan mengarahkan semua
usaha kita dan menghindari pemborosan tenaga dan sumber daya “Our Bishop – Reflections onn the Office of
the Bishop in the Church“ (Francis Cardinal Arinze).
Dari apa yang
dikutip Cardinal Arinze, kita menarik kesimpulan bahwa: setiap dioses harus
memiliki arah ke mana dioses ingin
dihantar. Visi akan membawa orang kepada program yang teratur. Kalau tidak ada
visi dan program, maka kita bergerak di tempat dan tidak mengalami kemajuan.
Tanpa visi dan misi serta program yang teratur, kita memboroskan banyak tenaga,
waktu dan dana. Para gembala dan umat harus mengetahui Visi dan Misi tersebut.
Syukurlah oleh
kerja sama kita semua, maka telah dirumuskan visi dan misi serta spritualitas
Keuskupan kita seperti yang tertulis dalam buku: ”Menjadi Gereja Partisipatip“.
Bagus sekali bahwa kita sudah memiliki visi dan misi serta spiritualitas. Dan
tentang Sinode, khusus mengenai visi dan misi serta spiritualitas sudah
diketahui bersama. Tetapi mengetahui saja tidak cukup sama sekali. Semua kita
sepakat bahwa akan menjadi lebih bagus lagi kalau visi dan misi itu menjadi
milik kita bersama, dihayati dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan kita yang
nyata sehari-hari secara bersama-sama dalam KBG-KBG kita.
Menghayati visi,
misi dan spiritualitas menuntut adanya perubahan. Sinode kita telah
mencanangkan sesuatu yang baru seperti yang termuat dalam visi dan misi serta
spiritualitas kita: cara baru hidup menggereja. Seperti anggur baru tidak bisa
disimpan dalam kerbat lama, demikian halnya cara baru hidup menggereja tidak
bisa dikemas dalam cara lama hidup menggereja. Seperti anggur baru dan kerbat
akan menjadi rusak, demikian halnya cara baru dimasukkan dalam cara lama, maka
kedua cara ini yaitu lama dan baru akan menjadi rusak. Karena itu kita putuskan
untuk mencari kemasan baru untuk cara baru hidup menggereja. Dan itu berarti
perlu sekali adanya perubahan dalam banyak hal yaitu: cara hidup, cara
menggereja, cara berpastoral, perubahan struktur dalam keuskupan kita. Yang berubah bukan hanya struktur tetapi juga
manusianya. Lalu yang berubah bukan hanya para awamnya tetapi juga malah paling
penting dan utama adalah para imam/clerus. Orang mengatakan bahwa busuk itu
mulai dari kepala, maka sebaliknya kita dapat mengatakan bahwa harumnya juga
mulai dari atas. Karena itu saya katakan yang penting malah paling utama adalah
para imam/klerus (uskup dan para imam serta diakon). Banyak kali terjadi orang
takut berubah karena sudah merasa mapan dan enak. Keenakan membuat orang
terlena pada hal sekitar sudah berubah.
Ada satu percobaan
sbb: seekor kodok dimasukkan ke dalam satu tempayan air dingin. Lalu dengan
tiba-tiba air dipanaskan menjadi 100 derajat
Celcius. Kodok dalam tempayan langsung bereaksi dengan melompat keluar dari
tempayan. Percobaan diubah: air dalam tempayan dipanasi secara pelan-pelan.
Kodok beradapatasi dengan perubahan. Makin lama makin panas. Tetapi kodok tidak
bereaksi dengan melompat keluar dari tempayan. Ketika air sudah sangat panas,
kodok sudah tidak bisa melompat keluar, karena tidak ada tenaga lagi untuk
melompat. Akibatnya dia mati kepanasan dalam tempayan.
Keadaan seperti itu
terjadi dalam Gereja kita. Kita sudah terlena dengan kondisi lama. Para pastor
keenakan karena kuasa tahbisannya. Umat keenakan karena tidak perlu aktif.
Enak menunggu komando dari pastor. Tidak ada komando tidak buat
apa-apa. Keadaan ini membuat orang tidak merasa enak dalam tempayan gereja.
Akhirnya banyak yang keluar meninggalkan Gereja seperti dialami di Eropa di
mana gereja sudah menjadi kosong. Orang sudah tidak mau ke gereja lagi,
khususnya kaum muda sudah tak senang dengan kondisi Gereja sekarang ini.
Keadaan dan kondisi di Eropa pelan-pelan sudah merambat ke berbagai tempat atau
benua di luar Eropa, juga di Indonesia. Karena itu perlu sekali berubah meski
berisiko karena lebih berisiko atau lebih merugikan kalau tidak berubah.
Tahun lalu juga di
bulan Januari 2012, telah disampaikan kepada semua umat bahwa semua yang telah
dibicarakan dalam Sinode II Keuskupan Pangkalpinang sudah dibukukan dengan judul:
Keuskupan Pangkalpinang menjadi Gereja Partisipatif.
Di awal Januari 2013 ini, saya mempromulgasikan lagi beberapa keputusan baru
terutama sehubungan dengan struktur untuk menunjang terwujudnya visi,
misi serta spiritualitas. Keputusan ini menyangkut: Pembaharuan Struktur dan
Organ, yaitu:
1.
Pembaharuan Struktur dan
Organ Kuria: Di tingkat Keuskupan akan ada pembaharuan struktur. Ada satu dua
organ yang ditambahkan. Yang paling menyolok adalah bahwa tidak ada lagi komisi
di tingkat Keuskupan. Yang ada di tingkat Keuskupan hanyalah: SekUm PIPA
(termasuk di dalamnya KKI dan Panitia APP) dan KomSos.
2.
Pembentukan Vikariat
Episkopal: Dekenat dan jabatan Deken ditiadakan. Dan diganti dengan: Vikaris
Episkopal (disingkat VikEp) dan wilayah yang menjadi tanggung jawab Vikaris
Episkopal disebut: KeVikEpan. Selanjutnya saya mau ungkapkan bahwa Vikaris
Episkopal adalah wakil Uskup di suatu wilayah tertentu. Sebagai Wakil Uskup di
wilayah tertentu itu, VikEp mendapat kuasa eksekutif yang lebih besar sehingga
dalam hal tertentu VikEp bisa mengambil keputusan. Kekuasaan VikEp itu sejajar
dengan Vikaris Jendral yang adalah wakil Uskup untuk seluruh Keuskupan.
Sedangkan VikEp adalah Wakil Uskup yang terbatas pada wilayah tertentu saja.
Dulu pemimpin suatu wilayah adalah Deken yang memiliki kuasa administratif organisatoris saja.
3.
Pembentukan Organ Kevikepan:
Di kevikepan akan ada komisi-komisi yang dipimpin oleh seorang VikEp. Ketua
Komisi akan dipilih seorang imam dari wilayah itu.
4.
Pembaharuan Struktur dan
Organ Paroki: Pastor Paroki akan menjadi Ketua DPP. Sedangkan DPP akan menjadi
badan konsultatif
melulu.
Penjelasan rinci
kepada umat mengenai alasan mengenai adanya pembaharuan struktur dan organ,
berikut tugas dan kewenangannya akan disampaikan kemudian sesudah promulgasi
ini. Penjelasan rinci mengenai pembaharuan dan pembentukan ini akan disosialisasikan
oleh Tim Dewan Imam dalam masa Vacalio
legis selama kurang lebih tujuh (7) bulan. Sosialisasi terlebih dahulu akan
dimulai dari para imam dan kemudian kepada DPP.
Selanjutnya Para Imam dan DPP dari setiap paroki akan mensosialisasikan
lebih jauh kepada seluruh umat.
Akhirnya saya
mengajak Para Imam, Kaum religious, dan semua umat Keuskupan Pangkalpinang.
Marilah kita melangkah maju dalam semangat pembaharuan untuk menjadi Gereja
Partisipatif dengan kesediaan menerima semua pembaharuan yang telah dipromulgasikan.
Untuk ini kita membutuhkan bantuan Tuhan dan kerja keras kita semua. TUHAN
MEMBERKATI.
Pangkalpinang,
19 Januari 2013
Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD
Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD
Uskup Pangkalpinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar