Tentu kita masih ingat akan pernyataan terkenal dari Mgr. Albertus
Soegiyopranoto, SJ tentang menjadi “Katolik 100%, Indonesia 100%” Pernyataan
ini mau menunjukkan bahwa kekatolikan dan keindonesiaan tidaklah bertentangan,
melainkan harus saling melengkapi. Pernyataan ini bertujuan agar orang kristen,
khususnya katolik, mau memberi diri bagi pembangunan dan perkembangan bangsa
dan negara.
Tidak adanya pertentangan antara warga dan negara, sebenarnya sudah
diisyaratkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Hal ini terlihat dari pernyataan-Nya,
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada
Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22: 21). Tampak jelas
Tuhan Yesus tidak membuat pemisahan, apalagi pertentangan.
Dari pernyataan Tuhan Yesus dan Uskup Soegiyo ini dapat dikatakan bahwa
para pengikut Kristus hidup dalam sebuah komunitas negara. Ditegaskan bahwa
sebagai umat beriman dan beragama, orang tidak bisa terlepas dari perannya
sebagai warna negara. Sebagai orang kristen di Indonesia, apa peran kita bagi
negara ini?
Dalam Seminar Terbuka Program Paascasarjana Universitas Kristen Indonesia
dengan tema Agama dalam Ruang Publik: Ancamankah bagi Negara Hukum? di
Kampus UKI Diponegoro, Jakarta, Romo Franz Magnis Suseno, SJ mengajak umat
kristiani untuk melihat kembali apa yang tersurat dalam Matius 25. Menurut dia,
hal tersebut penting agar umat kristiani sadar dan mau saling menyadarkan
tentang tanggung jawabnya terhadap dunia.
Menurut imam kelahiran 26 Mei 1936 ini, Matius 25 menjelaskan kriteria seorang yang akan masuk dalam Kerajaan Allah. Kriteria itu adalah apakah kita memperhatikan mereka yang lapar, yang miskin, yang terpinggirkan dan sebagainya, bukan karena kita banyak berbicara masalah rohani. Kehadiran umat Kristen di tengah masyarakat merupakan kawanan kecil, sehingga seharusnya bisa terasa sebagai unsur positif.
Matius 25 yang dimaksud Romo Magnis ini adalah Matius 25: 31 –
46. Di sini dikisahkan tentang pengadilan akhir, dimana Tuhan akan
memisahkan manusia ke dalam dua kelompok besar, yaitu orang jahat yang masuk ke
alam penderitaan dan orang baik yang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Tolok ukur
penilaiannya adalah perbuatan kita selama hidup di dunia; dan perbuatan baiklah
yang disukai Allah. Perbuatan baik kepada sesama, secara tidak langsung
ditujukan juga kepada Allah. “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk
Aku.” (Mat 25: 40).
Di Indonesia masih ada begitu banyak warga yang “hina” dan yang “paling
hina”. Mereka adalah saudara-saudari kita yang miskin, tersisih dan
terpinggirkan, kaum minoritas dan terlantar. UUD 1945, pasal 34 ayat 1
menyatakan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Negara punya kewajiban untuk memperhatikan dan mengurus orang-orang “hina” ini.
Karena itu, jika benar-benar melaksanakan Matius 25, dapat dikatakan umat
kristen telah ikut berperan dalam tugas negara.
Untuk bahasa politik, Romo Magnis menilai bahwa kehadiran umat Kristen bisa
diterjemahkan sebagai bentuk dukungan untuk memperjuangkan hak asasi manusia
(HAM) dan martabat seluruh umat manusia. Singkat kata, orang Kristen harus ikut
memanusiakan masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar