Sudah kerap kali kita mendengar isu ijasah palsu Perguruan Tinggi. Topik
ini sangat intens diberitakan, baik di media cetak maupun media elektronik,
apalagi bila terkait tokoh publik. Memang masalah ini amat sangat
memprihatinkan. Lembaga, yang seharusnya memperjuangkan nilai-nilai kejujuran
dan kebenaran, justru malah menciptakan kebohongan. Karena itu, tuntutan
penanganan yang segera menjadi suatu keharusan.
Fenomena ijasah palsu sebanrnya sudah ada sejak lama. Apakah karena menteri
pendidikan tidak mau kongkalikong atau karena adanya persaingan, entah itu di
internal atau juga di eksternal kementerian. Tapi, kita patut apresiasi atas
keputusan beberapa menteri (menteri pendidikan tinggi dan menteri PAN)
menyikapi kasus ijasah palsu ini.
Sebenarnya masalah pendidikan, terkait dengan soal kejujuran dan kebenaran,
tidak hanya mengenai ijasah palsu. Masih ada masalah lain yang terkait, yang
juga menuntut peran aktif dari kementerian, khususnya menteri pendidikan.
Setidaknya ada dua kasus.
Pertama, jual beli skripsi. Dewasa ini banyak mahasiswa mendapatkan skripsinya dengan cara membeli atau meminta orang lain yang membuatnya. Sama seperti ijasah palsu, masalah ini pun sebenarnya bukanlah masalah baru. Praktek jual beli skripsi ini disinyalir sudah ada sejak 5 – 10 tahun lalu. Hal ini dapat dilihat dari layanan iklan jasa pembuatan atau pengetikan skripsi.
Lebih parah lagi, skripsi yang dijual merupakan skripsi dari mahasiswa
lama. Misalnya skripsi mahasiswa tahun 1999. Karena kebetulan mahasiswa tahun
2015 membuat skripsi dengan tema yang sama, maka terjadilah transaksi jual beli
skripsi. Penjual tinggal ganti nama dan nomor mahasiswanya, ubah sedikit judul
dan ganti tahun pada cover skripsi.
Umumnya, yang menjual skripsi ini adalah pemilik layanan fotocopy, karena
biasanya mereka memiliki arsip skripsi. Terjadinya seperti ini, ketika
mahasiswa minta print dan jilidkan skripsi, mahasiswa datang
dengan membawa flashdisk. Petugas fotocopy mengcopy file
skripsi dari flashdisk ke komputernya; dan itu menjadi
arsipnya. Hal ini dilakukan dengan mahasiswa lainnya. Jadi, jika dalam setahun
ia melayani 10 mahasiswa, maka ia memiliki 10 file skripsi. Mungkin dia sudah
punya aturan bahwa file skripsi yang boleh dijual adalah file skripsi yang
sudah berusia di atas 5 tahun.
Menjamurnya praktek jual beli skripsi ini mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti dosen penguji yang malas membaca dengan teliti dan mengkritisi
skripsi mahasiswanya, sistem kontrol skripsi dari lembaga pendidikan yang
lemah, dan mental instan di kalangan mahasiswa saat ini.
Kedua, mudahnya perizinan kampus. Dewasa ini ada
begitu banyak sekolah tinggi, akademi dan perguruan tinggi. Ada kesan bahwa
izin untuk menyelenggarakan perguruan tinggi ini sangat mudah. Dinas terkait
tidak memperhatikan kelayakan suatu lembaga menjadi sekolah tinggi atau
akademi. Misalnya, soal tenaga ahli atau dosen dan sarana prasarananya. Di
suatu tempat ada banyak sekolah tinggi, tapi gedungnya masih sewa di ruko atau
memakai/meminjam gedung SMA dan dosennya pun ala kadar.
Karena begitu mudahnya mendapatkan izin menyelenggarakan pendidikan tingkat
tinggi, maka kampus-kampus ini mulai berlomba-lomba menjaring mahasiswa. Dan
dalam usaha menjaring mahasiswa ini, berbagai cara ditempuh. Salah satunya
adalah kemudahan mendapatkan ijasah.
Menjamurnya sekolah-sekolah tinggi ini mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti lemahnya pengawasan dari dinas terkait dan banyaknya calon
mahasiswa akibat tuntutan siswa SMA wajib lulus. Pengawasan yang lemah dari
dinas terkait bukan hanya dalam urusan perizinan pendirian saja, melainkan juga
jalannya proses perkuliahan.
Itulah dua kasus lain dari dunia pendidikan tinggi kita dewasa kini. Sama seperti kasus ijasah palsu, dua kasus ini pun membutuhkan penanganan yang serius oleh dinas pendidikan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar