MATIKAN TV-MU
Tuan-tuan.
Suatu hari di kampung saya gempar. Anak-anak menghilang secara
tiba-tiba. Tidak ada lagi
yang berkeliaran di jalanan dengan teriakan-teriakan khas anak-anaknya. Tidak
ada lagi yang berlarian di pematang sawah atau bersepeda di jalan-jalan
kampung. Kampung jadi sepi dari rengekan mereka meminta uang pada ibunya atau
ketika jatuh kesakitan. Semakin lama suasana pun semakin sepi akan suara dan tawa
mereka, hanya suara orang tua mereka yang semakin panik dan riuh berdengung kerena
anaknya hilang. Mereka kini berkumpul di rumah Pak Lurah.
“Tidak
salah lagi, anak dikampung ini keselong!” Kata seorang tua yang berpakaian
serba hitam di sepan rumah Pak Lurah. Ki Jenggot, begitu mereka
menyebutnya.
Tiba-tiba
saja suasana menjadi semakin riuh seperti lebah yang bergerumun. Masyarakat
semakin cemas akan anak-anaknya. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan untuk menemukan anak-anak mereka.
Tulisan
di atas saya kutip dari sebuah cerita pendek yang sempat saya baca beberapa
hari lalu. Cerpen ”Keselong” karya Yons Ababil itu saya dapatkan dari sebuah
majalah tengah bulanan nasional. Tiba-tiba, ketika sampai pada batas ini, saya
tersentak. Lho! Bukannya ini memang benar-benar sedang terjadi? Ya, sedang
terjadi di waktu kita bernafas dan di tempat kita berpijak. Tidak salah lagi,
di sini. Anak-anak kita sedang menghilang. Entah siapa yang membawa mereka dari
sini, pangkuan kita. Juga entah, mereka keselong (disembunyikan makhluk halus)
atau tidak, seperti dalam cerpen ini. Yang jelas penulis di sini telah
mengingatkan kita akan satu hal ini.
Bukankah
mereka masih ada. Masih bisa kita lihat mereka bermain sepak bola dekat
lapangan Pak Kepala Desa? Mereka juga masih ramai bersepeda di jalanan ketika
pagi menuju ke sekolah?
Jika
itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan berontak untuk segera keluar, maka
jawabannya, tidak. Mereka memang masih bisa kita lihat dengan mata telanjang.
Tapi coba rasakan, hawa mereka tidak lagi terasa. Hawa khas anak-anak ketika
bergerak berloncatan ke sana kemari. Ketika berteriak meneriakkan keinginannya.
Bisa dikatakan jiwa mereka yang telah hilang. Entah siapa yang telah
mengambilnya diam-diam dari kita. Kemudian menukarnya dengan jiwa-jiwa
misterius yang tidak pernah kita ketahui. Anak-anak bukan lagi anak-anak kita
dulu. Mereka telah benar-benar berubah.
Ingat-ingat
saja tentang berita yang muncul setiap pagi di rubrik berita kriminal, hampir
setiap hari kita akan melihat, beberapa kasus kejahatan yang sudah sering
dilakukan anak-anak. Sebut saja seperti mencuri, mengedarkan sekaligus memakai
narkoba, bahkan sampai berani berpesta seks di kelas. Semua pekerjaan yang
sebenarnya juga tidak pantas untuk dilakukan orang dewasa. Tidak hanya itu
anak-anak sekarang adalah anak yang kecanduan dengan sesuatu bernama hiburan,
juga segala sesuatu yang bersifat konsumtif. Meskipun tidak semua mengalami
kejadian seperti itu, tapi ini patut untuk kita khawatirkan. Karena melihat
begitu pesatnya virus ini menyebar, rasanya tidak akan lama lagi seluruh
anak-anak di negeri ini akan menjadi korban.
Matikan TV-Mu
“Saudara-saudara,
memang benar apa yang dikatakan Ki Jenggot. Anak-anak kita keselong. Tapi kita
tidak akan pernah menemukan mereka di tempat-tempat yang kita cari sedari tadi.
Tidak di pohon-pohon beringin atau batu-batu yang kita keramatkan.
Makhluk-makhluk itu kini sudah mempunyai tempat baru yang lebih nyaman bagi
mereka.”
“Lalu
dimana anak kami Wak?”
“Ayolah Wak tolong kami”
“Di mana anak kami Wak?”
“Ikuti saya ! “
Lalu seseorang yang biasa dipanggil Wak Haji
Muksin itu masuk ke dalam rumah Pak Lurah. Sebagian masyarakat yang berada di
luar ikut masuk menuruti keingintahuannya, sampai berdesak-desakan. Padahal
masih banyak sekali orang lain yang masih berada di luar. Apa yang kira-kira
akan dilakukan olehnya. Wak Haji Muksin lalu mendekati sebuah benda berwarna
hitam berkaca dengan beberapa tombol di sisinya. Masyarakat yang melihatnya
semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Di sinilah anak-anak kalian disembunyikan.”
kata Wak Haji sambil mengangkat benda itu tinggi-tinggi.
“Lho,
Wak Haji, bukankah itu televisi?”
“Siapa
bilang ini gethuk”
“Jadi
ada dimana sebenarnya mereka wak?”
“Ayolah
wak buktikan kata-katamu.”
Lalu
Wak Haji Muksin mengangkat lagi benda itu lebih tinggi dan membantingnya ke
lantai. Pak Lurah mencoba menahannya, tapi sudah terlambat. Benda bernama
televisi itu sudah hancur berkeping-keping. Kini semua memperhatikan pecahan
televisi pak lurah di lantai tanpa ada suara.
Tiba-tiba
muncul Ria dan Husein dari kepingan pecahan kaca televisi itu. Semua
terperanjak. Bu Lurah dan suaminya, Pak Lurah, langsung memeluk kedua anaknya
itu sambil menciumnya berkali-kali. Saluruh masyarakat yang mengetahuinya
tersentak kaget.
Sekali
lagi saya tersentak, sebagaimana orang-orang di sana kaget kerena tidak pernah
menyadarinya lebih dulu. Sekali lagi saya merasa kejadian pada kelanjutan
cerpen tadi juga benar-benar terjadi di dunia kita. Ya, televisilah pelakunya.
Penyebab dari kebingungan kita menemukan anak-anak kita yang telah ia bawa
pelan-pelan dari rumah kita berkedok musuh dalam selimut. Televisi yang sengaja
disediakan di rumah untuk membantu menyegarkan pikiran, sebagai media hiburan,
menambah ilmu pengetahuan, fasilitas penambah pengetahuan tentang informasi
dari seluruh dunia, ternyata malah menyembunyikan jiwa-jiwa original anak-anak
kita. Lalu menukarnya dengan jiwa-jiwa bermental uang, baju bagus, kekuasaan,
senang-senang tanpa memikirkan masa depan.
Maka
segera matikanlah televisimu. Matikan segera sebelum ia kembali dan meracuni
anak-anak kita dengan berbagai macam racun mematikannya. Yang dengan dosis
tingginya bisa dengan segera merasuk ke dalam pikiran anak dan merubahnya
menjadi makhluk lain. Padahal, seperti yang sudah kita ketahui, merekalah
calon-calon kuat pengganti generasi-generasi tua yang tidak lama lagi akan
semakin rapuh dan berhenti bernafas dimakan usia. Mereka harus benar-benar
dipersiapkan untuk itu. Dalam hal ini, Seto Mulyadi (Komnas Perlindungan Anak),
juga mengakui bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap pola perilaku
anak-anak atau remaja.
Kalau
masih belum percaya, coba saja ingat-ingat apa yang telah televisi sajikan
kepada kita akhir-akhir ini. Tayangan berita-berita kriminal, yang semakin
mengajari anak-anak kita untuk berani melakukan tindakan-tindakan kekerasan.
Atau sinetron-sinetron dengan tema tetap, tanpa perubahan di setiap
sinetronnya. Hanya tentang cinta, harta, kekuasaan, kemudian tokoh antagonis
melakukan segala cara untuk menang, hingga akhirnya begini, begini dan begitu.
Seakan sudah bisa ditebak. Dan parahnya lagi, hanya sedikit saja perilaku yang
berbau edukatif. Karakter negatif lebih sering muncul daripada karakter
positif. Juga banyak ditemukan unsur kental seksualitas. Tercatat dalam sebuah
penelitian, sikap berpakaian tidak senonoh 49 % dari 196 pemunculan, merayu 14
%, merangkul 11 %, menatap penuh hasrat terhasap lawan jenis 11 % (Republika,
30 Desember 2005). Tidak seperti
yang orang tua harapkan pada sebuah televisi ketika membelinya. Sehingga
tayangan yang lebih banyak mendominasi tayangan-tayangan televisi tersebut
mengajak anak untuk meniru apa yang ada di dalamnya. Dari cara berpakaian,
menggunakan uang jajan, budaya konsumtif, juga dalam menghadapi sebuah masalah
atau menjatuhkan lawan dengan segala cara. Apalagi, seperti yang ditulis oleh
Ahmadun Yosi Herfanda, ada kira-kira 140 sinetron jiplakan yang beredar di
Indonesia. Baik dari tema, cara bersikap, sampai alur cerita dan model
tokohnya. Selain menunjukan bahwa itu adalah bukti kekurangkreativan SDM
industri persinetronan kita, ini juga menyatakan bahwa kebanyakan unsur-unsur
budaya yang menyebar lewat sinetron adalah bukan dari negeri sendiri. Melainkan
budaya asing yang sangat jelas banyak berlawanan dengan budaya asli kita.
Juga reality show yang mulai menjamur akhir-akhir
ini. Yang mengedepankan bagaimana
mendapatkan uang dengan mudah tanpa harus berusaha keras. Hanya tinggal
melakukan apa yang dikatakan oleh presenter. Jika bisa, maka dalam waktu
sekejap uang yang cukup banyak bisa diperoleh. Memang itu akan membantu sang
pemenang dalam kebutuhan hidupnya. Tapi, pelan-pelan sang pemirsa akan termakan
doktrin bahwa mencari uang dan apa yang kita inginkan tidak perlu dengan
bekerja keras, hanya cukup mempersiapkan diri mengikuti acara-acara semisal
yang kini sudah bisa dijangkau dengan mudah di berbagai tempat, juga dengan
berbagai media. Selain langsung, melewati HP misalnya, atau lewat E-mail.
Menjadikan pemirsa yang terpancing untuk itu berhenti memprioritaskan bekerja
keras untuk mencapai tujuan. Mematikan aktif mereka dan menghidupkan budaya
pasif.
Televisi
juga media yang cocok untuk menyebarkan virus pornografi dan pornoaksi yang
semakin menebal saja di negara kita. Kita telah tahu sendiri bagaimana dampak
keduanya bagi anak dan remaja-remaja kita.
Maka,
kini kita semakin tahu akan bahaya yang mengancam. Segeralah matikan
televisimu. Dan sebenarmya bukan hanya itu, masih ada film-film berbau klenik
yang bertebaran di setiap stasiun televisi. Yang semakin menambah sosok aneh
dalam dunia anak-anak. Juga ada tongkat-tongkat ibu peri yang bisa menolong
siapa saja yang kesulitan. Tanpa berusaha lebih keras, hanya tinggal
memanggilnya & meminta tolong untuk mengerjakan ini dan itu. Maka ia
mendapatkan segalanya.
Intinya,
menonton televisi membuat kita menjadi pasif, juga anak-anak. Seorang penonton
televisi hanya tinggal diam dan memikirkan, apa yang akan masuk ke pikiran hari
ini? Sekali lagi matikan televisimu sekarang juga.
Kemudian,
ada satu hal yang mengganjal di benak saya. Sebuah pertanyaan yang mungkin akan
muncul pada setiap orang dewasa maupun anak-anak. Yaitu, bagaimana kita bisa
hidup tanpa televisi? Bagaimana kita bisa langsung mamatikan televisi begitu
saja? Benda yang menghiasi hari-hari kita di rumah. Hidup akan sangat tidak
berwarna. Akan terasa tawar jam-jam yang kita lalui setiap harinya. Kita tidak
akan bisa lagi menikmati acara-acara hiburan ketika lelah dan capek, tidak bisa
lagi memenuhi otak kita dengan beragam informasi yang tersaji begitu rapi, kita
hanya tinggal duduk dan bersiap menonton dan mendengarkannya dengan seksama.
Saya juga seorang anak. Saya juga tahu rasa tentang bagaimana hidup tanpa
televisi. Pasti akan sangat sulit sekali dan memberatkan. Saya tidak akan lagi
bisa menonton acara-acara favorit saya yang menghiasi hari libur, tidak bisa
lagi berdiskusi dengan teman-teman tentang film yang ditayangkan di sebuah
stasiun televisi tadi malam.
Tidak
terasa memang, televisi telah begitu dekat dengan kita. Seakan-akan telah
menjadi kebutuhan primer. Ya, kebutuhan pokok manusia ketika hidup. Sejajar
dengan pakaian yang kita pakai, makanan dan tempat tinggal. Televisi telah
menjadi bagian hidup kita yang tidak bisa kita tinggalkan begitu saja.
Kemudian Bagaimana?
Setelah
beberapa minggu, penduduk kampung ini sudah bisa hidup normal tanpa televisi.
Anak-anak kini sudah kembali mewarnai kehidupan kami. Mereka juga mulai rajin
mengaji di musholla menjelang maghrib. Para orang-orang tua juga mulai
meramaikan majlis-majlis taklim. Tidak ada lagi keributan yang berarti semenjak
kejadian dulu.
Sekarang
aku sedang berada di pasar melanjutkan usahaku sebagai penjual. Tiba-tiba
ada kabar yang menggemparkan seluruh pasar. Anak-anak di kecamatan
menghilang tanpa jejak. Ah tidak! Ternyata bukan cuma di kecamatan, tapi juga
di kabupaten, juga provinsi, bahkan seluruh negeri. Negeri ini menjadi sepi
dari suara anak-anak.
Akhirnya
seluruh warga kampung aman dari suara-suara bising televisi. Tapi, kejadian
hilangnya anak-anak ternyata malah meluas. Bukan hanya di kampung itu saja.
Tapi ke daerah-daerah lain di seluruh pelosok negeri. Dan akhirnya, kabar bahwa
anak-anak disekap di dalam televisi menyebar. Bisa dipastikan setelah itu, jika
seluruh orang tua masih menginginkan anaknya, maka ia harus rela mengorbankan
televisi yang sudah menjadi bagian hidupnya demi kehadiran anaknya kembali.
Mungkin
di sinilah seharusnya saya, dan mungkin kita, tidak sependapat dengan si
penulis cerpen. Biar bagaimanapun, televisi adalah bagian hidup kita. Dan tidak
mungkin untuk dihilangkan begitu saja. Saya yakin, penciptaan televisi
dilakukan untuk bisa diambil manfaat sebesar-besarnya darinya. Bukan dengan
sengaja menghancurkan generasi yang nantinya akan menggantikannya. Jadi pasti
ada masalah di dalam perantara antara penyelenggara penyiaran televisi dengan
pemirsa televisi di rumah-rumah.
Banyak
sekali yang berhubungan dengan sebuah kotak mungil berkaca bernama televisi
ini. Yang biasa kita singkat dengan TV saja. Yang pertama yang tidak mungkin
bisa lepas darinya adalah organisasi penyiaran itu sendiri. Karena merekalah
yang memegang kendali jalannya TV.
Ini
juga ada hubungannya dengan pemerintah, selaku wakil-wakil rakyat yang diutus
untuk memberikan manfaat yang sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya, mereka harus
memberi kebijakan yang jelas dan aplikasinya yang riil dan nyata di lapangan. Tentang
mereka yang melanggar peraturan penyiaran, maka harus ada sanksi tersendiri.
Dan jika ada sebuah stasiun televisi atau acara yang terbukti mengamalkannya
dan berhasil untuk bermanfaat bagi penontonnya, maka penghargaanlah yang mereka
peroleh. Dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menampakkan dirinya.
Mereka memperingatkan stasiun-stasiun televisi untuk tidak melanggar Pedoman
Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3SPS), jika masih saja belum di
respon, maka jalur hukum akan ditempuh, dengan konsekuensi, izin tayang akan
dicabut. Tapi ini tentu saja masih belum cukup.
Yang
kedua, harus ada pengawasan terhadap anak-anak itu sendiri. Akan percuma saja
jika anak tidak diawasi dalam kesehariannya. Pisau dapur yang sebenarnya
digunakan untuk mengupas buah bisa saja digunakan untuk membunuh kucing
tetangga, atau juga bisa adik kecil anak kita yang sedang tidur di dalam kamar.
Begitu juga dengan televisi, ia memang bisa bermanfaat bagi kita, tapi jika
tanpa pengawasan, sama saja bohong. Semua bisa saja melakukan apa-apa yang
melenceng dari ketentuan sebenarnya, apalagi anak-anak yang kondisinya memang
masih sangat mudah untuk menerima dan memasukkan apa saja dalam pikirannya
untuk segera dilakukan.
Cara
ini bisa dilakukan dengan mencari tahu, acara apa saja yang ditonton anak kita.
Kalau sekiranya itu pantas dan bermanfaat baginya maka itulah yang terbaik
baginya. Dan kalau jelas-jelas yang ditonton adalah tayangan kekerasan
misalnya, atau acara-acara lain yang akan berakibat buruk baginya, segera saja
alihkan perhatiannya ke hal lain. Tidak hanya itu, seorang ayah atau ibu
hendaknya tidak bosan untuk memberi pengertian tentang apa yang pernah masuk
dalam pikiran anak atau tentang apa yang dia tanyakan tentang
kejanggalan-kejanggalan yang didapatinya. Juga lebih baik orang tua harus aktif
menanyai si anak tentang apa yang di dapat anak sehari itu, bisa dilakukan
malam hari sebelum tidur. Ditakutkan ada hal-hal yang dapat berdampak negatif
jika kita tidak memberinya pengertian.
Sebenarnya
segala sesuatu yang ada dunia ini seperti halnya dua mata pedang, pasti
mempunyai manfaat dan kebalikannya, yatiu mudlarat. Semua. Nuklir saja,
sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai bom yang bisa meledak dengan efek yang
luar biasa. Pada dasarnya nuklir diciptakan untuk pembangkit listrik yang
efisien. Kemudian tentang bagaimana efek negatif dan positif ini bisa terjadi
adalah karena pemakainya. Dia berniat baik atau tidak. Atau jika si pemakai
salah dalam menggunakannya, orang-orang di sekitarnya akan mengingatkan atau
tidak.
Begitu
juga dengan televisi, jika kita bisa mengambil manfaatnya dan menggunakannya
seoptimal mungkin, maka akan sangat banyak sekali yang kita dapatkan. Jika
seseorang pernah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia, maka menurut saya,
‘televisi adalah buku lain yang lebih besar yang berada di dinding yang lain
pula’. Ya, adalah jendela yang lebih besar. Sebagai salah satu komponen
globalisasi yang membuat besarnya jarak menjadi kian tak berarti. Kejadian di
belahan bumi sana akan bisa seseorang ketahui di belahan bumi yang lain dalam
waktu sekejap. Ya, salah satunya adalah melalui benda ini. Juga, media audio
visual ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemirsanya. Maka akan
sangat bermanfaat sekali jika menggunakannya untuk meningkatkan taraf
pendidikan di Negara kita.
Dengan
begitu, diharapkan akan muncul acara-acara televisi yang baik bagi pemirsanya,
terutama anak-anak. Yaitu acara yang menyajikan kebaikan dan tentunya yang
berdampak positif bagi anak-anak kita untuk menciptakan lingkungan yang baik
pula.
Marilah kita mengambil manfaat sebesar-besarnya
darinya. Saya berharap RUU APP akan segera disahkan, mekipun 30 % di antara
kita menolaknya (Repubilka, 11 Maret 2005), juga pengawasan acara-acara yang
akan tayang di televisi untuk segera kembali digalakkan, kekhawatiran orang tua
terhadap perkembangan anaknya, terutama yang berhubungan dengan televisi,
dengan mengurangi menyeleksi porsi menonton segera ditingkatkan. Juga yang
paling penting, agar energi potensi positif televisi dapat segera kita nikmati
bersama. Tentunya itu semua tidak bisa ditangani oleh hanya satu orang saja,
tapi dengan uluran tangan kita semua. Akhirnya, ada satu harapan lagi yang
ingin saya sampaikan pada mereka yang bertanggung jawab atas ini. Mengertilah,
saya, juga seluruh anak-anak di negeri ini, kelak akan menjadi pelaku
regenerasi pelaku negeri ini. Bukan hanya dalam pemerintahan, tapi dalam segala
bidang. Juga yang paling penting adalah membentuk sejarah kebaikan untuk masa
depan.
Lalu
apa yang harus kita lakukan sekarang? Matikan TV-mu. Ya, matikanlah televisimu
untuk sementara ini. Lebih cepat lebih baik. Jangan biarkan ia menguasai waktu
kita. Cukup sediakan sedikit saja waktu untuknya. Itu juga untuk acara-acara
yang jelas-jelas bermanfaat. Terutama untuk anak-anak kita. Kita telah tahu,
akan jadi apa mereka nanti.
* Luthfi Andi Z, alumni TMI Al-Amien Prenduan tahun 2007,
asal Lumajang. Kini, sedang menyelesaikan S-1nya di IDIA Prenduan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar