SELIBAT ROHANIWAN KATOLIK
Selibat Rohaniwan Katolik adalah aturan di beberapa gereja
partikular yang membentuk Gereja Katolik yang hanya memperbolehkan pria yang tidak menikah saja yang dapat
ditahbiskan menjadi imam.
Aturan yang sama juga dijunjung oleh beberapa gereja lainnya dalam hal
pentahbisan menjadi gembala (uskup, pendeta, rasul) gereja tersebut.
Pemimpin gereja-gereja partikular Katolik yang mentaati aturan ini adalah Ritus Latin, namun, di antara Gereja-gereja
Katolik Timur, setidaknya Gereja Katolik Ethiopia menerapkannya juga.
Dalam konteks ini, "selibat" mempertahankan arti sesungguhnya
dari "tidak menikah", dan tidak merujuk pada penahanan nafsu atau
puasa dari hubungan seksual yang bisa juga dilakukan oleh pihak-pihak yang
telah menikah.
Di seluruh Gereja
Katolik,
baik di Timur maupun di Barat, sebagaimana juga di Gereja Ortodoks Timur dan di
Gereja Ortodoks
Oriental,
seorang imam tidak boleh menikah. Untuk bisa menjadi seorang imam yang menikah,
dalam beberapa gereja dan kasus, maka seseorang harus menikah dahulu sebelum
ditahbiskan. Gereja
Katolik, Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental,
tanpa pengecualilan, menutup kemungkinan pentahbisan bagi pria yang telah
menikah untuk menjadi imam.
Hukum
selibat klerik dianggap bukan sebuah doktrin, namun sebuah aturan. Beberapa
pengecualian kadang-kadang dibuat, terutama dalam kasus rohaniwan Protestan yang pindah ke dalam Gereja Katolik, dan aturan ini, secara teori, bisa diubah bagi semua
macam pentahbisan imam. Namun, selibat klerik ini dinilai sebagai sebuah
kesaksian yang berharga bagi iman Kristiani dan sebagai sebuah jalan untuk
mengikuti teladan Kristus dan kehidupan selibat-Nya.
Sejarah
Penelitian
oleh para cendekiawan Katolik, salah satunya tersedia di situs Vatikan,[1]
berargumen bahwa, dalam praktik-praktik umat Kristiani awal, pria yang telah
menikah yang menjadi imam - seringkali mereka adalah orang-orang berusia baya,
"orang tua" - dianggap akan hidup dengan menahan nafsu sepenuhnya,
menahan diri seterusnya dari hubungan seksual dengan istri mereka.[2]
Ketika nantinya jelas terungkap bahwa tidak semuanya bisa menahan nafsu, Gereja
Barat membatasi pentahbisan imam hanya untuk pria yang tidak menikah dan
mewajibkan adanya komitmen menjadi selibat seumur hidup, sementara di
Gereja-gereja Timur aturan ini lebih lunak, yakni Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Timur sekarang mewajibkan
rohaniwan mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual
selama masa tertentu sebelum merayakan Ekaristi.
Gereja
di Persia, yang di abad ke-5 memisahkan diri dari gereja yang bernama Ortodoks
maupun Katolik, memutuskan pada akhir abad itu untuk menghapuskan aturan
penahanan nafsu dan memperbolehkan para imam mereka untuk menikah, namun tetap
mengakui bahwa hal tersebut menghilangkan sebuah tradisi lama. Gereja Ortodoks
Tewahedo Ethiopia, yang pemisahan dirinya, bersama dengan Gereja Ortodoks
Koptik Aleksandria, terjadi belakangan, memperbolehkan para diakon (yang
ditahbiskan ketika mereka masih anak-anak) untuk menikah, namun bukan imam:
setiap orang yang akan menjadi imam dan ingin menikah harus melaksanakan
pernikahannya sebelum menjadi imam. Gereja Apostolik Armenia, yang termasuk di
dalam kelompok Gereja
Ortodoks Oriental, walau secara teknis melarang pernikahan setelah
ditahbiskan menjadi sub-diakon, seperti juga Gereja Ortodoks Timur, secara umum membiarkan
aturan ini tidak digunakan dan memperbolehkan para diakon untuk menikah hingga
pada saat pentahbisan mereka menjadi imam, sehingga tetap meneruskan tradisi
tidak boleh menikah bagi para imam.[3]
Teori ini menjelaskan mengapa semua gereja-gereja tua baik di Timur maupun di
Barat, dengan satu pengecualian di atas, melarang pernikahan setelah
pentahbisan imam, dan mengapa semuanya mengharuskan pejabat kerasulan (yang
dilihat sebagai sebuah bentuk imam yang lebih sempurna daripada presbyterate
atau ketua agama) untuk selibat.
Bukti
tertulis paling awal mengenai pelarangan untuk menikah bagi para klerik dan
kewajiban mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual
dengan istri-istri mereka adalah dekrit Konsili Elvira pada abad
ke-4 dan kemudian Konsili Kartago. Menurut
beberapa penulis, dekrit ini mengambil dari norma yang ada sebelumnya yang
sedang dipandang rendah saat itu.[4]
- Konsili Elvira (sekitar tahun 305)
(Kanon 33): Diputuskan bahwa semua
pernikahan dilarang bagi para uskup, imam dan diakon, atau bagi semua rohaniwan
yang memegang jabatan gerejawi, dan bahwa mereka tidak berhubungan badan dengan
istri-istri mereka dan tidak menghasilkan anak; siapa saja yang melanggar hal
ini akan dicabut jabatan kehormatan kleriknya.
- Konsili Kartago (tahun 390)
(Kanon 3): Adalah pantas bahwa para
uskup dan imam Tuhan yang suci termasuk juga kaum Levi, yakni mereka yang
memberikan pelayanan pada sakramen ilahi, mentaati penahanan nafsu yang
sempurna, supaya mereka bisa meraih semua kesederhanaan yang mereka minta dari
Tuhan; apa yang diajarkan oleh Para Rasul dan apa yang telah lama ditaati,
biarlah kita juga berusaha keras untuk menjaganya. Sungguh menggembirakan kita
semua bahwa uskup, imam dan diakon - para penjaga kesucian - menahan diri dari
hubungan badan dengan istri-istri mereka, supaya mereka yang melayani di Altar
bisa menjada sebuah kesucian yang sempurna.
Di
antara pernyataan-pernyataan Gereja pertama mengenai topik penahanan nafsu
seksual dan selibat adalah Directa Decretal dan Cum in unum yang
merupakan dekrit dari Paus
Sirisius (sekitar tahun 385), yang menegaskan bahwa penahanan nafsu seksual
kaum klerik adalah sebuah praktik apostolik yang harus diikuti oleh para
pelayan gereja.
Tulisan-tulisan
Santo Ambrosius (wafat
tahun 397) juga menunjukkan bahwa persyaratan mengenai para imam, baik yang
telah menikah maupun yang selibat, untuk selalu menahan hawa nafsu adalah
sebuah aturan yang tidak dapat dipungkiri. Bagi rohaniwan yang telah menikah
yang, "di beberapa tempat yang diluar jalur", merujuk, dengan
mengambil contoh imam dari Perjanjian
lama, pada hak untuk memiliki keturunan, Ambrosius mengingatkan bahwa
di masa Perjanjian Lama kaum awam pun berkewajiban untuk mentaati aturan
penahanan nafsu di hari-hari menjelang perayaan kurban, dan berkomentar:
"Apabila memang benar perhatian akan penahanan nafsu ini diberikan kepada
apa yang diminta, betapa banyaknya sikap penahanan nafsu ini yang harus
ditunjukkan di dalam realitas!"[5]
Lebih kerasnya lagi ia menulis: "Santo
Paulus berkata mengenai seseorang yang punya anak, dan bukan
mengenai seseorang yang menghasilkan anak."[6]
Dasar-dasar Teologi
Secara
teologis, Gereja mengajarkan bahwa imamat adalah sebuah perangkat gereja yang
mengikuti hidup dan karya Yesus Kristus. Para imam sebagai pelayan
sakramen bekerja in persona Christi, yaitu dalam diri
manusia Kristus. Oleh sebab itu kehidupan para imam mengikuti kesucian Kristus
sendiri. Pengorbanan untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah (Lukas 18: 28-30, Matius 19:
27-30, Markus 10: 20-21), dan untuk mengikuti teladan Yesus Kristus yang "menikah"
dengan Gereja - yang dipandang oleh paham Katolik dan banyak tradisi Kristiani
lainnya sebagai "Mempelai Kristus".
Dasar-dasar Kitab Suci
Kardinal Joseph
Ratzinger
(sekarang Paus
Benediktus XVI) dalam Garam Dunia juga menjelaskan bahwa praktik selibat ini
adalah berdasarkan pada khotbah Yesus kepada para kasim atau kaum selibat
"demi Kerajaan Surga" yang menghubungkan keputusan Tuhan dalam
Perjanjian Lama untuk menganugerahkan imamat kepada satu suku saja, yaitu suku
Levi, dan yang tidak seperti suku-suku lain tidak menerima tanah sejengkal pun
dari Tuhan - sebuah kebutuhan mendasar bagi penerusan keturunan seseorang
senilai dengan seorang istri dan anak-anak zaman sekarang - namun mendapatkan
"Tuhan sendiri sebagai harta warisannya" (Bilangan 1: 48-53).
Juga dasar lain yang diambil adalah ajaran-ajaran Santo Paulus dari Tarsus yang menyatakan bahwa
selibat merupakan tahapan kehidupan yang tinggi, dan keinginannya ini
dinyatakan dalam 1
Korintus 7: 7-8, 32-35:
Aku ingin, supaya kamu hidup
tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada
perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri
memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan
isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak
bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan,
supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan
perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya.
Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk
menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu
melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.
Perkembangan di Abad ke-11
Terkadang
dikatakan bahwa selibat menjadi keharusan bagi para imam Ritus Latin baru mulai
pada abad ke-11; sementara beberapa pihak lain mengatakan, misalnya:
"Adalah adil bila dikatakan bahwa pada era Paus Leo I (440-461) hukum selibat dikenal secara umum di dunia
Barat,"[7]
dan bahwa aturan-aturan pada abad ke-11 mengenai hal ini, seperti juga pada
kasus simoni atau kegiatan ilegal jual-beli posisi gerejawi, harus
secara jelas tidak diartikan sebagai suatu makna bahwa baik non-selibat maupun simoni
sebelumnya diperbolehkan.[8]
Gereja-gereja Katolik Timur
Secara
umum, Gereja Katolik
Timur memperbolehkan
pentahbisan pria yang telah menikah sebagai imam. Di Amerika Utara, atas dasar ketakutan bahwa para imam yang
menikah akan membuat skandal di tengah-tengah umat Katolik Ritus Latin, para uskup Katolik Timur biasanya hanya
mentahbiskan pria-pria yang lajang; namun semenjak Konsili Vatikan II mengajak restorasi akan tradisi-tradisi
Katolik Timur, beberapa gereja kembali ke praktik tradisional Timur yang lama
dengan mentahbiskan pria yang telah menikah ke dalam jajaran perangkat gerejawi.
Sebuah
syarat untuk menjadi seorang uskup Katolik Timur adalah harus lajang atau sudah
menjadi duda.[9]
Kontroversi
Aturan Ritus Latin terus diperdebatkan atas dasar berbagai
alasan. Pertama, banyak orang percaya bahwa selibat bukanlah keharusan bagi para
rasul. Santo Petrus sendiri memiliki seorang istri semasa
kerasulan Yesus, yang ibunya Yesus sembuhkan dari sakit demam tinggi.[10]
Namun beberapa pihak lainnya berargumen bahwa para rasul benar-benar
meninggalkan istri-istri mereka.[11]
Kedua, persyaratan ini menyisihkan banyak pria yang seharusnya memenuhi syarat
untuk menjadi imam, persyaratn yang menurut pembela aturan selibat seharusnya
ditentukan bukan hanya pada kemampuan pengertian manusia akan naskah kitab suci
tapi juga pada kemampuan pengertian hal-hal ilahi.
Ketiga,
beberapa pihak mengatakan bahwa menolak dorongan seksual alami dengan cara ini
adalah tidak masuk akal dan berbahaya bagi hidup yang sehat. Skandal seksual di
antara para imam, para pembela aturan selibat berargumen, adalah sebuah
pelanggaran terhadap aturan Gereja, bukan hasil dari pelanggaran tersebut,
terutama semenjak hanya sebagian kecil dari para imam yang terlibat. Keempat,
dikatakan bahwa keharusan untuk selibat menjauhkan para imam dari pengalaman
hidup, menghilangkan kekuasaan moral diri mereka sendiri di dalam lingkungan
pastoral, walaupun para pembelanya berargumen bahwa kekuasaan moral Gereja
justru dikembangkan oleh sebuah kehidupan yang sepenuhnya menyerahkan diri ke
dalam imitasi Kristus - sebuah pelaksanaan praktis ajaran Konsili Vatikan II yang menyebutkan bahwa "manusia tidak
bisa secara penuh menemukan dirinya sendiri kecuali melalui persembahan dirinya
sendiri yang tulus".[12]
Penentangan terhadap Selibat Klerik selama masa Reformasi
Selibat
sebagai sebuah persyaratan bagi pentahbisan menjadi imam (dalam Gereja Barat)
dan menjadi rasul (baik di Gereja Timur maupun di Barat) serta menyatakan bahwa
pernikahan bagi para imam adalah tidak sah[13]
(baik di Timur maupun di Barat) adalah hal-hal penting dari perselisihan selama
masa Reformasi
Protestan, dengan para kaum
Reformer berargumen bahwa persyaratan-persyaratan ini bertentangan dengan
ajaran Kitab Suci di dalam 1 Timotius 4: 1-5, Ibrani 13: 4, dan 1 Korintus 9: 5, yang secara tidak langsung merupakan
sebuah degradasi terhadap pernikahan, dan merupakan satu alasan bagi
"banyaknya rasa kebencian"[14]
dan bagi semaraknya perilaku seksual yang buruk di dalam lingkungan klergi di
masa Reformasi.[15]
Pandangan doktrin para kaum Reformer mengenai hal ini tercermin di dalam
pernikahan Huldrych
Zwingli pada tahun 1522, Martin Luther di tahun 1525, dan John Calvin di tahun 1539; Di Inggris, Thomas Cranmer
yang telah menikah ditahbiskan menjadi Uskup Agung Canterbury pada tahun 1533.
Tindakan-tindakan ini, pernikahan setelah pentahbisan menjadi imam dan
mentahbiskan pria yang telah menikah menjadi seorang uskup, melawan tradisi
lama Gereja baik di Timur maupun di Barat.
Semenjak Konsili Vatikan II
Tahta Suci secara resmi menegaskan kembali aturan mengenai selibat klerik di dalam
Gereja Katolik Ritus
Latin. Paus Yohanes Paulus II dalam Pastores Dabo Vobis menyatakan bahwa "tidak berubahnya'
intisari dari pentahbisan "membentuk imam menjadi seperti Yesus Kristus
Sang Kepala dan Mempelai Gereja." Oleh sebab itu, ia mengatakan,
"Gereja, sebagai Mempelai Yesus Kristus, berharap untuk dicintai oleh para
imam sepenuhnya dan secara khusus seperti Yesus Kristus Sang Kepala dan
Mempelai Gereja mencintainya."
Gereka
Latin sekarang memperbolehkan para pria yang telah menikah dan telah berusia
baya untuk ditahbiskan menjadi diakon, dengan syarat bahwa mereka berkehendak
untuk tetap menjadi diakon dan tidak berkehendak untuk melangkah maju
mendapatkan pentahbisan imamat[16]
(pentahbisan ke dalam tahapan diakon merupajkan bagian dari proses perjalanan
calon imam menuju pentahbisan imam)[17].
Pentahbisan, bahkan yang bagi diakon, adalah sebuah hal yang tidak mengijinkan
pernikahan nantinya, walaupun dispensasi khusus bisa diterima untuk pernikahan
kembali di dalam situasi yang sangat luar biasa.[18]
Pengecualian
Pengecualian kadang-kadang dibuat (termasuk di
dalam aliran Katolik Ritus Latin), dianugerahkan berdasarakn kekuasaan Sri
Paus, ketika rohaniwan Protestan yang telah menikah menjadi Katolik. Karena aturan
selibat adalah sebuah hukum gerejawi dan bukanlah sebuah doktrin, aturan ini
bisa, secara prinsip, diubah setiap saat oleh Sri Paus. Doktrin-doktrin, di
sisi lain, tidak bisa diubah. Walaupun demikian, baik Sri Paus saat ini, Paus Benediktus XVI
dan para pendahulunya, telah membahas dengan jelas mengenai pengertian mereka
bahwa praktik tradisional ini tidak mungkin akan berubah.[19]
[2] ^
Roman Cholij, Priestly
celibacy in patristics and in the history of the Church., lihat juga, ^ BONIVENTO, Cesare. Priestly
Celibacy. Ecclesiastical Institution or Apostolic Tradition?; Thomas
McGovern,Priestly
Celibacy Today; Cochini, Christian, The Apostolic Origins of Priestly
Celibacy, Ignatius Press (October 1990). ISBN
0-89870-951-2 ISBN
0-89870-280-1., dan ^ Celibacy in the
Early Church: The Beginnings of Obligatory Continence for Clerics in East
and West, Stefan Heid, p. 15.
[3] ^
On Oriental Orthodoxy's exclusion of marriage after ordination to priesthood,
see Deacons
Focus of Oriental Orthodox-Roman Catholic Consultation
[4] ^
McGovern,
chapter 1; [Alfons Stickler: The Case for Clerical Celibacy (Ignatius
Press) ISBN
0-89870-533-9]
[5] ^
De officiis ministrorum,
258.
[6] ^
"habentem filios dixit, non facientem" (Ep. extra coll. [Maur.63]
14,62, quoted in Giovanni Coppa, Il sacerdote "vero levita"
secondo S. Ambrogio, L'Osservatore Romano
13 January 2007).
[7] ^
"Celibacy
of the Clergy". Catholic Encyclopedia. Diakses pada 16 September 2006.
[8] ^
"Gregory VII:
Simony and Celibacy 1074". Medieval Sourcebook.
[12] ^
Pope Paul VI (December 1965). "Gaudium
et Spes". Vatican. Diakses pada 16 September 2006.
[14] ^
Letter of Pope Adrian VI to Francesco Chieregati 25 November 1522, where the Pope says that
even "in this Holy See there have been many abominations these many
years — abuses in spiritual things, excessive decrees, and everything
perverted" but did not attribute these abominations to clerical celibacy (Luther's
Correspondence and Other Contemporary Letters, vol. 2 p. 146 by
Preserved Smith). Lihat juga, ^ Catholic historian Ludwig von Pastor's The
history of the popes, from the close of the Middle Ages (1891) (vol.
V): Corruption of the Italian Clergy of all Ranks,169ff.; Fra
Girolama Savonarola 181ff. likewise did not attribute to clerical celibacy
the need for reform that was one of the reasons for holding the Council of Trent.
[19] ^
Catholic Encyclopedia, "Celibacy of the Clergy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar