Jumat, 24 Desember 2021

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH SURAH HUD AYAT 110

 


Dan sungguh, Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Musa, lalu diperselisihkannya. Dan kalau tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Tuhanmu, niscaya telah dilaksanakan hukuman di antara mereka. Sungguh, mereka (orang kafir Mekkah) benar-benar dalam kebimbangan dan keraguan terhadapnya (Al-Qur’an) [QS 11: 110]

Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas dan dasar iman bagi hidupnya. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an datang langsung dari Allah. Ada dua versi pemaknaan dari kata “langsung” ini. Versi pertama memahami Al-Qur’an, sebagai sebuah kitab yang utuh diberikan langsung kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini didasarkan pada kisah malaikat yang menampakkan diri kepada Muhammad, yang waktu itu sedang bersemedi di gua Hira. Saat itu malaikat memberi perintah singkat: Bacalah! Tentulah waktu itu sudah ada kitab, yang belakangan dikenal dengan nama Al-Qur’an, sehingga malaikat menyuruh Muhammad untuk membacanya. Versi lain memahami bahwa wahyu Allah SWT diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah dan Madinah (jaraknya kurang lebih 450 km). Makna “langsung” di sini Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada Muhammad, dan kemudian ditulis. Kumpulan tulisan wahyu Allah ini kemudian dikumpulkan, dan jadilah Al-Qur’an.

Ada banyak paham tentang Al-Qur’an ini, yang semuanya berasal dari perkataan Allah sendiri. Ada wahyu yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah keterangan yang jelas (QS Ali Imran: 138) ada juga yang mengatakannya sebagai penjelasan yang sempurna (QS Ibrahim: 52). Terkait dua wahyu ini, tak sedikit ulama islam memaknai Al-Qur’an sebagai kitab yang sudah terang benderang, sehingga tak perlu lagi penafsiran. Arti dan makna wahyu Allah seperti apa yang tertulis.

Berangkat dari premis-premis di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas adalah perkataan Allah sendiri (kecuali kata-kata yang ada dalam tanda kurung). Apa yang dikatakan Allah itu sudah jelas arti dan maknanya. Karena itulah, tulisan ini lebih pada pengkajian atas wahyu Allah tersebut, bukan berusaha menangkap pesannya. Penelaahan atau kajian atas wahyu Allah ini akan bisa mengungkap seberapa jelas wahyu Allah tersebut.

Sepintas sudah terlihat bahwa wahyu Allah di atas terdiri dari 3 kalimat. Pertama-tama kita akan melihat kata ganti orang yang ada pada ketiga kalimat tersebut. Setidaknya ada 4 kata ganti, yaitu

1.    Kami. Kata ini terdapat pada kalimat pertama. Penggunaan huruf kapital menunjukkan bahwa kata ganti “kami” ini merujuk pada Allah yang sedang berbicara. Allah ini juga yang memberikan Kitab Taurat kepada Musa. Jadi, Allah yang berbicara dan Allah yang memberikan Kitab Taurat kepada Musa adalah Allah yang satu dan sama.

2.    –nya. Ini adalah kata ganti orang ketiga kepunyaan tunggal (jamak: mereka). Ada dua kata ganti “-nya”, yang terdapat pada 2 kalimat, yaitu kalimat pertama (diperselisihkannya) dan kalimat ketiga (terhadapnya). Untuk kata ganti “-nya” pada kalimat ketiga sudah jelas maksudnya, karena sudah diberi keterangan tambahan dalam tanda kurung. Kata itu dimaksudkan sebagai Al-Qur’an. Akan tetapi, keterangan tambahan kemudian, yang bisa dipastikan berasal dari manusia, tentulah sedikit membingungkan. Kenapa kata “-nya” pada kalimat ketiga ini dimaknai sebagai Al-Qur’an, sedangkan yang lain tidak. Apakah kata ganti “-nya” pada kalimat pertama juga mempunyai makna yang sama seperti pada kalimat ketiga? Tentu saja tidak. Akan tetapi, maksud atau makna kata ganti “-nya” pada kalimat pertama tidak jelas. Apakah mengacu pada Kitab Taurat atau orang-orang yang memperselisihkan kitab tersebut? Jika yang dimaksud adalah orang-orang yang memperselisihkan, maka berdasarkan ilmu linguistik seharusnya digunakan kata ganti “mereka”. Akan tetapi, jika mengacu pada Kitab Taurat, maka pertanyaannya siapa yang memperselisihkannya? Jadi, di sini terdapat dua ketidak-jelasan, yaitu siapa memperselisihkan apa? Ketidak-jelasan ini tentulah membuat paham Al-Qur’an sebagai kitab atau keterangan yang jelas menjadi tidak jelas. Artinya, Al-Qur’an sebagai kitab atau keterangan yang jelas hanya sebagai slogan saja.

3.    –mu. Seperti yang di atas, ini adalah kata ganti orang pertama kepunyaan tunggal (jamak: kalian). Siapa yang dimaksud “-mu” dalam kata “Tuhanmu” itu? Kalau menggunakan ilmu linguistik, dalam konteks komunikasi, dapatlah dipastikan kata “-mu” merujuk kepada Muhammad. Jadi, kata “Tuhanmu” adalah Tuhannya Muhammad. Yang membuat kalimat kedua ini menarik adalah Allah yang berbicara menyebut Tuhannya Muhammad. Ini ada dua kemungkinan. Pertama, Tuhannya Muhammad yang disebut itu berbeda dengan Tuhan yang sedang berbicara kepada Muhammad. Dengan kata lain, ada dua Tuhan. Jika memang Tuhannya Muhammad itu adalah Tuhan yang sedang berbicara, maka seharusnya dia menggunakan kata ganti “kami” seperti pada kalimat pertama. Kedua, Tuhannya Muhammad yang disebut itu adalah Tuhan yang sedang berbicara. Namun, hal ini sebenarnya masih sangat lemah. Seharusnya, antara kata “dari” dan “Tuhanmu” harus disisipi kata ganti “kami”. Dengan demikian kata “Tuhanmu” hendak menjelaskan kata “kami”.

4.    Mereka. Ini adalah kata ganti orang ketiga jamak. Ada dua kata ganti “mereka”, yang terdapat pada 2 kalimat, yaitu kalimat kedua dan kalimat ketiga. Pada kalimat ketiga sudah jelas maksudnya, karena sudah diberi keterangan tambahan dalam tanda kurung. Kata itu dimaksudkan sebagai orang kafir Mekkah. Apakah kata ganti “mereka” pada kalimat kedua juga mempunyai makna yang sama seperti pada kalimat ketiga? Agak sulit untuk dipastikan, sama sulitnya menentukan siapa yang dimaksud dengan “orang kafir Mekkah”. Sebagaimana diketahui, Mekkah merupakan lokasi awal karya perutusan Muhammad. Di Mekkah sudah ada pemeluk agama lain, selain orang Arab, sesama suku bangsa Muhammad. Di sana ada orang Yahudi dan Nasrani. Pada awal penampilannya, Muhammad memang terlihat toleran, menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Orang Yahudi dan Nasrani dikenal sebagai kaum ahlul kitab. Orang kafir hanya ditujukan kepada orang Arab.

Jika dikaitkan dengan kalimat pertama, kata “mereka” pada kalimat kedua bisa ditafsirkan sebagai orang-orang yang memperselisihkan Kitab Taurat. Orang-orang inilah yang akan dihukum. Akan tetapi, tetap saja tidak dapat diketahui dengan pasti apa yang diperselisihkan, sekalipun sudah dinyatakan Al-Qur'an adalah keterangan yang jelas. Yang membuat menarik adalah pada kalimat ketiga tiba-tiba muncul kata ganti “mereka” yang sama sekali tidak ada kaitan dengan kata “mereka” sebelumnya. Namun, hal ini masih bisa didiskusikan, karena keterangan dari kata “mereka” pada kalimat ketiga bukan merupakan perkataan Allah, melainkan tambahan kemudian oleh manusia. Karena itu, bisa saja kata “mereka” pada kalimat ketiga ini sama dengan kata “mereka” pada kalimat kedua. Jika memang kata “mereka” itu, pada kalimat kedua dan ketiga, merujuk pada kelompok orang yang sama, maka patut diduga pada kata tersebut mengacu pada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka inilah yang menerima Kitab Taurat, dan kemungkinan terlibat dalam perselisihan, sehingga mereka dihukum. Mereka juga yang meragukan Al-Qur’an.

DEMIKIANLAH kajian atas wahyu Allah dengan berpusat pada kata ganti yang ada di dalamnya. Dari penelaahan ini tampak jelas bahwa jalan pikiran Allah yang menyampaikan firman sangat kacau, karena ada begitu banyak kekacauan dan ketidak-jelasan informasi. Padahal, Allah sendiri sudah menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas. Mungkin banyaknya kekacauan dan ketidak-jelasan wahyu Allah ini membuat orang kafir Mekkah berada dalam kebimbangan dan keraguan. Maklum, karena dalam wahyu Allah itu tidak dijelaskan sejelas-jelasnya kenapa dan apa yang membuat orang kafir Mekkah berada dalam kebimbangan dan keraguan.

Melihat banyaknya kekacauan dan ketidak-jelasan informasi ini, dapatlah diajukan satu pertanyaan, benarkah Al-Qur’an atau kutipan ayat di atas merupakan perkataan Allah? Bagi orang yang mempunyai akal sehat, pastilah akan mengatakan bahwa kutipan ayat itu bukan dari Allah, karena Allah itu maha sempurna, mahatahu dan maha benar. Tentulah pendapat ini hendak menyelamatkan Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas. Akan tetapi, pendapat ini bukan tanpa konsekuensi. Jika kutipan itu bukan dari Allah, maka haruslah dikatakan bahwa kutipan itu bukan ayat Al-Qur’an.

Menjadi persoalan, ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang berisi kekacauan dan ketidak-jelasan informasi. Hal ini membuat orang langsung meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Dapat dipastikan Al-Qur’an hanyalah karangan manusia. Keterbatasan manusiawinya itu membuat banyak kekacauan dan ketidak-jelasan informasi di dalamnya. Karena itu, tak heran bila JK. Sheindlin menyimpulkan bahwa Al-Qur’an “adalah pikiran orang bingung yang ditulis di atas kertas.” Dan orang yang bertanggung jawab itu bernama Muhammad.

Lingga, 6 November 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar