Selama ini kita tahu bahwa nabi itu adalah utusan Tuhan. Mereka selalu
membawa pesan dari Tuhan. Hal ini membuat kita berpikir bahwa hidup mereka
sangatlah dekat Tuhan, karena mereka mempunyai relasi istimewa dengan Tuhan.
Dari gambaran ini tak salah jika kita berkesimpulan bahwa nabi itu adalah orang
yang baik.
Akan tetapi, Yeremia membuka mata kita bahwa tidak selamanya nabi itu baik.
Dalam Yeremia 28: 1 –
17 dikisahkan ada nabi bernama Hananya bin Azur yang berasal
dari Gibeon. Dengan mengatasnamakan Tuhan, ia menyampaikan kabar gembira kepada
seluruh umat, “Aku telah mematahkan kuk raja Babel itu. Dalam dua tahun ini Aku
akan mengembalikan ke tempat ini segala perkakas rumah TUHAN yang telah diambil
dari tempat ini oleh Nebukadnezar, raja Babel, dan yang diangkutnya ke Babel.”
(ay. 2 – 3).
Ketika mendapat tantangan dari Nabi Yeremia, Nabi Hananya memberi semacam
perumpamaan tentang pembebasan itu dengan mengambil gandar dari tengkuk Yeremia
dan mematahkannya. Hananya berkata di hadapan umat, "Beginilah firman
TUHAN: Dalam dua tahun ini begitu jugalah Aku akan mematahkan kuk Nebukadnezar,
raja Babel itu, dari pada tengkuk segala bangsa!" (ay. 11).
Menghadapi perumpamaan Hananya ini, Yeremia menggantikan gandarnya sesuai perintah Tuhan. Kini gandarnya bukan lagi dari kayu melainkan berbahan besi. Tentulah Hananya akan mengalami kesulitan untuk mematahkan gadar itu. Yeremia berkata, “Kuk besi akan Kutaruh ke atas tengkuk segala bangsa ini, sehingga mereka takluk kepada Nebukadnezar, raja Babel; sungguh, mereka akan takluk kepadanya! Malahan binatang-binatang di padang telah Kuserahkan kepadanya." (ay. 14). Di sini Yeremia mau mengatakan bahwa penderitaan umat masih akan berlangsung, malah semakin berat. Kuk penindasan akan semakin keras dan berat seperti besi.
Umat menghadapi dua orang nabi, yang sama-sama menyampaikan pesan atas nama
Tuhan. Sekalipun sama-sama atas nama Tuhan, namun nada pesannya berbeda. Warta
Nabi Hananya menyenangkan, sedangkan warta Nabi Yeremia bernada tidak
menyenangkan. Pastilah umat akan lebih memilih Nabi Hananya, karena ia memenuhi
keinginan hati umat. Sebaliknya, mereka tidak suka Nabi Yeremia. Warta Yeremia
bukannya menyejukkan hati, tapi malah membuat hati umat galau.
Namun Tuhan berkenan pada Yeremia. Dari kisah dapat diketahui bahwa Nabi
Hananya akhirnya mati. Di mata Yeremia, Hananya telah berdusta terhadap umat.
Di dalam warta Hananya yang menyenangkan hati ternyata terdapat dusta. Hananya
merupakan contoh nabi yang buruk, yang hanya mau menyenangkan hati umat supaya
umat suka padanya. Hananya tidak mewartakan kebenaran, yang darinya dapat
melahirkan pertobatan dalam diri umat.
Kisah di atas benar-benar membuka mata kita bahwa ternyata tidak semua nabi
itu baik. Ada saja nabi yang buruk. Jadi, jabatan nabi tidak menjadi jaminan
bahwa orang tersebut adalah baik, sekalipun ia menyenangkan umat. Tidak ada
kaitan antara jabatan dengan kebaikan seseorang; juga tidak ada kaitan antara
menyenangkan umat dengan kebenaran.
Gambaran nabi yang buruk dalam dunia Perjanjian Lama, kembali terungkap
dalam zaman modern ini. Gambaran itu memang tidak terdapat dalam diri nabi,
melainkan dalam diri imam. Awal Oktober lalu, dalam misa pembukaan sinode
keluarga di Vatikan, Paus Fransiskus mengingatkan
akan adanya gembala yang
buruk. Indikasi keburukan itu terlihat dari keserakahan demi
uang dan kekuasaan/jabatan.
Bapa Paus melihat bahwa demi uang dan jabatan kekuasaan, para gembala ini
bukannya memikirkan umat melainkan hanya pada dirinya sendiri. Umat dijadikan
sasaran untuk mendapatkan uang. Melayani umat bukan demi pelayanan, melainkan
demi uang. Jabatan digunakan untuk mendapatkan uang. Dengan kata lain, bagi
gembala buruk umat adalah ATM dan jabatan adalah mesin
uang.
Gambaran gembala yang buruk ini bukanlah merupakan isapan jempol. Bapa Paus
tidaklah mengada-ada. Gambaran itu sangat realistis, bisa ditemukan di mana
saja. Ada banyak imam yang begitu serakah terhadap jabatan karena dari jabatan
itu ia mendapatkan uang. Karena itu, sekalipun sudah punya jabatan ini dan itu,
ia tetap saja ngotot untuk mendapatkan jabatan lain, misalnya ketua yayasan,
karena demi uang. Kepada umat dan orang lain ia akan berkata, “Ini kehendak
Bapak Uskup. Saya hanya menjalankan saja keputusan. Saya hanyalah imamnya.”
Dengan mengatasnamakan uskup, akan timbul kesan bahwa sebenarnya ia tidak
serakah. Padahal masih ada banyak imam lain yang bisa menjabat jabatan itu.
Namun imam ini disingkirkan atau dihalang-halangi. Siapa yang
menghalang-halangi atau menyingkirkan? Hanya mereka saja yang tahu. Namanya
juga gembala yang buruk. Karena itu, segala trik busuk akan terjadi di sana.
Akankah gembala yang buruk ini akan mengalami nasib seperti Nabi Hananya,
yang adalah nabi buruk? Zaman sudah berbeda. Perilaku boleh saja sama, namun
belum tentu nasib juga ikut sama. Jika dalam zaman Perjanjian Lama, Nabi
Hananya mengalami kematian fisik, zaman sekarang gembala buruk mengalami
kematian hati nurani.
Dari sini bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa jabatan atau profesi “baik”
seseorang bukan berarti bahwa orang itu adalah baik. Nabi dan imam (gembala)
adalah jabatan atau profesi “baik”. Orang yang menyandang jabatan sebagai nabi
atau imam, akan dinilai sebagai orang baik secara moral religius. Akan tetapi,
tidak selamanya jabatan atau profesi “baik” itu berkorelasi pada pribadi yang
baik, karena ada nabi yang buruk dan ada juga imam yang buruk seperti contoh di
atas.
Karena itu, jangan hanya melihat dari jabatan atau profesinya saja. Tidak ada hubungan antara profesi atau jabatan dengan kebaikan seseorang. Untuk itu, kita diminta untuk bersikap kritis. Salah satu alat bantu untuk bersikap kritis adalah kata-kata Tuhan Yesus, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Mat 7: 20).
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar