Selasa, 20 Juli 2021

IMAN KEPADA ALLAH BERHADAPAN DENGAN PENDERITAAN


 

Semua umat beriman, apapun agamanya, tentulah meyakini bahwa Tuhan adalah Allah yang mahakuasa. Umumnya kemaha-kuasaan itu dipahami dengan kemampuan melakukan apa saja, sesuai dengan yang ada di benak manusia atau menurut keinginan manusia. Selain mahakuasa, Allah juga diyakini sebagai mahabaik. Sama seperti kemaha-kuasaan, sifat mahabaik ini juga dipahami dengan segala yang baik menurut selera dan kemauan manusia. Atau dengan kata lain, kemaha-baikan itu umumnya dimaknai bila apa yang diinginkan manusia terpenuhi.

Bukan rahasia lagi bila kehidupan manusia tidak selalu dihiasi dengan “kebaikan”. Selalu saja terjadi keburukan, entah itu berupa penyakit, bencana, kejahatan maupun kegagalan, yang semuanya dapat dilihat sebagai penderitaan. Keburukan atau penderitaan ini bahkan mengisi kehidupan manusia sekalipun manusia itu tetap senantiasa berdoa kepada Allah, yang diimaninya sebagai mahakuasa dan mahabaik. Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan teologis, yakni mempertanyakan kekuasaan dan kebaikan Allah kala penderitaan melanda. Dalam ilmu teologi tema ini dikenal dengan istilah teodise. Uraian berikut ini didasarkan pada Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Allah Tritunggal Adalah Kasih: Tinjauan Historis-Sistematik. Yogyakarta: Maharsa Artha Mulia, 2017, hlm. 115 – 123.

Tema teodise ini sebenarnya sudah lama muncul dalam pemikiran umat manusia, bahkan jauh sebelum kekristenan muncul. Tercatat bahwa topik ini pertama kali diangkat oleh Epikuros pada sekitar tahun 300 Sebelum Masehi. Ada 4 premis yang diajukannya, yakni [1] jika Allah mau tapi tidak dapat melakukannya (+ -), berarti Dia lemah. Ini tidak sesuai dengan hakikat Allah yang mahakuasa. [2] jika Allah dapat melakukan, namun tidak mau (+ -), ini berarti Dia buruk/jahat. Ini juga tidak sesuai dengan hakikat Allah yang mahabaik. [3] jika Allah tidak mau dan tidak dapat melakukannya (- -), berarti Allah itu buruk dan lemah. Hal ini membuat Dia sama bukanlah Allah. [4] jika Allah mau dan dapat melakukannya (+ +), menjadi pertanyaan kenapa masih ada penderitaan (Mgr. Adrianus, 117).

Persoalan ini terus menjadi pertanyaan bagi para filsuf dan juga teolog dari masa ke masa. Dari sini lahirlah apa yang dinamakan “teologi penderitaan”. Teologi ini memberikan beberapa jawaban, yang tentunya belum memuaskan karena masih tekandung kelemahan. Pertama, penderitaan dan kejahatan dibutuhkan agar kebaikan semakin nyata. Di sini terkenal ucapan St. Agustinus, “Malum auget decorem in universe.” Warna gelap dibutuhkan dalam sebuah lukisan agar ia benar-benar tampil indah. Tentulah hal ini wajar. Mana akan muncul keindahan jika hanya ada satu warna saja. Argumen ini berarti penderitaan dan kejahatan itu baik dan dibutuhkan, padahal itu jelas-jelas bertentangan dengan kesadaran moral. Mana ada orang yang benar-benar menghendaki penderitaan atau kejahatan menimpa dirinya (Mgr. Adrianus, 118).

Kedua, ada hikmat di balik penderitaan. Artinya, penderitaan, bahkan kejahatan, tidaklah sepenuhnya negatif. Di dalamnya masih terkandung hal-hal positif, tergantung cara orang menyikapinya. Di sini mau dikatakan bahwa Tuhan hendak memberi pelajaran lewat penderitaan. Dengan perkataan lain, kebaikan dapat muncul dari balik kejahatan atau penderitaan. Leibniz adalah tokoh di balik pandangan ini. Menjadi pertanyaan, kenapa Tuhan memberi pelajaran lewat peringatan yang bersifat negatif dan menyakitkan? Fakta membuktikan banyak orang frustasi dan bunuh diri karenanya, bahkan menjadi ateis (Mgr. Adrianus, 119).

Ketiga, penderitaan adalah hukuman dari Allah atas dosa manusia. Prinsip dasarnya adalah setiap kesalahan pasti mendapat hukuman, dan hukuman itu selalu mendatangkan penderitaan. Karena lewat hukuman itu orang akan jera. Dengan kata lain, penderitaan merupakan buah dari dosa (atau kesalahan). Menjadi pertanyaan, bagaimana dengan orang baik yang menderita? Memang ada argumen bahwa semua orang berdosa, namun penderitaan yang dialami sama sekali tidak berbanding lurus dengan perbuatan orang. Misalnya, Suharto yang dikenal buruk, koruptor dan jahat, namun dianugerahi umur panjang dan kekayaan, berbeda dengan beberapa orang yang baik tapi menderita dan meninggal di usia muda (Mgr. Adrianus, 120).

Keempat, penderitaan dan kejahatan lahir dari kebebasan manusia. Pandangan ini mirip seperti konsep di atas, dimana penderitaan dan kejahatan merupakan buah dari kebebasan manusia. Dasarnya adalah ketika menciptakan manusia Allah menganugerahinya juga kehendak bebas. Allah tidak menciptakan robot, tetapi manusia dengan kehendak bebas. Tokoh di balik pemikiran ini adalah St. Agustinus. Dia mengatakan penderitaan dan kejahatan muncul disebabkan karena manusia menyalah-gunakan kebebasannya. Menjadi persoalan, bagaimana dengan penderitaan anak-anak yang belum bisa menggunakan kebebasannya, dan bukankah kebebasan itu berasal juga dari Allah (Mgr. Adrianus, 117).

Kelima, ada juga mengemukakan teori keseimbangan. Teori ini mengatakan bahwa di dunia ini tidak hanya terdiri dari satu unsur saja, yaitu positif atau negatif saja. Hanya di surga saja manusia mengalami satu situasi, yaitu positif saja. Selagi hidup di dunia, hal positif dan negatif, penderitaan dan kebahagiaan, kejahatan dan kebaikan akan selalu seiring sejalan; akan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia. Semua itu ada untuk menjaga keseimbangan. Manusia mau tak mau harus menerima penderitaan, sebagaimana ia suka menerima kebahagiaan. Di sini terkenal ucapan Ayub, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2: 10). Pandangan ini menimbulkan kesan seolah-olah penderitaan dan kejahatan sengaja diciptakan Allah untuk menjaga keseimbangan. Tentulah ini membuat Allah tampil buruk dan jahat. Bagaimana mungkin Allah yang mahabaik membiarkan umatnya hidup dalam penderitaan dan kejahatan?

Keenam, Allah mengizinkan penderitaan dan kejahatan. Pandangan ini mirip dengan kisah nabi Ayub, dimana Allah mengizinkan iblis untuk membuat Ayub menderita (Ayub 2: 6 – 7). Akan tetapi, dalam kisah Ayub yang hendak ditonjolkan adalah bahwa penderitaan itu bukan datang dari Allah, melainkan dari iblis; hanya Allah mengizinkan hal itu terjadi. Sebanarnya Allah tidak menghendaki umat manusia menderita, tapi Allah mentolerirnya. Sekalipun sumber kejahatan dan penderitaan bukan dari Allah, “izin” di sini menimbulkan persoalan. Orang ateis tentu akan berkata, “Seseorang yang menolak kejahatan karena dia bermoral adalah mahakuasa dibandingkan Tuhan yang malah mentolerir kejahatan.” Dengan kata lain, Allah saja membolehkan kejahatan, kenapa manusia melarangnya. (Mgr. Adrianus, 122 – 123).

Demikianlah 6 butir jawaban atas persoalan teodise. Tak dipungkiri dalam jawaban itu ada terkandung kebenaran, namun kebenaran itu belumlah sempurna. Terdapat juga kelemahan dan kekurangan dalam kebenaran itu. Dengan perkataan lain, persoalan teodise tidak mempunyai jawaban yang sempurna.

Persoalan teodise muncul karena manusia menginginkan satu jawaban untuk semua persoalan. Ibarat satu kunci yang dapat digunakan untuk membuka semua jenis pintu. Manusia tak sadar bahwa masing-masing pintu, sekalipun sama-sama pintu, mempunyai perbedaan. Namun manusia memaksakan kemauannya agar pintu-pintu tersebut bisa dibuka hanya dengan satu kunci.

Karena itulah manusia tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas persoalan relasinya dengan Allah berhadapan dengan penderitaan (bencana, penyakit, musibah, kejahatan, dll). Ketika menemukan satu jawaban, segera ia menemukan juga persoalan lain lagi yang tak bisa diterangkan dengan memakai jawaban tadi. Ini seperti setelah membuka pintu kita menemukan pintu lain lagi yang tidak bisa dibuka dengan kunci sebelumnya.

Harus disadari bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan yang sangat besar dan luas karena bersentuhan dengan Allah yang mahaagung. Manusia ibarat satu titik di tengah luasnya angkasa raya. Manusia mempunyai keterbatasan. Keterbatasan itu membuat manusia tak dapat memahami persoalan tersebut. Hal ini mirip dengan kisah legenda pertobatan St. Agustinus tentang anak kecil yang berusaha memindahkan air laut ke dalam lobang kecil di pantai dengan menggunakan sebuah gayung. Immanuel Kant berkata, “Akal budi kita tidaklah mampu memahami atau menjelaskan relasi-relasi antara dunia dengan Kebijaksanaan tertinggi.”

Karena itu, adalah tidak bijaksana bila kegagalan memahami persoalan ini melahirkan sikap ateis, menolak eksistensi Allah. Diskusi teodise tak lebih dari seputar masalah 2 sifat atau esensi Allah, yakni mahakuasa dan mahabaik. Kenapa penegasian atas salah satu sifat Allah tersebut lantas menghilangkan eksistensi Allah? Padahal Allah itu tidak hanya sebatas 2 sifat tadi. Penolakan eksistensi Allah, yang hanya dilandasi pada penegasian atas salah satu sifat Allah, seakan mau menyederhanakan Allah menjadi satu dimensi saja. Allah itu multidimensi. Lagi pula, apakah penegasian itu bisa berdampak pada hilangnya penderitaan dan kejahatan?

Manusia juga dikenal dengan makhluk multidimensional. Salah satunya adalah ratio (animale rationale). Apakah manusia yang tak memiliki ratio bisa dikatakan bukan manusia? Tentulah tidak.

Dabo Singkep, 13 Juni 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar